december post

Deeto, janai ka?

雨上がり(Ame agari) ; After the rain chapter4
4 comments gimme comment?

Tittle : 雨上がり(Ame agari) ; After the rain
Author : deya
Genre : Fluff/ Romance
Rating : pg15*saya naikkan ya!* Nah lo knapa naek? hahaha
Cast : Tegoshi Yuya dan salah satu author yg aneh yg jelas bukan saya *hahaha*
Disclaimer : I don’t own Tegoshi. He belongs himself, JE, and Kami-samanya~

Disarankan baca chapter ini sambil denger Ai nante versi Tegoshi Yuya. Hoho~ dan tiap ada kata “kimi” itu katanya cuma buat “kamu” huahaaaaa *author sedeng*

Chapter4
.:Daijoubu?:.

Asa no hiizashi ni Kimi no negao to Tereta egao de Ureshiku nareru kara
Sonna hibi wo kanjita ai yo Eien ni
(The morning rays of sunlight shone upon your sleeping face and I smiled, embarrassed; It was because we were happy back then
I wish that the love I felt during those days would continue forever...)

Tegoshi’s POV

Aku bertemu lagi dengannya pagi ini. Saat berjalan menuju stasiun kereta api. Tanpa sepeda. Ia memandangku sejenak, lalu berjalan lagi tanpa banyak bicara. Entah kenapa akhir-akhir ini kami sering berangkat kuliah bersama. Sama sekali tak terencana satu sama lain, sepertinya sih begitu. Aku meliriknya. Rambut panjangnya tergerai, celana jeans selutut menghiasi kakinya. Aku menebak ia orang yang fashionable.

Tiba-tiba ia melihatku.
Aku menoleh ke arah lain dengan cepat….dan kikuk.
Aku juga tak tahu, kenapa aku bersikap demikian.

Hening.
Hanya suara burung-burung yang saling bersahutan. Dan beberapa bel sepeda yang lalu lalang di sekitar jalanan.

Aku memandangnya lagi.
Ia mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
Dua buah snack biscuit dengan isi coklat. Aku tahu snsck itu karena Massu membelinya kemarin di konbini.
Tangannya menjulur ke arahku. Menyodorkan sebungkus snack.

“Aku bukannya sok baik” Galak. Seperti itulah Chika ketika berbicara denganku. Ia melirikku yang tak juga mengambil snack yang ia berikan, “Aku Cuma nggak mau kau minta bagianku. Ambil dong!” Chika makin menyudutkan snack itu ke tangan kananku.
Aku menerimanya, “Ah, kau baik lagi kan? Aku tambah ngeri deh” Chika memandangku sinis, tapi ia tak berkata apa-apa. Sibuk mengunyah snacknya dengan kasar.

“Oh ya” Aku mulai membuka snack itu dan memakannya, “Waktu itu terima kasih ya. Makan malamnya”

“Bisa juga kau bilang terima kasih!”
Meledek. Dasar cewek menyebalkan!

Aku merengut kesal, lihat saja akan kubalas kata-katanya.
“Hmm, lain kali aku main deh ke rumahmu. Sendirian saja sepertinya menarik. Makan malam berdua ide yang bagus kan? Kau tinggal sendirian kan? Dan…” Aku sengaja menggantungkan kalimatku, melirik ke arahnya dengan wajah menggoda.

Chika menatapku sebal, “Sekali lagi kau datang kubunuh kau!” Ancamnya sadis.

Aku tertawa lepas, “Sou ka na?? Kau yakin menolak orang setampan aku?” Aku mendekat.

Tatapannya makin sebal. Ia melotot ke arahku.
“Jangan dekat-dekat denganku! Jaga jarak satu meter!”

Tepat sasaran. Ternyata seru juga mengerjai orang. Aku makin tersenyum menggoda. Kembali mendekat agar ia merasa jengah.
Ia tampak risih karena aku makin mendekat.

“Donna kisu ga suki? Seperti waktu itu kah?”

Chika mendorong tubuhku pelan. Aku yakin bukan karena ia marah, lebih tepatnya malu mungkin. Karena secara jelas aku melihat wajahnya memerah. Matanya yang menatap tak fokus, aku dapat dengan mudah membaca pikiran dari gerak tubuhnya yang tak wajar.

“Baka dayo!” Chika mengumpat sebal dan berlari mendahuluiku.
Aku terkekeh. Benar kan? Dia malu.

Aku mengejarnya, sekali lagi untuk menggodanya lebih jauh.

“Hey! Jangan lari dong! kau kan belum menjawab pertanyaanku!”
Chika mempercepat larinya, namun sekali lagi dia ini perempuan dan aku laki-laki yang gemar berolahraga, tentu saja dengan mudah dapat kukejar langkahnya.

“Chika, Matte yo!”
“URUSAI!!!”
Aku kembali tertawa, “Oke. Tadi aku Cuma bercanda kok.”
Chika berhenti berlari, ia mengambil posisi di depanku, tepat di jalan raya yang sepi.
“Nggak lucu!” Kedua bibirnya mencuat. Cemberut.
Aku masih tertawa, dan sedikit reda ketika kulihat wajahnya makin masam.

Chika mundur dua langkah dari tempatnya berpijak. Ia mengatur napasnya yang memburu.
“Jaga jarak denganku sepenjang ini!” Ucapnya galak.
Haaaa? Nani yo?
Aku menggeleng. Menahan tawa. Lagi.
“TEGOSHI!!!!” Chika berteriak sebal. Mungkin gemas dengan tingkahku yang tak berhenti menggodanya.
“Aku nggak janji deh”
Lagi-lagi ia cemberut.

Aku ikut cemberut, “Kau ini aneh deh! Kalau kita satu kereta dan kebetulan aku berada di sampingmu, masa aku harus jaga jarak? Kereta pagi hari kan padat sekali!”
Chika tampak berpikir, “Itu sih pengecualian!”

Aku mengibaskan tangan kanan, tanda tak setuju.
“Tadi sudah kubilang kan? Aku Cuma bercanda. Lagipula, aku nggak ada niat menciummu lagi!”
Kedua mata Chika sontak terbelalak, “Memang siapa yang berharap kau cium lagi, hah????”
Aku menahan tawa yang hampir meledak lagi. Ekspresinya kali ini benar-benar membuatku ingin tertawa.

Tawa itu lepas begitu saja. Tanpa bisa kucegah. Mataku sampai hampir berair karenanya.
Wajahnya kesal luar biasa, siap melontarkan kalimat-kalimat makian.

Tawa itu berhenti dengan tiba-tiba. Kedua mataku sontak tertuju pada sebuah truk besar yang jaraknya tak jauh dari Chika.

Reflek. Aku mendekat. Berusaha menggapai tubuh rampingnya. Menjulurkan tanganku dengan cepat agar ia menyadari apa yang sedang terjadi.
“Jangan mendekat!!!!”
Teriakan itu tak kudengar. Tubuh itu makin menjauh dariku.

Frustasi.

Aku panik luar biasa ketika tak berhasil meraih seujung jaripun tangannya.
Kumohon! Mendekatlah padaku!
Dengan kecepatan luar biasa aku menjangkaunya. Menarik tubuhnya dalam dekapanku. Melemparnya dengan sekuat tenaga ke tepi jalan. Dan sebelum aku sempat menghindar, kurasakan tubuhnya seperti terbang. Ringan sekali.
Setelah itu aku tak tahu apa yang terjadi.
******

Chika’s POV

Aku berdiri di depan bangunan minimalis berwarna cream.
Bimbang. Aku meletakkan telunjuk tangan kananku tepat di atas bel rumah tersebut.
Sedetik kemudian niat itu kuurungkan. Aku kembali gelisah. Haruskah aku masuk ke dalam sana? Lalu, apa yang harus aku katakan nanti jika bertemu dengannya? Wajah seperti apa yang harus aku tunjukkan padanya? Pada orang yang lagi-lagi terluka karena aku.

Aku menggeleng pelan. Sepertinya aku tak cukup berani menatapnya. Setidaknya tidak untuk hari ini. Lalu kapan? Sejak kemarin aku seperti ini. Mematung tak jelas di depan rumahnya. Aku menggenggam kertas lecek yang ada di genggamanku. Kertas yang bertuliskan alamat rumahnya. Yang kudapat dari Masuda kemarin. Dia mengatakan bahwa keadaan temannya sudah lebih baik. Demo—

Aku menelan ludah.

Hari itu, dimana Tegoshi menyelamatkanku dari pengendara truk yang tengah mabuk, aku sangat terkejut dengan kejadian itu. Sampai-sampai aku hanya diam melihat tubuhnya terserempet truk dan jatuh dengan lunglai ke aspal. Tangisku pecah saat itu tanpa suara. Kuguncangkan badannya, namun ia tetap bergeming. Aku memanggil-manggil namanya, tak ada sahutan. Dan jantungku hampir meledak saat darah mengucur dari pelipisnya.

Kepalaku selalu pusing jika mengingat kejadian itu.

Aku menelan ludah. Lagi.

Selama beberapa hari ia dirawat dirumah sakit. Aku tak tahu lagi keadaannya, karena aku takut menjenguknya. Entah kenapa perasaan bodoh seperti itu merasukiku.

Aku memang bodoh.

Masuda bilang bukan luka berat, sebab itu dia diijinkan pulang oleh dokter. Tapi, benarkah dia baik-baik saja?
Rasa takutku melebihi kekhawatiranku. Aku berbalik, siap melangkah pulang. Dan saat itu juga, suara bariton yang dulu menyebalkan terdengar di kupingku.

“Hey!”
Aku menoleh ke belakang. Tak ada siapapun.
“Hey! Kocchi!”
Aku menoleh ke kanan. Tetap sepi.
Ke kiri? Nihil. Tak ada orang. Apa hanya imajinasiku saja?
“Kochhi!”
Satu-satunya arah yang belum kulihat adalah—

Aku mendongak.
Dia di sana.

Di balik jendela kamarnya— begitulah aku menebak.
Tangan kanannya menopang dagunya dengan manis. Ia tersenyum ke arahku. Semoga kali ini bukan imajinasiku. Melihatnya tersenyum membuatku miris. Harusnya kan dia marah.
Aku menunduk. Sangat merasa bersalah.
“Hey! Setelah setengah jam berdiri di sana, kau yakin mau pulang?”
Aku kembali mendongak. Senyum jenaka itu tetap tersungging di bibirnya. Aku tergagap. Dia tahu aku telah berada di sana selama setengah jam? Aku yakin mukaku memerah saking malunya.
“A…Aku… Mmmmm….”
Aku kehilangan kata-kata. Gugup—mungkin.
“Kau seperti stalker tau!”
Ia terkekeh pelan.
Aku masih diam. Benar-benar tak tahu harus menaggapi bagaimana.
“Kocchi! Kaa-san akan membukakan pintu sebentar lagi!”

Dan begitulah. Aku masuk ke dalam—kamarnya.
Ibunya akan pergi ke rumah sakit untuk mengambil resep dokter untuk Tegoshi. Dan dapat dipastikan, hanya ada aku dan Tegoshi di rumah yang besar ini. Mari kupersempit lagi, tepatnya aku berada di kamar Tegoshi. Hanya berdua. Hal itu cukup membuatku gugup.

Tak ada tempat duduk di kamarnya. Nuansanya putih. Cukup bersih untuk disebut sebagai kamar cowok. Tampat tidurnya terletak di lantai dua. Langsung menghadap ke arah luar jika jendela di buka. Jendela itu tepat di samping ranjangnya. Ada meja belajar dan laptop berwarna hitam tergeletak di atasnya. Berbagai buku pelajaran tersusun agak berantakan di samping meja belajar. Ada juga bergeletakan beberapa manga di lantai.

Ibu Tegoshi meletakkan dua gelas jus jeruk dan sekaleng cookies coklat di meja yang agak mirip denagn tatami tapi berukuran lebih kecil. Aku duduk di karpet berbulu, tepat di samping meja kecil itu. Sedangkan Tegoshi duduk di atas ranjangnya.
Keadaannya memang cukup baik. Ada perban di keningnya. Selebihnya beberapa luka di balut plester di bagian tangannya. Kaos birunya terlihat pas dengan ukuran tubuhnya. Celana pendek selutut berwarna hitam membalut kakinya.

“Nee, kau khawatir ya?” Tegoshi bertanya santai.
Aku mendongakkan kepala, “Tentu saja. Daijoubu?”

Tegoshi kembali terkekeh.
“Masih sedikit sakit di bagian ini” Ia menunjuk keningnya, “Demo, daijoubu dayo” Ucapnya masih santai, dan tersenyum manis.
Aku memandangnya takut-takut, “Kau…” Aku meliriknya sebentar, “…tidak marah padaku?”
Senyuman itu kembali menatapku dengan lancang, “Kenapa aku harus marah?”
Aku memiringkan wajahku sedikit, “Karena sudah membuat keadaanmu menjadi seperti ini. Gomen ne, Tegoshi!”
“Ah, aku kan sudah bilang, aku baik-baik saja!”
“Demo…”
“Yamero! Kalau kau terus berkata seperti itu, aku jadi geli”

Ia kembali tertawa. Anak ini. Tidak tahu apa kalau aku sedang serius minta maaf? Kenapa sih ekspresinya begitu aneh?

“Hontou? Kau yakin baik-baik saja?”
Ia mengangguk, “Mendekatlah! Lihat keadaanku baik-baik!” Telunjuknya mengisyaratkan agar aku mendekat.

Aku bangkit, duduk tepat di sampingnya. Memperhatikan luka di keningnya yang terbalut perban. Mengecek suhu tubuhnya dan mengukurnya dengan suhu tubuhku.

Normal sih.

“Tapi, wajahmu agak pucat!” Ada kesan khawatir terdengar di sana. Terlontar begitu saja tanpa bisa kucegah.
“Eh? Hontou?”
Aku mengangguk.
Wajah ini. Seperti wajah orang sakit. Pucat. Tidak cerah seperti biasanya. Bibir yang berwarna merah itu berubah pucat. Ada lingkaran agak hitam tapi samar di bawah kedua matanya. Aku baru menyadari, mata itu terlihat lebih bening dari biasanya. Mungkin karena tidak ada kacamata melingkarinya. Rambut coklatnya yang biasanya rapi kini berantakan. Kusut.
Dan entah kenapa aku menikmati penampilannya saat ini. Sangat langka. Dan begitu—manis.
“Ah, mungkin pengaruh obat” Tuturnya kemudian.
Aku hanya mengangguk pelan, “Sou ka”
Tiba-tiba Tegoshi memandangku dengan tatapan aneh. Tatapan menggoda, seperti biasanya.
Senyum itu benar-benar membuatku hilang kendali. Wajahnya mendekat ke wajahku.
“Kau khawatir sekali sih? Kau suka padaku ya?”

Reflek. Aku menarik wajahku. Saat itu juga dadaku bergemuruh luar biasa. Kenapa sih aku ini? Mungkin gantian aku yang sakit sekarang. Perasaanku jadi tak enak.
“Kau ini! Aku kan merasa bersalah padamu” ketika mengatakan itu, aku memalingkan wajah dari matanya. Sungguh, dipandang seperti itu membuatku sedikit jengah.
Ia tersenyum lagi, sedetik kemudian ia terlihat kesakitan.
“Hee? Doushitano? Tegoshi?”
Dalam sekejap jantungku hampir dibuatnya berhenti. Pasalnya, Tegoshi menjatuhkan kepalanya tepat di pundakku. Aku diam tak berkutik. A…ap…apa yang harus aku lakukan???
“Te…Tegoshi? Doushitano? Daijoubu?” Suaraku bergetar.
“Mousukoshi dake. Kepalaku suka sakit tiba-tiba. Sebentar lagi…” Napasnya memburu. Sesakit apakah? Aku benar-benar khawatir.
Selama kurang lebih 3 menit kami seperti itu. Perasaan sedikit lega merasukiku ketika ia mengangkat kepalanya sambil tersenyum jahil.
“Gomen!” Ucapnya sambil meringis.
Aku menghela napas. Tegoshi sudah kembali seperti semula.
“Sering terasa begitu ya? Sakit sekali kah?”
Tegoshi menggeleng sangat pelan, “Nggak sering sih. Hanya terkadang begini. Kata dokter, efek ini hanya sementara”
“Yokatta~”
Ia kembali tersenyum. Aku heran deh. Hari ini, sering sekali aku melihat Tegoshi tersenyum tulus.
“Nee, Chika…”
“Hee?”
“Kau sadar sekarang sedang dimana?”
“Di kamarmu”
“Tepatnya?”
“Di…” Kata-kataku berhenti. Mulai mencerna ucapannya yang terdengar janggal di telingaku. Oke, aku berada di kamarnya. Tepatnya ada di atas ranjangnya. Lalu?
HAAAHHH? Aku menutup mulutku cepat. Jangan sampai aku mengatakan hal aneh hari ini. Gugup lagi-lagi aku merasakannya.

Tegoshi tersenyum penuh kemenangan. Ia menyandarkan tangan kirinya di kusen jendela. Tangan itu menopang wajahnya yang tampak berkilau disapu sinar mentari sore. Sejenak aku terpana dengan pemandangan makhluk indah di hadapan ku ini.
“Nee, apa kau tidak merasa aneh? Kita hanya berdua. Kau ada di atas ranjangku sekarang, dan tepat di hadapanku. Tidakkah kau merasa aneh?” Senyuman itu makin membuat jantungku berdetak cepat.
Tegoshi mendekatkan wajahnya lagi. Memojokkan ku yang dengan susah paying menarik wajahku yang hanya terpaut beberapa senti dari wajahnya. Dan ketika ia makin mendekat, saat itu juga aku kehilangan kendali tubuhku dan terjatuh dengan indah ke lantai.
“Itte!” Aku mengeluh pelan.
“Hahahaaaa…. Daijoubu?” Tawanya terdengar kembali seperti biasa. Menyebalkan.
Aku menoleh ke arahnya dengan tatapan sebal.
“Daijoubu nanka janai!” Ucapku kesal
******

Kizu tsuke kizu tsuki tadoritsuita basho
Ima koko ni kimi ga iru…
(I got hurt, and lashed out in turn,
And now I've finally reached this place where you are)

Credit songs:
Ai Nante – News/ Tegoshi Yuya

Label: , , ,



4 Komentar:

Blogger chikaです♪ mengatakan...

sedd..
nih orang abis nonton pacicon..
neng.. ngapa pake ai nante neng??
ituh pan lagu patah hati ih si eneng pegimana yak.. XD

ah, gw bisa nebak tuh snack,na snack apaan.. XDDDDD

agagagaggagagaagag..
si chika odong iiiiiiiiiiiiih~
si chika odoooooong..
si chika oon ye disini.. *sigh*

8 Maret 2010 pukul 20.58  
Blogger deya_daisuke mengatakan...

pacicon apa deh?
*lemot kambuh*
*ngapa sih akhir2 ini kapasitas otak gw mule lemot*

pan ada beberapa ai nante yg artinya gak sedih~
hahahaaaa~
*maksa bgd*

knapa chika odong?
knapa chika oon?
biasa aja deh kek biasanya..
*berarti biasanya gitu ye*
hohoooo...

8 Maret 2010 pukul 22.21  
Blogger chikaです♪ mengatakan...

pacific concert.. ==a
ah, lw napa jadi windows97 gituh dah.. XDDD

LAH LW YG BIKIN!!!!!
apa lw??!!!! mw bilang gw biasa,na kayak gitu??? *siapin alat pengurus badan buat massu*

8 Maret 2010 pukul 22.55  
Blogger deya_daisuke mengatakan...

ohhhhhhh!!!!
pasific toh!!!
ahh, ntar gw instal windows 7 deh~
*sok canggih*

GW LAGI BETE TAUUUU MAKANYA LEMOT!!!!
*gak nyambung*

kurusin tu massu~
gapapa gapapa...

9 Maret 2010 pukul 00.05  

Posting Komentar

home