december post

Deeto, janai ka?

Beautiful sleeping chapter 10
14 comments gimme comment?

Tittle : Beautiful Sleeping

Author : deya

Genre : Angst

Rating : Pg15

Cast : Arioka Daiki and others

Disclaimer : Saya cuma memiliki cerita dan OC nya XD

‘Paragraph Italic’ for flashback

***

Chapter 10

.:a loser that lost everything:.

Arioka Daiki dan Arioka Ayami. Dua eksistensi yang tak dapat dipisahkan. Sang kakak selalu menjadi sosok pahlawan bagi adik kecilnya. Siapa yang menyangka, tubuh pendek itu sanggup melindungi gadis kecil yang selalu ia harapkan menjadi pengantinnya. Konyol? Mungkin. Daiki membiarkan nada mengejek ketika orang mengetahui niatnya untuk mempersunting adiknya kelak. Kenyataannya, itulah tujuannya sejak lama. Seorang adik mungil yang mengisi hari-harinya, saat ibu yang amat ia sayangi pergi untuk selamanya. Ia berjanji dalam hati akan selalu menjaga Ayami. Terlepas dari sikap Ayahnya yang berubah sejak kematian sang istri. Mother complex. Mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan kehidupan Daiki. Kurangnya kasih sayang sang Ayah membuatnya bertingkah brutal, meskipun bukan tindakan kriminal yang terlalu berarti.

Daiki tidak terlalu mengingat kapankah ia mulai menyukai Ayami. Perasaan itu tumbuh begitu saja, dan lama-lama berubah menjadi obsesi. Itu salah. Tidak ada yang membenarkan perasaannya. Sekalipun Ayami tak menolak, tapi ia tahu adik kecilnya bimbang.

“Dai-nii, ini salah…” Ayami memuggungi Daiki, tak berani memandang wajah kakak semata wayangnya. “Seharusnya tidak begini, kan?”

Daiki merengkuh tubuh mungil Ayami, membenamkan wajahnya di pundak sang adik dengan nyaman. “Maaf, aku tak bisa berhenti Ayami. Maaf…” Keegoisan ini sudah dipastikan dapat merenggut kehidupan Ayami, meskipun mengetahui hal tersebut, tetap saja Daiki tidak bisa berhenti.

“Aku harus bagaimana?” Ayami bertanya pilu. Ia menyayangi kakaknya. Sangat. Kadang ia juga merasa ingin memiliki Daiki seutuhnya. Mereka dihadapkan pada keegoisan masing-masing yang tak berujung.

“Tolong jangan memintaku berhenti. Jika kau ingin diam, maka aku akan menurut. Tapi tolong jangan membenciku, Ayami” Daiki mengeratkan dekapannya.

Ayami tersenyum kecil. Berbalik menatap kakaknya dan membalas dekapan itu. Ada perasaan hangat di sana. Yang tidak ia temukan jika bersama orang lain.

“Aku tidak mungkin membenci Dai-nii. Tidak mungkin” Katanya lembut.

Daiki mengangkat wajahnya, tersenyum hangat. Membelai pipi kiri adiknya dengan tangan kanannya. Menarik wajah itu makin mendekat, lalu mengecup bibir mungil itu perlahan.

Ini sungguh salah. Dan keduanya tidak ada yang mau menyangkal, sekalipun mereka menyadari kebodohan kecil itu.

Daiki menyudahi kecupannya, kembali memeluk tubuh Ayami erat.

Sang kakak tidak menyadari kejanggalan itu. Sang adik menitikkan air mata di balik pelukannya. Ia tak pernah menyadari, air mata itu ditujukan bukan untuknya. Melainkan untuk sahabatnya sendiri.

Hikaru.

***

“Hey…” Seorang cowok menarik tangan Ayami pelan. Memaksa gadis itu untuk memasuki kamarnya.

“Ada apa? Aku—“

“Sttttt…” Cowok itu menempelkan telapak tangannya pada mulut Ayami, “Bukankah Daiki sedang pergi?”

Ayami menggeser tangan itu dari mulutnya, “A-ada apa, Shinichi?”

Cowok yang bernama Shinichi itu tersenyum sinis, “Kau memanggil si cebol itu Dai-nii, dan kau memanggilku Shinichi? Ironis sekali Ayami-chan…”

Ayami mendengus kesal. Ia membenci cowok ini bahkan sejak pertama kali mereka bertemu. Cowok menyebalkan yang sangat terpaksa menjadi kakak tirinya. Sejak setahun terakhir, ia mati-matian bersabar menghadapi tingkahnya yang bisa dibilang berandalan. Tak heran jika Daiki juga membencinya.

Ayah mereka, menikah dengan Ibu cowok ini setahun yang lalu. Dan siapa sangka Ibu tiri mereka juga mempunyai dua anak. Shinichi—cowok ini dan Chinen. Berbeda dengan kakaknya yang urakan, Chinen lebih pendiam. Tapi sangat bermulut tajam. Keduanya sama saja. Menyebalkan.

Apalagi semenjak Ibu mereka—Shinichi dan Chinen—meninggal karena kecelakaan dua bulan lalu, kedua anak itu—terutama Shinichi, bersikap lebih brutal lagi. Suka memukul Daiki seenaknya. Dua bersaudara itu masih tidak terima dengan kematian Ibunya yang terkesan aneh. Meskipun Daiki maupun Ayami tak mengerti maksudnya.

Shinichi menarik tubuh Ayami sampai gadis itu jatuh terlentang di atas kasur. Ketika Ayami ingin bangun, cowok itu kembali menahan Ayami dan alih-alih malah menduduki keduapaha gadis itu.

“Lepaskan aku!” Ayami mencoba memberontak, “Dai-nii akan membunuhmu! Lepas— Hmmmppphhh…..”

Shinichi membungkam mulut Ayami dengan sebelah tangannya. Sedangkan tangannya yang lain mengunci ruang gerak gadis itu. Ia mendekatkan wajahnya dengan wajah Ayami.

“Nee, Ayami-chan… Ayo bersenang-senang sedikit” Senyuman licik.

Ayami menggeleng. Ia tak bisa mengeluarkan suara sedikitpun. Bekapan tangan Shinichi terlalu kuat.

Shinichi makin mendekatkan wajahnya, “Bukankah kau pernah melakukannya dengan kakakmu?” Ucap Shinichi sambil menyeringai.

Ayami berhenti memberontak. Kedua matanya melebar.

Bekapan tangan Shinichi mengendur, ia membelai pipi Ayami lembut. “Nah, bagaimana kalau aku mengatakannya pada Ayahmu?” Ucapan itu begitu manis. Tapi tentu saja Ayami tahu benar maksud dari nada bicara itu.

Ayami kembali menggeleng. Tangisnya mulai pecah.

“Anak baik” Shinichi tersenyum, “Kalau begitu, kau tidak akan menolak kan?”

Ayami diam. Apa yang harus ia lakukan? Sungguh, apa yang harus ia lakukan?

Tanpa mendengar jawaban apapun, Shinichi mulai merobek kaos yang dikenakan Ayami. Menyerang lehernya dengan penuh nafsu. Meninggalkan tanda kemerahan di sana.

Ayami menangis lirih. Ini salah. Ini tidak boleh.

“Yamete…” Ayami merintih pelan. “Yamete yo... DAI-NII TASUKETEEEEEE…”

BRAAAAAAK!!

Baik Ayami maupun Shinichi menoleh bersamaan ke arah sumber suara. Daiki, berdiri di sana dengan wajah merah padam. Napasnya ngos-ngosan. Ia mendekat, menarik tubuh Shinichi dan memukulinya kalap. Emosinya keluar begitu saja. Beraninya cowok brengsek itu menyentuh adiknya. Shinichi tersungkur menabrak lemari pakaian. Di sudut bibirnya keluar sedikit darah segar.

Buru-buru Daiki membuka jaketnya, menutupi tubuh bagian atas Ayami seadanya. Memeluk adiknya sekilas, dan dengan segera memapah Ayami untuk keluar dari kamar itu.

Tidak sampai di situ, ketika Ayami sudah aman di kamarnya, Daiki kembali masuk ke dalam kamar Shinichi.

“Urusan kita belum selesai, brengsek!” Daiki mengumpat kesal. Ia bersiap memberikan kepalan tangannya, dan saat itu juga Shinichi dapat menangkisnya dengan mudah.

“Kau masih terlalu dini untuk melawanku, pendek!” Tatapan keduanya beradu. Sama tajamnya.

Dan dapat ditebak, perkelahian itu berakhir dengan kekalahan Daiki. Dengan berbagai pukulan yang cukup untuk membuat Daiki sekarat.

BUG!

Pukulan itu telak mengenai wajah Daiki. Cowok itu meringis pelan. Menyeka darah yang keluar dari bibirnya. Napasnya naik turun.

“Jangan sok jagoan, Daiki!”

BUG!

Tubuh Daiki terhuyung pelan membentur tembok. Memegangi perutnya yang terasa nyeri. Ia menatap nanar pada sesosok cowok tinggi di hadapannya.

“Hentikan!” Daiki berteriak. Tubuhnya sudah tak mampu lagi menerima segala pukulan itu. Padangannya mulai kabur, satu pukulan lagi saja akan mampu membuatnya tumbang.

Shinichi tersenyum sinis, rambut coklatnya tampak berkilau di terpa temaran lampu malam. Ia merenggut kaos Daiki cepat, mencengkeramnya sekuat mungkin.

“Kau tak berhak memberiku perintah, anak kecil!”

Daiki mencoba melepas cengkeraman cowok itu. Tapi tenaganya tak mampu melawannya. Napasnya mulai tersengal. Cowok ini gila.

“Onii-chan!”

Suara sopran itu menghentikan kegiatan mereka. Keduanya menoleh cepat, seorang cowok dengan tinggi kurang dari 155 cm berdiri di sana—berwajah datar.

Daiki melengos. Tak ingin mengakui nyawanya diselamatkan oleh anak kecil.

“Chinen?” Tanyanya gusar, “Kenapa ke sini? Kembali ke kamarmu!” Perintah orang yang dipanggil kakak tadi—yang tak lain adalah Shinichi.

“Onii-chan!” Chinen melotot.

“Kembali ke kamarmu!” Setengah membentak. “Cepat!”

Chinen tersenyum sinis, “Shinichi!”

Shinichi menoleh marah, “Apa sih?”

“Otou-san pulang!”

***

“Kau terkejut, Daiki?” Hikaru bertanya sarkastis. Senyuman sinis ia hujamkan tanpa henti. Dilihatnya lekat wajah Daiki. Cowok yang lebih pendek darinya itu tercenung. Pandangannya kosong, terlihat sangat shock. Tak lama, sepasang mata bening itu mendongak pelan, menatap Hikaru dengan pandangan tak percaya.

“Bohong…” Ucapnya lirih. “Kau bohong…” Suara itu terdengar serak.

Sebelah bibir Hikaru mencuat, masih sinis. “Andai apa yang aku dengar itu bohong. Pasti mereka masih hidup, Daiki”

Daiki menggeleng pelan, “Tidak…” Rintihan. “Tidak mungkin. Kau bohong, Hikaru. Tidak…”

Hikaru memiringkan wajahnya, “Kau tidak percaya? Sungguh bodoh!”

“Aku takut” Inoo bersuara. Lirih.

Sampai pada kata itu Hikaru berhenti. Ia mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam ruang tamu apartemen Yabu. Mereka berlima janji bertemu di apartemen Yabu. Sepertinya Takaki dan Inoo sudah datang, terlihat dari jumlah sepatu yang berserakan di depan pintu masuk. Tadinya Hikaru datang bersama Daiki, tapi cowok itu memintanya untuk pergi lebih dulu. Karena Daiki ingin membeli beberapa kaleng bir di konbini. Dan bagaimana Hikaru tidak terkejut, ketika ia berniat ingin masuk diam-diam, Yabu menyebut-nyebut nama Ayami. Dan Inoo berkata bahwa ia takut. Meskipun sudah 2 tahun Ayami meninggal, tetap saja mendengar nama itu membuatnya miris.

“Tenanglah, Inoo! Kau hanya membuatku takut saja.” Takaki berguman tak jelas. Suaranya terdengar pelan sekali. Membuat Hikaru harus lebih mendekat lagi.

Yabu menghela napas panjang, “Kejadian itu sudah lama. Lagipula buka salah kita Ayami meninggal, kan?”

Inoo berdecak pelan. “Kau yang memulainya, Yabu. Dan kau bilang itu bukan salah kita?”

“Inoo!” Yabu meninggikan suaranya, “Kalian kan juga setuju. Kenapa malah aku yang terpojok begini?”

“Tapi kita berbohong pada Daiki. Kau tahu itu, kan?” Suara Inoo masih saja terdengar cemas.

“Diamlah Inoo!” Takaki menengahi, “Kau juga menikmatinya, kan?”

Inoo diam. Tak mengeluarkan sanggahan apapun.

Hikaru mematung di tempat. Obrolan macam apa yang tengah mereka bicarakan? Tanyanya dalam hati. Ayami, ada apa sebenarnya?

“Ayolah, Inoo…” Yabu membujuk. “Kita bertiga memang memperkosa Ayami, tapi kita tidak membunuhnya”

DEG! Kalimat terakhir yang Yabu lontarkan cukup untuk membuat Hikaru tersentak. Tubuhnya kejang bagai dialiri sengatan listrik ribuan watt. Mereka? Memperkosa Ayami? Tapi—

“Tapi kau memanggil berandalan-berandalan itu kan?” Inoo masih bersikeras pada pendapatnya. “Kau—“

“Menyerahlah!” Yabu memotong tajam, “Menyerahlah pada polisi. Dengan begitu kita bertiga akan masuk penjara”

Inoo kembali terdiam.

“Tidak hanya itu…” Takaki membuka suara, “Daiki pasti akan membunuh kita bertiga. Aku benar, kan?”

Hening.

Hikaru menelan ludah. Kedua tangannya terkepal erat. Giginya bergemerutuk penuh amarah.

“Kau bohong, Hikaru!” Daiki mulai mengacak rambutnya sendiri, berusaha menutup telinganya agar tidak mendengar celotehan Hikaru barusan. “KAU BOHONG!” Tanpa sadar Daiki mulai menangis. Ia tak sanggup mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Pasti ada sesuatu yang salah. Itu pasti.

Hikaru menarik kedua tangan Daiki, “Dengarkan! Aku belum selesai!”

Daiki menggeleng frustasi. Dadanya naik turun tak teratur. Lebih baik ia mati daripada harus mengetahui kejadian ini. Ia tak sanggup. Baik raga maupun jiwanya hancur ketika Hikaru mengatakan bahwa teman-temannya yang telah memperkosa adiknya.

“Kau tahu? Setelah melakukan tindakan keji itu, Yabu menghubungi teman-teman Shinichi, mengatakan bahwa ia mempunyai hadiah menarik untuk mereka. Dan kau tahu apa hadiah itu? KAU TAHU?” Hikaru menggoncang-goncangkan pundak Daiki keras. “Ayami! Yabu memberikan Ayami yang sedang pingsan kepada setan-setan itu. BISA KAU BAYANGKAN?”.

Daiki masih saja menggeleng, “Yabu tidak mungkin melakukannya. Tidak—“

“Kau melupakan pengaruh seorang Yabu Kouta, Daiki!” Hikaru memotong ucapan Daiki, “Bahkan dia yang meminta berandalan-berandalan itu untuk berbohong” Hikaru menatap tajam, “Kau pikir selama ini Shinichi yang meminta mereka untuk memperkosa adikmu. Kau salah besar! Kau terlalu bodoh! SANGAT BODOH!”

Gelengan itu makin lemah. Pandangan mata Daiki mulai tak fokus. Berusaha mencerna satu-persatu perkataan Hikaru. Yabu? Takaki? Inoo?

“Dan kau membunuh Shinichi” Hikaru menahan emosinya, “Itu sama sekali tak ada artinya. Kau hanya terperangkap dengan permainan temanmu sendiri!”

“Tidak…” Daiki berkata lirih. “Tidak…”

“Kau tidak percaya padaku? Inoo, orang yang paling menyayangimu, dia yang mengatakan semuanya. Sangat mudah membuatnya mabuk”

“TIDAAAAAAAAAAAAKKKKKKKKKKKKKKKKKK!!!!!!!!!!!!!!!!!!!” Daiki berteriak kalap. Ia kembali menutup kedua telinganya. Ia tak mau mendengar apapun lagi. Cukup! Ia tak kuat mendengarnya. Jiwanya serasa melayang saat Hikaru terus saja berbicara.

Hikaru menyeret tubuh Daiki sampai membentur dinding. Ia berdiri di hadapan temannya itu. Mengeluarkan pistolnya. Saatnya melakukan tugas terakhirnya. Pistol itu mengacung tepat di kepala Daiki.

Daiki tidak melakukan perlawanan. Lebih baik ia mati. Ia tak sanggup menyimpan beban ini sendirian. Tak akan lagi ada Hikaru yang dulu. Yang selalu membantunya. Ketika ia dilarikan ke rumah sakit jiwa pun, Hikaru lah yang paling sering menjenguknya. Hanya dia yang menganggapnya ‘normal’ diantara tatapan-tatapan sinis yang lainnya. Bahkan jika Daiki mengingat kalau Hikaru menyukai Ayami dan tetap bersedia menjadi temannya, ia merasa begitu rendah. Manusia rendahan yang pantas mati.

“Akan kuberitahu kenapa aku harus membunuhmu, Daiki” Hikaru menyiapkan pistolnya. Dengan sekali tembakan, pasti sanggup untuk menghentikan detak jantung Daiki. “Kau tidak menjaga adikmu dengan baik. Kau lengah. Kau pecundang!”

Daiki menatap nanar.

“Bahkan aku sudah menyerah untuk mendapatkannya. Tapi kau? Apa yang kau lakukan?” Hikaru menahan napas, ”Kalau saja saat itu Ayami memilihku, pasti tak akan jadi seperti ini! Kau tak pantas hidup!” Hikaru menekan pistolnya, beradu dnegan kepala Daiki. “Bagaimana? Kau sudah siap?”

Daiki memejamkan matanya. Akhirnya saat itu tiba. Dimana nyawanya akan dicabut. Jujur, ia lelah. Ia lelah hidup dalam keadaan seperti ini. Jika hal itu membuat semuanya selesai dengan kematiannya, maka biarkanlah selesai.

Hikaru menggenggam pistolnya erat. Sepersekian detik kemudian pasti pelurunya akan sampai ke dalam kepala Daiki. Menghentikan sistem kerja otaknya dan akan segera membuat nama cowok pendek itu tertulis di batu nisan.

Hikaru bersiap menarik pelatuk pistolnya.

“Ayami…” Daiki berujar pelan. Ia harus mengatakannya. Sebelum ia benar-benar mati. “Ayami… dan aku…” Tersengal, “Kami buka saudara kandung” Detik itu juga kedua mata Daiki terbuka.

“Eh?” Hikaru terkejut. Ia mengendurkan genggaman pistolnya.

“Ayami dibawa Ibuku dari panti asuhan…” Napas Daiki mulai ngos-ngosan, “Saat dia berusia 6 tahun”

“Uso…”

“Aku… aku menyukainya. Sangat…” Daiki menatap Hikaru lemas, “Tapi, dia…” Daiki menelan ludahnya sendiri. Asin. “Ayami selalu menangis. Dan itu karena kau, Hikaru…”

“USO! KAU PEMBOHONG!” Hikaru kembali menggenggam pistolnya kencang.

“Ayami…Hhh…Hhh…” Daiki mencoba mengambil pasokan udara lewat mulutnya, “Selalu menyukaimu. Gomen…” Kembali tersengal, “Aku… aku yang salah….”

Hikaru melengos mendengarnya. Hatinya tergelitik. Meski hanya untuk sesaat.

“Ii yo. Wakatteru…” Hikaru merapatkan pistolnya. Menekan kepala Daiki makin keras.

“Bunuh…” Daiki menanggapi, “Bunuh aku….Hikaru….”

Hikaru menekan keras.

Kedua mata Daiki kembali terpejam.


JLEB!

Suara erangan.

JLEB!

Jeritan pilu.


BRUUUUK!

“Arioka-kun?”

Daiki membuka matanya. Ia mengerjap pelan. Ia belum mati. Ia belum mati.

“Nanami?” ucapnya lirih. Reflek Daiki melihat ke arah belakang Nanami. Mata bulatnya melebar, Hikaru di sana. Tergeletak dengan posisi tengkurap. Bagian punggungnya tertancap pisau, tidak hanya itu, darah segar mengalir dari sana.

“Hikaru?” Daiki menatap nanar. Ia beralih menatap Nanami, “Kau?”

Nanami mengangguk cepat, “Aku mengikutimu. Dan ternyata kau memang dalam masalah besar. Hikaru-kun…” Ia menoleh ke arah Hikaru, “Ingin membunuhmu?”

“…”

Hikaru… Hikaru…

“Aku akan memanggil bantuan. Tenang saja, aku sudah menelpon rumah sakit dan polisi” Nanami memeluk Daiki sebentar, “Tunggu di sini, Arioka-kun. Aku akan memanggil warga di sekitar sini untuk membantumu”

Setelah mengatakan itu, Nanami berlalu dari hadapan Daiki. Meninggalkan Daiki dengan mayat kedua temannya.

Kenapa? Kenapa bukan aku yang mati? Harusnya aku yang mati. Bukan Hikaru. Daiki menyeret tubuhnya mendekati tubuh Hikaru. Susah payah karena seluruh badannya serasa remuk.

Daiki menggapai tubuh Hikaru. Kembali menyeret kakinya untuk sekedar bergeser posisi agar jaraknya dengan Hikaru makin dekat. Daiki terengah-engah. Bibirnya sampai menyentuh lantai berdebu itu, wajahnya yang lengket akibat darah yang keluar kini dilapisi oleh debu.

Daiki mengamati wajah Hikaru. Ada perasaan pedih di sana. Betapa besar beban yang selama ini ia pikul. Betapa ia tak mengerti perasaan sahabatnya itu. Betapa ia bodoh tidak menjaga Ayami. Betapa—

Jemari itu bergerak.

“HIKARU?” Daiki bertanya keras, meskipun suaranya serak. “Kau masih hidup? Bertahanlah, Hikaru!” Daiki memegang pundak Hikaru, meskipun posisinya dengan Hikaru sama-sama tengkurap, Daiki berusaha untuk bangkit.

Mata itu tidak terbuka. Tapi bibirnya seperti ingin mengucapkan sesuatu.

“Hikaru, diamlah! Jangan bicara! Kau pasti selamat”

“La…”


“Apa?” Daiki mendekat. Menyeret lagi tubuhnya. Menempelkan kepalanya dengan kepala Hikaru.

“…L—“




“Hikaru?”

Dua detik kemudian, eksistensi itu meredup.

[ …If my wish was to come true, If my heart was too reach you
I want to see you
If time was to go back now, If I was to start over again
Once more I’d like to meet with you…] …Hikaru to Ayami.

***

THE END~

Credit song: Negai ga kanau nara – Matsushita Yuya


Yak akhirnya tamat ya kawan-kawan… *ngambil tisu*

Ada yang masih bingung?

Ada yang butuh epilog? *dipentung kebanyakan bacot* XDD

Yuk ah ditunggu epilognya ya~. Setelah itu bener-bener kelar XDD

kenapa saya ngebut gitu? solanya mau hiatus berkepanjangan *gak ditanya XDD*

Label: , , , ,



14 Komentar:

Blogger chikaです♪ mengatakan...

/mengingat sms tadi siang (apa sore?)

ish still cemberut until you post the epilog
and
am-not-jealous-with-the-oc

20 April 2011 pukul 08.26  
Blogger deya_daisuke mengatakan...

nah kan masih cemberut kan~
yaelah cuma maen dikit ama adeknya doang~ hahahahahaha~ *guling2*

sabar sabaaar ntar jadi senyum deh XDDD

20 April 2011 pukul 08.30  
Blogger chikaです♪ mengatakan...

atuh ngapa jadi beneran dibikin begituuuuu?? /headdesk

tadi kata lw gw bisa tambah ngamuk =a

20 April 2011 pukul 08.38  
Blogger ruucchi mengatakan...

blaaaaaaaahhhhhh, yabu nya =='
ternyata bejat =3=
paling paling bejat lagi >.<
tp munculnya bgtu doang, matinya cepet pl =3=

punya piling nih gw xDDD
lalalala

20 April 2011 pukul 18.15  
Blogger deya_daisuke mengatakan...

yah, meskipun gw menjamin nasib pengu lo, tapi kayaknya lo gak demen nih ama ending yg gw rencanain hahahahaahha~

yg jelas pengu lo bakal hidup tentram *GILE SPOILER BANGET* LOL

20 April 2011 pukul 18.15  
Blogger deya_daisuke mengatakan...

@kak ruri: jiah ngeposnya barengan~ hahahahha
nah kan bejat beneran kan si yabu kaaaaaan~ *ngakak*

nah lo apa tuh pilingnya?? hahahahaha~

20 April 2011 pukul 18.16  
Blogger ruucchi mengatakan...

jah iyak! g nyadar gw xDDD
aaaaaaaaaaaaahhhhhh~ pendiem gt tp beneran bejat nya >.<
awawawwawaww

ada deehhh~ liat aja tar piling gw bener apa g xDDD

20 April 2011 pukul 22.57  
Blogger deya_daisuke mengatakan...

yaudah simpen aja pilingnya.

btw ini gak ada yng ngomen bener yak?
dikritik gitu kek ada yg aneh apa gak....

hahahhaha~

20 April 2011 pukul 23.34  
Blogger ftaasr mengatakan...

Itu endingnya...
SEBENERNYA HIKARU MAU NGOMONG APAAN SIH AH?!

Kok udah tamat aja sih ah?
Ah epilog buruan deh aaaah~

21 April 2011 pukul 07.20  
Blogger deya_daisuke mengatakan...

@fietha: hikka mau ngomong 'la--'
lah spoiler bener gw kalo gw jawab yak... hahahaha

ini emang tamatnya maksa. maap yaaa~
oke makasih udah baca+komen XDD

24 April 2011 pukul 08.31  
Blogger Ra_Bgtz mengatakan...

Deya,,, saya nangis di warnet lah baca ending-nya~~~TT^TT *speechless*

itu Hikaru mau ngomong apa?? ayo bikin epilognya~~~*guncang2 Deya*

1 Mei 2011 pukul 03.49  
Blogger AstiYulia mengatakan...

arrgghh..bedon bgt gw T^T
nyasar kemari..baca ampe abis..dan baru ngeh ni chapter 10 *headdesk* jiahh..pantesan gw kek orang linglung bacanya *jedot2*
whoaa..angst..ngapa jadi sadis en bejat bgono nak HSJ xDD *digeplak*

2 Mei 2011 pukul 10.02  
Blogger deya_daisuke mengatakan...

@Ra: jiaaaaahhh nangis? lah? lah?
*kasih tisu* XDDD
epilog ntar ya~
sankyuuuuu XD

@asti: bwahahahahah ngapa lu nyasar dimari?
bejat? oh oh~ *bingung mau jawab apa*
baca gih dari awal XDD

10 Mei 2011 pukul 07.37  
Blogger minkyachan mengatakan...

eheyyy..gw datang doongg~

kok begini ya jadinya??
gw ngarep yg mati mah daiki, eh malah ditolong nanami~ *dipentung chika*
iyelah, kalo disuruh milih daiki ama hika ya pilih hikalah..pilihan bagus ayam-i!! *kasi 5 jempol*

apa ye??
emang pengaruh yabu apaan sih??*lupa cerita chap 1*
orang kaya ye dia? XDD

sok atuh EPILOGUEEENYAAA!!!!

14 Juni 2011 pukul 04.49  

Posting Komentar

home