december post

Deeto, janai ka?

Tears ch 1
3 comments gimme comment?

Tittle : Tears
Author : deya
Genre : Angst
Rating :pg13
Cast : Ryuutaro Morimoto, Kouta Yabu,others Chara
Disclaimer : I don’t own them. He belongs himself, God, His parents and JE. Tapi saya berharap Ryuu jadi adek saya *mriksa dompet ngeri gak bisa ngidupin ni anak*

YAP!!! Akhirnya setelah sekian lama saya pake sudut pandang orang ketiga lagi!! *gak penting*

ini penpik pesenan kak lenny~

******

Chapter 1 of 2

“Ryuu!”

Sebongkah suara bariton itu menyadarkan lamunannya. Sebelah bahunya ditepuk pelan. Ryutaro, begitulah ia dipanggil, mendongak dengan paksa. Tak ada canda di wajahnya, hanya seulas senyum tipis yang terlihat begitu dipaksakan.

Yabu, yang mendapati adiknya tengah duduk termenung sendirian, menghampirinya dan duduk di samping Ryutaro. Beberapa hari ini, tingkah Ryutaro sangat aneh. Sering menyendiri dan hampir tak pernah berbicara banyak seperti biasanya. Intensitas bersama keluarga juga kurang, bahkan hanya untuk sekedar mengobrol.

Terasing. Itulah kesimpulan yang Yabu peroleh dari hasil pengamatannya akhir-akhir ini.

Yabu memberikan senyum terbaiknya.

“Sepertinya ada masalah” Kata Yabu santai sambil menggigit sebuah apel merah yang ia ambil dari kulkas. Satu apel lagi diberikan untuk adiknya, yang diterima dengan enggan.

“Dare?” Ryutaro balik bertanya. Malas.

Yabu tersenyum sedikit, “Kau lah. Siapa lagi? Memang aku seperti terlihat punya masalah?”

Ryutaro bergeming. Merasa tak perlu menjawab, ia mulai menggigit apel yang diberikan kakaknya barusan. Meskipun perutnya tidak lapar, padahal dari tadi pagi ia belum menyentuh secuil pun makanan. Gigitannya terdengar pelan, kunyahannya lambat. Tanda ia tak bersemangat makan apapun.

Yabu memandang adiknya miris, “Bahkan Ryuu yang suka makan pun lenyap…”

Ryutaro melirik sebentar. Sedikit tertohok dengan ucapan kakaknya yang menusuknya sampai ke ulu hati. Otaknya berhenti memikirkan sesuatu selama beberapa detik. Keringat dingin mulai mengucur tanpa bisa ia mencegah. Tanpa sadar ia menelan ludah.

Keheningan itu berlangsung seterusnya. Tak ada lagi pertanyaan yang Yabu lontarkan. Dan tak ada penjelasan sedikitpun keluar dari mulut anak SMP tahun pertama itu.
Sama-sama berkutat dengan pikiran masing-masing. Dan tak ada titik temu yang menyatukan pikiran mereka.

Begitu banyak hal yang ingin diungkapkan. Berjuta kata yang harusnya terlontar.

Tapi—

Lagi-lagi, tangan dingin sang keheningan memaksa mereka untuk tetap diam.

******

Seorang lelaki berumur sekitar 18 tahun menunggu di balik tembok sekolah SMP Ryouku. Seragam SMA nya terlihat buruk, berbagai piercing tertanam di sepanjang hidung, bibir dan telinga. Siapapun yang melihatnya pasti dapat menebak, seperti apakah sifat anak ini. Dengan sabar ia menunggu. Dan ketika yang ditunggu tiba, senyumnya melebar luar biasa.

“Ohayou, Ryutaro!”

Ryutaro, memandang berandalan di depannya dengan tanpa ekspresi.

“Berikan barangnya!” Ucapnya dingin.

Si anak SMA menyeringai, “Hei…hei… jawab dulu dong sapaanku, Ryuu-chan”

Mata tajam Ryutaro menusuk, “Berikan barangnya sekarang, Hikaru!” Katanya penuh penekanan. Ia mengambil lembaran uang dari dalam kantong celananya. Menyodorkan dengan cepat ke dada anak yang dipanggil Hikaru itu.

Hikaru tersenyum senang, “Sasuga Ryutaro! Cepat sekali sih barang mu habis, heh?”

Ryutaro melengos sebal, malas beradu argument dengan makhluk di depannya. Matanya kembali menatap Hikaru, menunggu dengan sorot tak sabar.

Hikaru mengangguk pelan, merasa tak mungkin menguak sedikit suara pun dari mulut si SMP ini. Tangan kirinya merogoh saku celana, dan dalam hitungan detik, sebuah bungkusan kecil berpindah tangan. Ryutaro menampilkan wajah datarnya lagi. Bukan waktu dan tempat yang tepat untuk terlihat bahagia.

“Jaa, Ryuu-chan…” Hikaru menepuk pelan pundak Ryutaro dan meninggalkan anak itu sendirian.

Sesaat, ia terpaku. Merasa ada yang salah. Tapi ini sudah kepalang tanggung. Dirinya tak mampu lagi melangkah ke belakang ataupun ke depan. Sudah terlambat atas semuanya.

Tanpa sadar, genggamannya makin erat.

Benda ini. Satu-satunya harapan baginya.

Tak ada yang lain.

*****

Tergesa-gesa.
Ryutaro membanting daun pintu kamarnya keras. Meskipun Ibunya ada di rumah, ia tak cukup sabar untuk melakukan segala sesuatunya dengan perlahan. Engsel kunci pintu terdengar, tanda Ryutaro mengunci pintu kamarnya dengan sempurna.

Diletakkannya tas sekolahnya di lantai dengan asal-asalan. Ia berjalan cepat ke arah jendela, menutup gorden sampai keadaan kamarnya gelap seketika. Dengan cepat pula ia kembali pada tasnya, membuka resletingnya dengan paksa dan mengeluarkan seluruh isinya ke lantai. Hingga menimbulkan suara yang cukup berisik ketika benda-benda yang berjatuhan itu beradu dengan lantai.

Matanya membesar, ketika sebuah bungkusan hitam menyeruak. Ryutaro mengambilnya kasar, membuka bungkusan itu dengan biadap.

Dan ketika benda yang dicarinya telah di depan mata, sejenak ia diam. Perasaan itu kembali muncul. Kebimbangan sekaligus ketakutan. Ryutaro menelan ludah. Keringat dingin mengucur dengan sukses membasahi pelipisnya. Refkek, ia menepis keringat yang makin deras.

Diletakkannya benda itu ke lantai. Sementara itu, Ryutaro membuka blazer buru dongker yang ia kenakan. Mendaratkannya dengan sembarangan di lantai. Kemuadian ia menggulung lengan kemeja putihnya sampai di atas siku.

Matanya kembali fokus dengan banda bening yang tergeletak di lantai. Matanya menatap tajam pada sebuah—

…. jarum suntik itu.

Lagi—

Matanya terpejam.

Sebelum malaikat putih di otaknya beraksi, Ryutaro mengambil jarum suntik bening itu. Menjentikkan ujung jarumnya pelan. Dan dalam waktu 5 detik, jarumnya telah dipaksakan masuk ke dalam lengannya. Cairan bening terdorong masuk ke dalam tubuh melewati aliran darahnya. Bertepatan dengan itu, mata Ryutaro mulai berkunang-kunang. Ada ketenangan di sana. Ketenangan yang tidak dapat ia temukan dalam kehidupan nyatanya. Matanya terpejam, menikmati aliran cairan bening yang seolah berlari di dalam darahnya. Dan ketika cairan di dalam suntikan itu telah kosong, Ryutaro mencabutnya dengan kasar.

Ia menggapai ujung tempat tidurnya dengan susah payah. Dan menyenderkan tubuhnya yang makin terasa berat di sana. Matanya masih terpejam. Seakan menolak untuk melihat dunia luar.

Dalam lelah, Ryutaro samar-samar mendengar pintu kamarnya diketuk. Namun, tubuhnya tak kunjung beranjak untuk membuka pintu. Jasad dan raganya saling bermusuhan, menyebabkan ketidak sinkronan yang membuatnya tak sanggup melakukan perintah pada tubuhnya sendiri. Berjuta sel yang ada di dalam otaknya menolak menuruti perintah si empunya. Tak ada yang dapat ia lakukan sekarang. Selain membiarkan ketukan itu menghilang sampai si pengetuk bosan.

*****

3 Months ago….

Dalam duka, Ryutaro berlutut di hadapan sebongkah batu nisan. Kepalanya menunduk dalam. Tetesan rintik hujan mulai membasahi bajunya. Tapi ia tak peduli. Bahkan jika tetesan air hujan itu adalah pisau, ia tak akan menghindarinya.

Mati rasa.

Itulah hal yang ia alami saat itu.

Yabu mendekap tubuhnya erat. Ia menangis tanpa isak di pundak Ryutaro. Sedangkan Ibunya hanya menatap datar ke arah batu nisan. Matanya sembab. Disebabkan karena menangis seharian.

Ryutaro mendongk perlahan, ditatapnya batu nisan itu tanpa daya. Matanya memanas, dan tak lama buliran hangat membasahi pipinya yang chubby. Kedua mata itu terpejam sebentar, kemudian terbuka kembali.

Miris.

Ia berharap dapat melihat pemandangan lain selain batu nisan menyebalkan itu.

Untuk kedua kalinya, mata itu kembali terpejam. Memori beberapa jam yang lalu berjalan dengan indah di otaknya. Dimana ia berlari keluar rumah dengan perasaan marah. Detik berikutnya, Ayahnya mengejar Ryutaro dengan wajah luar biasa cemas.

Acuh, Ryutaro tak berpaling sedikitpun ketika Ayahnya memanggil-manggil namanya. Egonya terlalu besar meskipun hanya untuk sekedar menoleh. Dan saat itulah sang malaikat maut mulai mendekati raga Ayahnya….

Andai Ryutaro dapat mengulang kejadian setelah itu. Andai ia dapat sedikit memutar waktu. Akan ia tukar dengan apa saja jika Kami-sama mau mengabulkannya. Karena, setelah itu sebuah truk besar menghantam tubuh Ayahnya.

Untuk terakhir kalinya Ryutaro mendengar sang Ayah menyebut namanya. Begitu lantang dan penuh kasih sayang. Dan hal sepenting itu baru ia sadari ketika ia menoleh, tubuh orang yang ia sebut Ayah terpelanting beberapa meter dari bahu jalan.

Setelah itu—

Ingin sekali ia melupakan kejadian setelah itu. Dimana cairan kental berwarna merah menggenangi tubuh Ayahnya. Kepalanya hancur tak berbentuk karena terantuk batu besar. Dan—

Ryutaro benar-benar tak mengingat apapun. Karena ia sendiri terlalu takut untuk melihat kenyataan, dan kesadaran raganya menolak untuk tetap berdiri tegak.
Ia ambruk seketika.

Ryutaro menelan ludah. Mengingat kejadian tadi membuatnya kesulitan bernapas. Terlalu banyak permintaan yang ingin ia sampaikan pada Kami-sama. Tapi mungkin anak durhaka sepertinya tak kan bisa meluluhkan hati Kami-sama sedikitpun.

Frustasi.

Ryutaro kembali membuka mata.

Batu nisan itu menantang matanya. Seolah mengejek.

Ryutaro tak bermaksud sedikitpun untuk meladeni sikap angkuh sang batu nisan. Ia terlalu lelah untuk melakukan apapun.

Dalam rintik hujan sore itu, ia sempat bergumam pelan…

“Tou-san….” Begitu pelan sampai angin pun menyamarkan bunyi yang keluar dari mulut kecilnya, “Tou-san… Gomen ne…”

Saat itu juga, sungai air di matanya memaksa untuk keluar. Tanpa bisa ia cegah.

*****

Ryutaro memandang sarapannya tak berselera. Ia tak lapar. Jelas. Tapi ia tak mau Ibunya bertanya lebih, maka ia mulai mengambil sumpit dan mamasukkan nasi putih dengan paksa ke mulutnya. Sungguh, ia ingin muntah saat itu juga.

Ryutaro mengendalikan rasa mualnya, mengambil segelas air putih dan meneguknya hingga habis. Ia tak lapar, hanya sangat haus.

Melihat gelagat aneh dari anaknya, Ibunya bertanya halus, “Nee, doushitano Ryuu? Kau sakit?”

Ryutaro mendongak cepat, menatap Ibunya serba salah kemudian menggeleng dengan segera.

“Tidak. Hanya….“ Kalimat itu menggantung.

Yabu ikut memperhatikan adik semata wayangnya, mengernyitkan dahi. Ia heran melihat tingkah Ryutaro yang makin jauh dari sifat sehari-harinya. Jarang makan dan sering menyendiri di kamar.

“Ryuu, kenapa kau tak makan? Ini makanan kesukaanmu, kan?” Yabu bertanya heran.

Ditatapnya Ryutaro lekat. Berusaha mencari kebenaran dari gerakan bola matanya.

“Perutku mual. Gomen…” Jawabnya jujur, sedikit menghela napas.

Ibunya mendadak berdiri, memeriksa dahi Ryutaro dan terlihat berpikir keras. Ia merasa tak ada yang aneh dari anaknya ini. Suhu tubuhnya tidak tinggi. Dilihatnya wajah Ryutaro dengan cermat. Sedikit pucat dan lesu. Matanya merah.

“Ryuu, wajahmu pucat dan mata mu merah. Apa aku merasakan sakit atau—“

“Tidak” Ryutaro memotong pertanyaan Ibunya dengan tegas. Akan sangat gawat jika Ibunya mengajak pergi ke dokter. Itu bagus. Yah, sangat bagus untuk anak normal. Dan sangat tidak bagus untuk anak sepertinya.

Mengkonsumsi narkoba, mungkin—

Ryutaro menggeleng, “Daijoubu. Jangan berlebihan Kaa-san! Tadi malam tidurku kurang karena mengerjakan tugas sampai larut.”

Tatapan Ibunya menyelidik. Mencoba menantang sepasang mata bulat di depannya. Tapi tatapan itu membalasnya dengan tenang. Tanpa keraguan atau apalah itu namanya –yang menyiratkan ketidakjujuran.

“Kaa-san!” Yabu memanggil pelan, Ibunya menoleh cepat. “Ryuu hanya lelah sepertinya. Daijoubu!” Ucapnya sambil tersenyum kecil.

Sang Ibu kembali beralih menatap Ryutaro, anak itu meringis lucu.

Mungkin memang tak ada yang perlu dikhawatirkan. Tidak ada.

Mungkin.

Tapi rasanya terlalu ganjal.

Entah.

Naluri seorang Ibu kah?

******

Yabu membantingkan tubuhnya ke sofa. Lelah sekali rasanya seharian melakukan kegiatan di kampus. Sejenak dipandangi Ibunya yang tengah menyiapkan makan malam, ia baru menyadari sekarang sudah pukul 7 malam.

Yabu menoleh kea rah tangga, dimana kamar Ryutaro dan dirinya berada. Tak ada tanda-tanda kegiatan apapun yang terdengar.

“Ne, Kaa-san!”

Ibunya menoleh ringan, “Nani?”

Yabu menghampiri meja makan, sedikit lebih dekat dengan posisi ibunya yang berada di dapur. Ia mulai memandangi makan malam yang terlihat menggiurkan.

“Dimana Ryuu? Belum pulang?”

Mendengar pertanyaan anaknya, wajahnya berubah serius.

“Belum. Keitainya tidak aktif. Dia tidak bilang padamu kemana?”

Yabu menggeleng pelan, bola matanya berputar. Mencoba menerka dimana keberadaan adiknya itu. sudah beberapa hari ini, Ryutaro sering pulang terlambat. Awalnya Yabu berpikir karena kegiatan sekolah, tapi rasanya alasan itu terlalu aneh.

Yabu mengeluarkan keitai nya, menekan tuts sesuai yang diinginkannya. Menelpon Ryutaro. Tapi benar seperti yang Ibunya katakana, keitai adiknya tidak aktif.

“Apa perlu aku mencarinya?”

Wanita paruh baya itu menggeleng pelan, “Kau tahu sifat adikmu kan? Dia tidak suka diperlakukan seperti anak-anak, meskipun itu benar”

Yabu menghela napas berat. Ryutaro memang anak yang keras kepala. Meskipun begitu ia tetap adik yang baik dan periang. Setidaknya beberapa bulan yang lalu. Semenjak ayahnya meninggal dunia.

Ya.

Semenjak itu.

Mungkinkah—

Yabu berdiri, tersenyum manis pada ibunya.

“Ya. Ryuu pasti baik-baik saja. Aku mau ke kamarnya ya, mau pinjam manga. Tunggu dia pulang, baru kita makan malam. Begitu kan?”

Ibunya hanya tersenyum simpul.

****

Tak susah mencari tumpukan manga di kamar Ryutaro. Hampir seluruh isi lemarinya adalah manga. Anak itu memang gemar sekali membaca manga. Membuat Yabu tak usah repot-repot membeli, karena pasti Ryutaro akan membelinya.

Pandangannya tertuju pada satu judul manga kesukaan Ryutaro. Yabu melihat edisi nomor terakhir, sekitar sebulan yang lalu. Aneh rasanya seorang Ryutaro ketinggalan beberapa volume. Yabu ingat betul, dulu adiknya sangat marah ketika ia lupa membelikan seri manga keluaran terbaru.

Janggal bukan?

Tak mungkin adiknya berpindah hobi dalam waktu singkat.

Lalu, ada apa?

Yabu mulai mencari, siapa tahu manga edisi terbaru terselip di suatu tempat. Mengingat kamar Ryutaro lumayan berantakan.

Tapi ia tidak menemukan tanda-tanda adanya manga seri terbaru itu.

Yabu menghela napas berat.

Ya sudah lah. Pikirnya pasrah.

Yabu berdiri, hendak keluar dari kamar Ryutaro. Dan pada saat yang bersamaan ia menyenggol sebuah bungkusan kecil berwarna hitam yang berada di lantai. Yabu memungut bungkusan itu. sepertinya ia tak melihat benda ini tadi. Mungkin muncul akibat ia mengobrak-abrik kamar Ryutaro.

Sedikit heran, Yabu memiringkan kepalanya. Berharap mengetahui isi bungkusan tersebut tanpa membukanya.

Hal yang mustahil. Maka tanpa ragu, Yabu membuka bungkusan hitam itu.

Dan keluarlah beberapa benda yang sampai matipun ia tak rela melihatnya.

Sedetik

Dua detik

Tiga detik

Sekujur tubuhnya membeku seketika.

Kedua bola matanya tak berkedip sedetikpun. Ribuan jarum seperti menusuk-nusuk tubuh kurusnya. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat itu juga. Aliran darahnya mendadak tak bekerja seperti biasanya.

Yabu menggeleng lemah, napasnya naik turun menahan emosi. Sesak luar biasa.

“Uso!” Ucapnya lemah. Matanya berkunang-kunang. Seperti dijatuhi seton bongkahan batu yang siap melahap nyawanya.

“Uso!” Yabu terduduk lemas. Kakinya tak sanggup lagi menopang tubuhnya.

“USOOOO!!!!!”

Frustasi.

Yabu berteriak kalap.

Mana mungkin?

Mana mungkin?

Ini bohong kan?

Kan?

Tapi—

****

Tubuh mungil itu teronggok di jalanan seperti sampah. Ia tak kuat menahan tubuhnya sendiri untuk berjalan, padahal jarak rumahnya hanya tinggal beberapa ratus meter lagi. Desiran angin malam mulai mengoyak rambutnya. Udara dingin dengan lancangnya menerobos masuk dalam sel-sel darahnya.

“Ugh…” Ryutaro merintih pelan.

Pandangan matanya mulai memudar. Perutnya kembali mual. Ia sangat tahu keadaan seperti ini. Sangat tahu.

Ia butuh jarum suntik. Ia harus segera mendapatkannya.

“Ayolah!” Ryutaro memukul kepalanya sendiri, “Sebentar lagi sampai rumah. Ayo jalan, bodoh!”

Ryutaro mengutuki dirinya sendiri, padahal jika ia mau berusaha lagi, ia akan cepat sampai rumah dan menemukan jarum suntiknya.

Sedikit lagi.

Ya.

Sedikit lagi.

Ryutaro memaksa kakinya untuk berdiri, dan saat itu juga ia kembali tersungkur ke tanah. Seragam sekolahnya cukup kotor hari ini, mungkin ibunya akan bertanya. Tapi ia tak peduli, yang ia butuhkan saat ini adalah jarum suntik. Hanya itu. Persetan dengan yang lain.

Ryutaro merangkak seperti orang lumpuh. Debu tanah mulai memasuki mulutnya yang kering. Sungguh, ia haus luar biasa.

Yamete!

Yamete!

YAMETE!!!!

Tidak!

Tidak!

Ia tidak boleh terlihat mengenaskan seperti ini di depan keluarganya.

Tidak!

Setidaknya jangan di depan Ibunya.

Tidak!

Mana mungkin ia membuat ibunya menangis lagi!

Tidak!

Tidak!

Ryutaro mengepalkan tangannya, memukul tanah dengan perasaan marah. Marah pada dirinya sendiri. Kenapa ia begitu bodoh sampai melakukan hal seperti ini?!

“Ryuu!”

Suara itu?

Ryutaro mendongak. Mendapati kakaknya tengah berdiri tepat di depannya dengan tatapan— entah bagaimana Ryutaro menjelaskan.

“Kau kenapa?” Yabu tampak khawatir luar biasa. Ia mengangkat tubuh adiknya dengan cepat. Menopang kepalanya ke dalam lengannya yang panjang.

“Daijoubu?”

Ryutaro menelan ludah. Kering. Tak ada air liur sedikitpun. Tenggorokannya tercekat. Tak ada suara sedikitpun yang dapat ia keluarkan untuk menjawab pertanyaan Yabu.

“Ryuu! Jawab aku!” Yabu mulai mengoncangkan badan Ryutaro. Adiknya tak kunjung mengeluarkan suara. Wajahnya pucat. Keringat dingin mengucur dengan deras. Yabu mengusap pipi Ryutaro, menghilangkan debu tanah yang menempel.

“Ryuu! Sadarlah!”

Berat. Ryutaro membuka mata.

Dan—

Tes!

Ryutaro mengerjap pelan.

Tes!

Ryutaro tak sanggup lagi melihat pemandangan selanjutnya. Karena pandangan matanya mendadak gelap. Tubuhnya ringan luar biasa.

***

Putih.

Atap putih.

Ryutaro mengerjap.

Di surga kah? Tidak mungkin orang seperti dirinya masuk surga.
Lalu?

Rumah sakit kah?

“USO!” Teriak Ryutaro keras.

Ia bangun seketika. Panik mendapati dirinya ada di rumah sakit. Gawat! Teriaknya dalam hati. Mana mungkin ia bisa berada di rumah sakit?

“Ryuu! Tenanglah!”

Ryutaro menoleh. Lebih kaget lagi mendapati kakaknya duduk dengan manis di samping tempat tidurnya. Memegang kedua tangannya yang sedari tadi berontak.

“Nii-chan?” Ryutaro masih tak percaya. Serba salah, ia menatap kakaknya.

Yabu tersenyum hangat, “Daijoubu Ryuu. Kau sudah di rumah”

Ryutaro melebarkan pandangannya ke sekitar ruangan. Ia tak berada di rumah sakit. Ini di dalam kamarnya sendiri.

Tanpa sadar, Ryutaro menghela napas lega. Ia kembali menjatuhkan tubuhnya ke kasur. Memejamkan matanya yang terasa panas. Sungguh, ia ketakutan luar biasa tadi.

Tiba-tiba ia menyadari sesuatu, apa yang terjadi dengan dirinya tadi? Bukankah ia seharusnya terkapar di pinggir jalan? Mungkin kah—

“Nii-chan, aku kenapa ya?”

Yabu kembali tersenyum, “Kau tadi pingsan di jalan. Sudah kuperingatkan jangan sampai telat makan, kau ini susah sekali sih diberitahu!”

Ryutaro menyunggingkan senyumnya, tipis.

“Gomen, aku—“

“Sudahlah. Lebih baik kau tidur sekarang!” Potong Yabu.

“Ano, Kaa-san wa?”

Yabu mengelus kening Ryutaro lembut, “Daijoubu. Kaa-san sudah tidur. Sekarang tidur lagi ya! Apa kau mau aku menemanimu di sini?”

Ryutaro menggeleng cepat, “Tidak usah. Dan, arigatou Nii-chan!”

Miris.

Sangat miris Yabu melihat adiknya yang bertingkah seperti biasanya. Seperti tak terjadi apa-apa. Entah kenapa matanya tiba-tiba terasa panas.

“Un!” Jawabnya sambul mengangguk.

Yabu keluar kamar dan menutup pintu.

Meninggalkan Ryutaro sendirian.

Tanpa pikir panjang Ryutaro langsung bangkit dari tempat tidurnya. Dari tadi ia menahan sakit luar biasa yang dapat ia sembunyikan dari Yabu dengan sempurna. Ia mulai merogoh laci mejanya.

Tak ada apapun.

Aneh.

Ia ingat betul meletakkan jarum suntiknya di laci itu.

Panik.

Ryutaro mulai membongkar seluruh isi laci mejanya. Mana mungkin benda sepenting itu bisa hilang.

Tidak.

Tidak mungkin hilang.

Pasti ada di suatu tempat.

Dalam kesibukannya itu, Ryutaro tak menyadari. Bahwa aktivitasnya terekam dengan sempurna di mata Yabu.

“Ryuu?” Panggilan itu cukup membuat Ryutaro melonjak saking kagetnya.

Ia gugup.

“Nii… Nii-chan? Kenapa kembali lagi?”

Ryutaro menelan ludah. Tatapan Yabu datar. Ekspresinya serius. Entah kenapa Ryutaro merasa was-was.

“Kau mencari apa?”

Kembali gugup. Setetes keringat meluncur dari pelipisnya.

Ryutaro menggeleng pelan, “Bukan hal penting kok. Hanya….”

Ryutaro tak sanggup berbohong. Akan sangat terbaca oleh Yabu. Kakaknya pintar menebak psikologi ekspresi wajah orang.

“Bukan hal penting? Kau yakin?”

Ryutaro mengangguk canggung.

“Kalau bukan hal penting, kenapa tidak dicari besok saja?”

Entah sudah keberapa kali, Ryutaro menelan ludah.

“Iya, tapi—“

“Tidurlah!”

Tatapan itu tajam.

Yabu merogog saku jaketnya, dan benda yang ia keluarkan sanggup membuat kedua bola mata Ryutaro melebar.

“Apa kau mencari benda ini, Ryuu?”

Bagai di belah pedang, jantung Ryutaro hampir berdetak. Ia tak sanggup menggambarkan ekspresi Yabu yang begitu meyeramkan. Ia tak sanggup mengeluarkan sepatah katapun, ketika Ibunya menyeruak masuk ke dalam kamarnya dengan mata sembab.
Ia benar-benar manusia bodoh.

Itu yang ia sesali saat itu juga.

***
To be Continued…


ahhhhh~ kurang dapet kurang dapet banget!!!!
*pundung*



Label: , , , , , ,



3 Komentar:

Blogger lenny_da mengatakan...

First? yay! <33

hahahaaa ryuu-nya lucuuu *anak stres gitu dibilang lucu??
makasi de udah dibikinini hehhee....

oke, gw komen yak~
feelnya iya agak kurang gimana gitu , tapi pas flashback ama yang ryuu'a gelepar di jalanan itu dapet kok!
terus endingnya BAGUS!!
hahaha gw suka pas ryuu panik nyari suntikan eh yabu2 tiba2 dateng mukyaaaa~~ xDD

ayoo ayoo part 2nya jgn lama2 yo! *dicekek~

18 April 2010 pukul 22.15  
Blogger deya_daisuke mengatakan...

kak lennyyyyyyyyyyy~~~
tidakkkkk yabaiiiii~
gw gak tau ngapa yak gak dapet bgd feelnya..
kaga jago ni gini nih!!!!
nyeheee~
maap yak maapkan saya
*dogeza*

hahaaa...oke ya ngebayangin ryuu tepar di jalanan..
wakakaaakaa
*mule gila*

semoga endingnya bisa dapet gitu feelnya...
saya akan berusaha...

20 April 2010 pukul 20.25  
Blogger minkyachan mengatakan...

hoeee...
saya datang membaca lagii..

--------------------

what desu yo??
hika 'jualan' bginian lagi??
demen bgt dah dia jualan bginian..
dasar, perannya g jauh dari bginian!
*apaan sih bginian,bgituan?*

pas ryunya 'make' bhasa lo udah fantastis bgt, kek org udah pnah make gt deh de..*jangan"??*

gw bisa bayangin tatapannya yabu yg mengerikan t ama si ryu..
gw ngliat dy mesem aja ngeri..
tapi pastinya ganteng yee..

and now, i will read next chap~~
hohohoho

21 Juli 2010 pukul 01.47  

Posting Komentar

home