december post

Deeto, janai ka?

beautiful sleeping chapter 06
4 comments gimme comment?

Tittle : Beautiful Sleeping
Author : deya
Genre : Angst
Rating : Pg15
Cast : Arioka Daiki and others
Disclaimer : Saya cuma memiliki cerita dan OC nya XD

***

Chapter 06
.:Choice:.

Nanami memandang heran rekan kerjanya sedari tadi. Tatapannya tak lekat dari wajah Inoo Kei. Cowok gemulai itu terlihat tertekan, terbukti dengan wajahnya yang menegang. Tampak lebih serius dan pendiam. Maka dari itu, saat jam istirahat Nanami mendatangi Inoo yang tengah duduk lemas sambil menyandarkan kepalanya di loker pegawai. Saat Nanami mendekat, cewek itu baru sadar kalau Inoo memejamkan mata.

“Ngg… Inoo-san!” Panggil Nanami pelan. Ia tak ingin menganggu sebenarnya, tapi ada hal penting yang ingin ia tanyakan mengenai Daiki. Dan tentu saja tak dapat ia tanyakan langsung pada Daiki.

Kedua mata Inoo terbuka, ia melirik sekilas.

“Hm?”

“Kore!” Nanami memberikan secangkir teh herbal dengan tangan kanannya.

Inoo menerima saja, ia malas bertanya kenapa cewek itu memberikan teh herbal untuknya.

“Arigatou” Kata Inoo singkat, hanya untuk sekedar berbasa-basi.

“Ano…” Nanami memandang ragu, berusaha mencari jawaban dari wajah Inoo. Ia takut menganggu di saat yang tidak tepat. “Apakah aku…boleh duduk di sampingmu?”

Inoo mau tak mau memandang langsung ke arah Nanami. Dalam hati ia bertanya, mungkin ada sesuatu sampai Nanami berbaik hati memberinya teh herbal. Inoo tersenyum miris dalam hati, Nanami memang selalu baik padanya. Cowok itu mengangguk pelan. Ia menyeruput teh hangatnya.

Nanami tersenyum senang, ia duduk di samping Inoo. Pertama menanyakan kenapa sikap cowok itu berubah akhir-akhir ini. Dan hanya ditanggapi Inoo dengan alasan terlalu lelah. Nanami mengangguk mengerti, ia tak ingin bertanya lebih jauh. Mungkin Inoo memang sedang ada masalah dan ia tak berhak untuk tahu.

“Apa yang ingin kau tanyakan?” Inoo tiba-tiba bertanya, membuat Nanami salah tingkah.

“Eh? Kok—“

“Sudahlah” Inoo memotong santai, “Ada yang ingin kau tanyakan kan? Tentang apa? Daiki?”

Mandapat pertanyaan menyudutkan seperti itu makin membuat Nanami salah tingkah. Ia hanya menunduk malu karena tingkahnya terbaca dengan jelas oleh Inoo.

”Emm, bolehkah aku tahu siapakah…” Nanami menahan napas, “Ayami?”

Sedikit—kedua mata bening Inoo melebar. Tak menyangka akan mendapatkan pertanyaan yang sulit dijawab seperti itu. Tapi ia tetap berusaha tenang. Air mukanya kembali normal. Datar.

“Darimana kau tahu tentang Ayami?” Inoo bertanya santai, kembali meminum tehnya,memegang cangkirnya dengan sedikit gemetar. Tentu saja Nanami tak menyadarinya.

Nanami memiringkan kepalanya sedikit, “Daiki yang mengucapkan nama itu. Apakah aku salah bertanya Inoo-san?”

Inoo menggeleng pelan, “Tidak kok. Kapan Daiki menyebut nama itu?”

Nanami tampak berpikir, “Kira-kira seminggu yang lalu. Ketika Hikaru terakhir datang kemari. Waktu itu aku…” Nanami sempat diam, ia ragu menceritakan kenapa ia berada di dalam apartemen Daiki tengah malam seperti itu.

“Kau kenapa?”

Nanami mendongak, “Maksudku… Bukannya aku melakukan apa-apa… Hanya saja…”

Nanami menelan ludah, “Aku menunggu Daiki di apartemennya setelah resmi diterima bekerja di sini waktu itu.”

“Lalu?” Inoo tetap santai, berusaha mengindahkan kenyataan hubungan Daiki dan Nanami yang sudah sedemikian jauhnya itu. Masalah itu tidak penting sekarang. Masalah pribadinya jauh lebih tidak penting daripada satu nama itu—Ayami.

Nanami merasa Inoo tak berpikiran macam-macam, maka ia melanjutkan ceritanya. “Ketika aku menunggu, datang seorang anak laki-laki. Sekitar berumur 15 atau 16 tahun datang ke apartemen dan mencari Daiki, aku menyuruhnya menunggu di dalam tapi ia tak mau. Malah ia menunggu di luar.”

Anak laki-laki?

“Beberapa jam kemudian Daiki pulang, dengan wajah aneh. Aku pikir karena di terlalu lelah, maka aku tak bertanya banyak. Dia bilang sih tak ada apa-apa.”

Berwajah aneh?

Inoo tetap menyimak cerita Nanami tanpa sedikitpun memotongnya.

“Aku memberitahunya mengenai anak laki-laki tadi, dan Daiki bilang ia sudah bertemu dengannya. Dia bilang anak itu adiknya—“

“ADIKNYA?” Setengah berteriak, Inoo memotong cerita Nanami.

Nanami mengerutkan kedua alisnya, reaksi Inoo barusan menggelitik hatinya untuk bertanya lebih.

“Iya adiknya. Apa kau mengenalnya Inoo-san?”

Adiknya? Sebentar, apakah Chinen? Adik Daiki hanyalah Ayami. Tapi laki-laki? Tak salah lagi!. Inoo sibuk dengan pikirannya sendiri sampai tidak menghiraukan pertanyaan Nanami.

“Inoo-san?” Nanami mengulang.

Inoo menoleh cepat, “Ah ya, aku mengenalnya. Lanjutkan ceritamu!”

Sebisa mungkin Inoo tak menampakkan sikap khawatirnya. Kenapa Chinen datang lagi? Apa dia yang selama ini membunuh Yabu dan Takaki?

“Ketika itu Daiki ambruk di pelukanku, dan dia menyebut nama Ayami.”

Nanami menghela napas berat, “Ia menangis…”

Belum lagi dikejutkan tentang Chinen, kali kedua Inoo hampit terlonjak kaget. Daiki menangis?

“Nee, Inoo-san. Siapa Nanami? Kenapa Daiki menyebut namanya berkali-kali sambil menangis?”

Inoo terdiam. Pikirannya kosong mendadak. Keringat dingin menetes di pelipisnya. Ia tak menyangka akan secepat itu Daiki kembali teringat tentang Ayami. Ia tak menyangka secepat itu Daiki kembali rapuh. Dan apa yang dilakukannya kemarin? Malah membuat Daiki tambah frustasi.

“Inoo-san? Kenapa diam?”

Inoo menggeleng lemah, membuka satu kancing kemejanya. Entah kenapa ia merasa panas.

“Ayami juga adik Daiki.”

Hanya jawaban singkat tersebut yang berhasil keluar dari cowok berkulit putih itu. Masalahnya, ia tak dapat memikirkan jwaban lain untuk menyangkal kebenaran status antara Daiki dan Ayami. Otaknya terlalu berat menerima segala pengakuan dari Nanami barusan. Kenapa Daiki tak pernah bercerita padanya kalau ia bertemu dengan Chinen? Dan mengenai Ayami—

“Adik?” Nanami mengangguk mengerti, “Lalu?”

Seakan belum puas mendapat jawaban singkat itu, Nanami kembali menuntut.

“Ayami sudah meninggal, 5 tahun yang lalu. Mungkin, Daiki hanya rindu dengan adiknya”

Nanami kembali mengangguk, jawaban yang masuk akal.

“Nee, aku sedang tak enak badan. Bisa kau bilang pada bos aku ijin hari ini?”

Nanami mengangguk pelan, “Hai. Istirahatlah Inoo-san”

Inoo mengangguk sambil berdiri. Melepas kemejanya dan membuka lokernya dengan cepat. Dada lapang itu sudah terbungkus kaos putih. Tak lupa Inoo mengambil jaket hitamnya, membawanya dengan tangan kiri. Ia bergegas hendak keluar dari ruangan itu.

Ketika ia memegang knop pintu, ia menoleh.

“Arigatou tehnya, Nanami” Ia tersenyum singkat.

Dan dibalas Nanami dengan anggukan riang.


***

Daiki berlari kecil menuju tempat parkir. Jaketnya terpasang asal. Keringat masih membanjiri sekujur tubuhnya. Ia kaget, ketika ditengah show—DJ maksudnya—Inoo memanggilnya. Belum lagi tadi Nanami berkata bahwa Inoo tak enak badan dan memilih untuk istirahat di rumah. Keadaan temannya itu memang tak begitu baik, tapi sampai ijin kerja segala membuat Daiki berpikir dua kali untuk mempercayai kata-kata Nanami.

Terus terang saja, perasaannya belum juga membaik semenjak kematian Takaki. Siapa yang dengan mudahnya melupakan kematian sahabat sendiri? Jawabannya tentu tidak ada. Itulah yang Daiki rasakan. Dan ia menebak hal yang sama terjadi pada Inoo dan Hikaru. Bahkan Hikaru lama tak muncul di club. Hanya sesekali menanyakan keadaannya dan tentu saja—keadaaan Inoo.
Belum lagi telpon itu—

“Daiki!”

Daiki menoleh, Inoo melambai sambil berdiri bersandar pada motor balap kesayangannya. Daiki mendekati temannya itu dengan pandangan menyelidik. Bagian manakah yang tidak sehat dari tubuhnya.

Inoo tersenyum, agak memaksakan.

“Maaf menyuruhmu datang kemari padahal kau sedang sibuk, Daiki” Inoo memulai. Mencoba terlihat santai, tapi malah terlihat kaku. Ingin bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, tapi malah mengesankan telah terjadi apa-apa.

Daiki menggeleng lemah, “Ii no. Kata Nanami kau tak enak badan? Mau pulang?”

Inoo tersenyum miris, menyilangkan kedua tangannya santai. “Seluruh badanku sakit, Daiki. Bahkan sampai ke tulang rusuk. Menembus jantung dan menyusup ke paru-paru. Sulit bernapas sampai mau mati rasanya”

Daiki terhenyak sejenak, tanpa perlu otak yang cerdas untuk mengetahui ke arah mana Inoo membawa pembicaraan ini. Tanpa Inoo sadari, Daiki merasakan kepedihan yang sama. Bahkan lebih dalam. Lebih dalam dan kelam.

“Inoo…”

Inoo menggeleng lemah. “Aku tak akan menyalahkanmu, Daiki. Seperti apapun keadaan kita, bukankah kita tetap teman?” Senyuman lembut, “Deshou?”

Senyuman itu malah membuat mata Daiki terasa panas, “Inoo…”

“Cukup Daiki! Jangan memasang wajah seperti itu. Aku jadi ingin menciummu!” Tawa pelan, “Bercanda kok”

Daiki menunduk dalam. Jangan tertawa Inoo, kau hanya membuat jantungku berdenyut nyeri. Pinta Daiki dalam hati.

“Lalu, bisa kau ceritakan kenapa Chinen menemuimu?”

Daiki mendongak cepat. Sepasang mata jenaka tengah menatapnya, menunggu jawaban jujur dan bukan alasan klise. Mata itu menantang. Seakan tahu kelakar macam apa yang akan Daiki gunakan.

“Kenapa kau—“

“Katakan saja ada apa!”

Sungguh, Inoo tak bermaksud bertanya dengan nada seperti ini. Ia tak mau melukai perasaan Daiki dengan mengingatkannya pada Chinen ataupun dengan orang itu—Shinichi. Tapi, ia tak yakin Daiki akan mengatakan yang sebenarnya jika ia memohon seperti biasa. Ia tahu benar bagaimana sifat Daiki. Tipe orang yang selalu diam dan menyimpan segalanya sendirian. Tak heran jika dulu anak ini sempat mengalami depresi berat.

Daiki membuang wajahnya, menghindari tatapan Inoo. Membuat Inoo geram. Cowok yang lebih tinggi darinya itu menarik kedua bahu Daiki, menghadapkan tubuh pendek itu ke hadapannya, di depan wajahnya langsung.

“Katakan!”

Ragu, Daiki mendongak. Kemudian ia membuang muka lagi.

“ARIOKA DAIKI! JAWAB PERTANYAANKU!”

Inoo mulai tak tega. Pertanyaan ini sama saja membuka luka lama temannya. Luka yang tak pernah bisa ia lupakan. Begitu pula dengan dirinya.

“Dia… Chinen… Mengetahui kematian…” Makin pelan, “—Yabu”

Kedua mata Inoo melebar cepat.

“Apakah dia?”

Daiki menggeleng pelan, “Bukan dia pelakunya”

“Lalu?”

“Dia… Memberiku sebuah peringatan…”

Kedua mata Inoo mengerjap was-was, “Apa itu?”

Daiki menatap mata bening Inoo, “Katanya, aku harus berhati-hati dengan orang-orang terdekatku”

Sejenak Inoo lupa bagaimana cara ia menghirup udara, ia lupa bagaimana cara ia bernapas. Ia lupa bagaimana harus bergerak. Ia melupakan semua itu hanya karena mendengar penuturan Daiki yang lebih mengarah pada sebuah… tuduhan?

Kedua cengkraman itu lepas tanpa dikomando. Membiarkan kedua bahu Daiki kembali terkulai lemas.

“Maksudmu? Antara aku dan Hikaru…” Ia menelan ludah, “Pelakunya?”

Daiki menggeleng lemah. Ia tak yakin.

“Demi Tuhan, Daiki! Kau kira aku dan Hikaru tega membunuh Yabu? Takaki?”
Daiki kembali menggeleng. Lebih kencang.

“Lalu? Kenapa Chinen berkata seperti itu? Astaga…” Inoo memegang dahinya frustasi, “Anak brengsek itu!”

“Maaf…” Kepalanya makin tertunduk, “Aku yang telah membunuh mereka. Aku yang menyebabkan mereka jadi seperti itu. Bahkan kau maupun Hikaru mungkin—“

“URUSAI!” Inoo berteriak geram, “Dimana otakmu, hah? Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri! Sudah kubilang aku akan menangkapnya!”

Daiki menggeleng pelan, “Tidak semudah itu, Inoo. Dia… Dia… menelponku lagi…”

Kedua mata Inoo menyipit, “Kapan? KENAPA KAU DIAM SAJA HAH? KAU ANGGAP APA AKU DAN HIKARU? SAMPAH? SAMPAH YANG MENUNGGU MATI?”

BUUUUUUGGGGGGG!

Sebuah tinju melayang di wajah mulus Inoo. Membuat cowok itu kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Matanya menatap si pemukul tajam, detik kemudian amarah itu hilang. Ia menunduk dalam.

Daiki menoleh cepat, mendapati Hikaru tengah berdiri di sampingnya dengan mata merah. Bahkan ia sendiri tak tahu sejak kapan Hikaru berada di sana.

“Tutup mulutmu, Inoo” Desisnya. Dadanya naik turun, berusaha menahan amarah yang siap keluar dan menghujam tubuh Inoo. “Ada apa denganmu? Kemana larinya otak pintarmu, hah?”

“Hentikan… Hikaru, hentikan!” Daiki berkata pelan. “Yang harusnya kau pukul itu aku, bukan—“

BUUUUUGGGGG!

Satu pukulan mendarat di wajah Daiki, cowok itu terjatuh dengan mudah.

“Kau juga, Daiki!” Emosi Hikaru makin meningkat, ia berusaha meredam sekuat mungkin, “Berhenti menyalahkan dirimu! Berhenti menyembunyikan apapun dari kami!”

Tak ada yang menyahut. Hening.

“KALIAN BERDUA MENYEBALKAN!” Hikaru meninju pagar beton dengan tangan kanannya. Darah segar keluar dari sana. Bergesekan dengan tekstur bangunan yang kasar, membuat aliran darahnya makin deras.

Hikaru merosot lunglai, matanya terpejam. Rasa sakit mengekspos seluruh tubuhnya. Sakit secara fisik dan jiwa sekaligus. Membuat emosinya tak terkendali sama sekali.

“Kita sama-sama sakit…” Hikaru berkata lemah, “Sama-sama kehilangan. Sama-sama terpuruk. Semua yang kalian rasakan juga aku rasakan. Tapi…”

Hikaru kembali memukul pagar beton, ia tak peduli jika akan mati kehabisan darah. Persetan dengan kematian!

“Tapi kami mengkhawatirkanmu… Daiki…” Hikari frustasi, ia menjambaki rambutnya sendiri.

Daiki mendongak pedih. Ia tahu. Ia mengerti dengan jelas. Tapi otaknya menolak untuk memahami. Meskipun ia sangat takut menghadapi orang itu. Daiki menggeleng pelan, ia bukan takut dengan orang itu. Ia takut dengan—
dirinya sendiri.

Ia takut dengan segala keterpurukan yang melandanya dulu. Ia tak mau menyusahkan teman-temannya lagi. Cukup sekali dan itu sudah sangat menyedihkan.

Ia yang bersalah bukan? Kenapa teman-temannya yang menanggung segalanya? Kenapa? Kenapa orang itu menyiksanya pelan-pelan seperti ini? Akan lebih bagus jika orang itu membunuhnya langsung. Tapi kenapa—

Daiki bangkit, ia berdiri diantara Inoo dan Hikaru. Tapi tak memandang keduanya fokus. Sorot matanya tajam. Bukan saatnya ia merasa takut. Bukan saatnya ia kembali terpuruk. Bukan. Itu bukan hal yang harus ia lakukan sekarang.

“Dengarkan aku!” Daiki memulai, serius. “Kalian berdua, dengarkan aku sekali ini saja!”

Kedua temannya mendongak heran, memandang Daiki tanpa mengeluarkan suara. Dalam hati mereka menebak segala sesuatu yang akan keluar dari mulut Daiki. Hanya satu hal yang mereka takutkan—

“Kali ini, jangan ikut campur—“

“Daiki—“

“DENGARKAN!” Daiki memotong galak, emosinya sedikit meluap. Mendengar Daiki berteriak, Inoo kembali diam.

“Jangan ikut campur…” Suaranya mulai melemah, “Justru karena kalian temanku, kumohon jangan ikut campur. Cukup sampai disini aku merepotkan kalian. Aku akan lebih kuat, aku akan…” Berhenti sejenak, “Melawan orang itu… Sendirian”

“TIDAK!” Hikaru berteriak marah, “KAU GILA? MANA MUNGKIN—“

“Cukup Hikaru…” Potong Daiki datar, “Cukup sampai disini. Inilah permohonanku sebagai teman. Aku tak bisa melihat teman-temanku mati satu-persatu sedangkan aku sendiri masih hidup”

Hikaru mendekati Daiki, langkahnya tertatih. Tenaganya habis.
Kedua tangan kekarnya memegang pundak Daiki kencang, “Setidaknya biarkan kami bersamamu, bodoh!”

Daiki menggeleng pelan, seulas senyum tersungging di bibirnya.

Inoo ikut bangkit, berdiri di samping Daiki dengan wajah serba salah.

“Keras kepala!” Inoo memaki pelan.

Daiki tertawa miris, “Yang dia inginkan adalah aku. Bukan kalian!”

Hikaru menggeleng keras, “Persetan! Kita hadapi bersama, Daiki! Anggap saja ini permohonan terakhir kami”

Kembali gelengan.

Kedua mata Inoo mulai panas, melihat sikap santai Daiki membuatnya takut. Ia takut kehilangan temannya itu. Ia takut anak ini akan berbuat nekat—seperti dulu.

“Aku tidak akan membunuh orang lagi. Aku berjanji!”

Sambil tersenyum, Daiki melepas cengkeraman Hikaru.

“Tenanglah. Demi kalian, aku memegang janji itu. Percayalah”

Tak ada sahutan. Hanya desahan napas berat. Ketiganya diam. Tenggelam dengan pikiran masing-masing. Berusaha menolak keadaan, tapi tak sanggup. Berusaha melawan, tapi tak tahu bagaimana sebaiknya bertindak. Berusaha bicara, tapi mulut mereka terkunci rapat-rapat oleh udara malam. Dingin dan—mencekam.

Daiki kembali tersenyum. Ia siap melakukan apapun. Sekalipun untuk mati.

Lihatlah, tertawalah…

Karena aku mulai melawan…


***


Chinen Yuri tersenyum. Manik hitamnya memandang layar komputer tanpa berkedip. Ia mulai membayangkan berbagai kejadian menarik yang sebentar lagi akan terjadi.

Ya, sebentar lagi.

Semua itu tergantung dengan si pelaku utama tentunya.

Arioka Daiki, seperti apakah persiapanmu?

Chinen kembali tersenyum. Sebentuk tawa menyakitkan keluar dari mulut manisnya. Lama-lama berubah menjadi tarbahak.

“Ganbatte ne, Nii-chan…”

***

*headdesk*
Ternyata masih nyambung…
Kebanyakan dialog ya? gw aja pusing bacanya =____=

Label: , , , , ,



4 Komentar:

Blogger minkyachan mengatakan...

apakah gw udah komen??

skrg dah gw komen~ *bacot lu*

siapakah chinen itu??
kok kyanya nanami jaat ya??
*mencurigakan*

eeee~ tooo...
LANJUTKAN!!!

19 November 2010 pukul 07.41  
Anonymous Anonim mengatakan...

chinen adalah salah satu member grup idol jepang, hey! say! jump...
silakan tanyakan kepada mbah gugel untuk keterangan lebih lanjut /plaaaaaak

20 November 2010 pukul 04.46  
Anonymous lenny dan chiitaro are loved mengatakan...

ngakak baca komennya chika hhhaa

de, gw gak usah ngomen lagi ye~
*uda di twitter maksudnya*

#kabuuurrrrr XDDD

25 November 2010 pukul 04.41  
Blogger deya_daisuke mengatakan...

yachan:
siapa chinen?
lha? gak tau ya...
ntar juga tau..
*gak ngejawab bgt*

kak lenny, yaoloh id lo bikin ngakak deh~

29 November 2010 pukul 03.56  

Posting Komentar

home