december post

Deeto, janai ka?

Beautiful sleeping chapter 07
5 comments gimme comment?

Tittle : Beautiful Sleeping
Author : deya
Genre : Angst
Rating : Pg15
Cast : Arioka Daiki and others
Disclaimer : Saya cuma memiliki cerita dan OC nya XD

WARNING/ gak tau mau nge-warn kenapa. Pokoknya udah saya warn! *ditimpuk rame2* XDD


***

Daiki membuka pintu apartemennya dengan wajah lesu. Kepalanya pusing, mungkin pengaruh alkohol yang ia minum ketika di club. Setelah pembicaraannya dengan Inoo dan Hikaru, mereka minum-minum sampai puas. Meskipun Daiki tak sampai mabuk berat, tapi efek dari alkohol itu mulai menyerang organ berpikirnya.

Ia menyeret tubuhnya menuju pintu, ada orang yang mengetuk di sana.

Dilihatnya Nanami berdiri di depan pintu rumahnya. Wajahnya memerah. Tentu saja, wanita mana yang wajahnya tidak memerah melihat seorang cowok tulen tengah bertelanjang dada di hadapannya.

Daiki melebarkan pintunya, memberi isyarat agar Nanami masuk ke dalam apartemennya.
“Aa, tidak usah. Aku hanya… hanya…” Nanami tergagap. Dadanya bergemuruh hebat.

Pemandangan di depannya benar-benar membuat jantunganya berdegup kencang.

“Masuklah! Di luar dingin” Daiki melangkah menuju sofa, dan membanting tubuhnya pelan.

Mau tak mau Nanami menurut, udara tengah malam seperti ini memang dingin sekali.

Dengan hati-hati ia masuk ke dalam apartemen Daiki. Berdiri tepat di samping cowok itu duduk.

Setengah sadar, Daiki membuka matanya. Memandang tepat ke arah Nanami.

Memperhatikan cewek itu dari ujung kaki sampai ujung kepala. Ia menelan ludah.

“Arioka-kun?” Nanami memanggil. Ia mendekat, “Kau mabuk ya?”

Daiki menggeleng pelan, “Kenapa tengah malam datang ke sini?”

Nanami kembali menarik tubuhnya. Masih khawatir dengan kondisi Daiki. Bukankah besok mereka harus sekolah? Kenapa malah mabuk?

“Kau mabuk kan? Besok kan kau harus sekolah, Ario—“

Kalimat itu berhenti.

Daiki menarik lengan Nanami hingga cewek itu duduk di sebelahnya. Jelas membuat Nanami kalang kabut. Jarak sedekat ini dengan kondisi seperti ini—

Bahkan Nanami dapat mencium aroma tubuh Daiki. Sangat khas.

Daiki mendekat, “Besok aku bolos. Terlebih lagi jika kau datang pada jam yang tak wajar seperti ini, Nanami”

“Maksudmu?” Nanami bertanya gugup.

Daiki menyenderkan dahinya di dahi Nanami. Tatapannya lekat, tak membiarkan sedikitpun pandangannya meleset.

Nanami menelan ludah.

Daiki menyentuh punggung Nanami. Saat itu juga tubuh Nanami menegang. Ia tak bisa melepas tatapannya dari mata bening Daiki. Tubuhnya kaku seketika.

Perlahan, tangan Daiki menyentuh pinggang. Menyusul tangan yang satu lagi, sehingga kedua tangannya sukses melingkar di pinggang cewek mungil itu. Daiki makin merapat.

Hingga ujung hidungnya menyentuh ujung hidung Nanami. Napas cowok itu sedikit memburu, bau alkohol keluar dari mulutnya.

Nanami menahan napas—entah sejak kapan—matanya tak lepas dari sepasang manik redup di hadapannya. Dadanya berdesir luar biasa saat Daiki menyapu kulit pipinya dengan kecupan lembut.

Pelukan itu mengerat. Daiki memeluk Nanami terlalu kuat. Ada sebongkah perasaan yang sulit ia gambarkan. Antara takut kehilangan dan ingin memiliki. Antara mengingat seseorang atau menghadapi kenyataan hidupnya. Antara hidup dan matinya. Sungguh, ada suatu perasaan yang ingin ia lampiaskan.

Daiki menelungkupkan kepalanya di leher kiri Nanami. Deru napasnya menyapu kulit putih Nanami, membuat tubuh cewek itu kembali tegang. Perlahan, Daiki mulai menghirup aroma tubuh Nanami. Menelusuri tiap inchi lehernya dengan hati-hati.

Kedua tangan Nanami meremas permukaan sofa dengan erat. Matanya terpejam. Ada sedikit perasaan takut dalam hatinya. Beberapa kejadian buruk dalam hidupnya terputar ulang seperti roll film.

Daiki terus melakukan kegiatannya tanpa melihat sedikitpun ke arah Nanami. Tak menyadari cewek itu mulai menitikkan air mata. Tak ada yang tahu kenapa. Mungkin ini salah satu hal yang hanya Nanami sendiri yang tahu—dan orang-orang itu—mungkin.

Nanami ngos-ngosan. Antara menerima perlakuan Daiki dan mengatur deru jantungnya yang terus berdetak melewati batas. Daiki berhenti, tatapannya beralih kembali menatap Daiki. Ia melihat buliran bening membasahi pipi cewek itu. Diusapnya pelan dengan sebelah tangan sambil tersenyum menenangkan. Tangannya turun ke bibir, menyentuhnya lembut. Berusaha merasakan teksturnya. Perlahan ia kembali merapatkan tubuhnya, menyentuh bibir merah itu dengan bibirnya. Begitu lembut dan penuh penghayatan. Entah apa yang Daiki pikirkan, mungkin sebagian otaknya dipengaruhi alkohol, mungkin juga memang dirinya yang ingin melakukannya. Sungguh picik, Arioka Daiki. Pikirannya itu malah membuatnya tersenyum sendiri. Kembali mengeratkan pelukannya, sampai akhirnya berhasil membuat Nanami membalas ciumannya.
Daiki tersenyum makin lebar. Di sela-sela ciumannya, ia berbisik pelan.

“Here we goes…”


***


Kei Inoo merogoh saku celana jeansnya. Sudah kelewat malam ia pulang, ditambah kepalanya sedikit pusing karena sempat minum beberapa gelas alkohol. Meskipun ia tak semabuk Hikaru atau Daiki, tapi otak cerdasnya tetap saja mengadakan pemberontakan atas kadar alkohol yang ia minum. Inoo mengeluh pelan, ia berharap akan segera sampai ke kamar dan tidur sampai siang. Kebetulan sekali besok ia tak ada kuliah pagi.

Inoo mendapatkan kuncinya. Segera ia masukkan kunci itu ke dalam lubang pintu, sebelum ia memutarnya, terdengar suara aneh.

Ia merasa ada seseorang yang berjalan mendekatinya. Pertama karena ia mendengar suara sepatu dan tanah beradu. Sangat pelan—atau sengaja dibuat pelan. Inoo mematung di sana. Tangan kanannya gemetar sambil terus memengang kunci. Siapa?

Inoo sama sekali tak menoleh, batinnya terlalu takut untuk melihat siapakan gerangan orang yang berjalan mendekatinya itu. Lama kelamaan muncul lah bayangan hitam yang—bergerak.

Shit! Inoo menelan ludah. Ia berusaha menyeret kakinya untuk cepat-cepat masuk ke dalam, tapi tak bisa. Kaki bodohnya ini terlalu kaku. Bukan, harusnya ia
cepat-cepat menggerakkan tangannya untuk membuka pintu rumahnya. Tapi kenapa seluruh organ tubuhnya hanya diam? Kenapa? Lagi-lagi Inoo mengumpat dalam hati. Ia tak mau menunggu kematian datang menjemputnya. Ia tak mau bernasib sama seperti Yabu dan Takaki. Ia masih ingin hidup. Sangat ingin hidup!

Inoo memejamkan matanya, sekuat tenaga ia membalikkan badannya. Menyapu sekelilingnya dengan mata was-was. Tapi—

Nihil.

Tak ada siapapun di sana. Secara perlahan tubuh Inoo kembali rileks. Ia memandang berkeliling. Tak ada siapapun di sana. Mungkin hanya halusinasinya saja yang belebihan. Mungkin semua ini hanya pengaruh alkohol.

Inoo kembali berbalik, membuka kunci rumahnya dan membuka pintu bercat putih itu tanpa beban. Sama sekali tak menyangka bahwa masih ada kemungkinan-kemungkinan lain. Sama sekali tak menyangka saat sesuatu menembus pinggang belakangnya.

Sesuatu yang terasa panas, dan ia merasa ada yang mengalir. Seketika itu pula kesadarannya seperti tersedot perlahan-lahan. Pandangannya mulai kabur. Namun ia sempat membalikkan badannya, demi melihat seulas semyum sinis itu.
Dan kedua mata Inoo meredup. Meredup sambil menyimpan sesuatu.

Oh, Kami-Sama. Biarkan aku hidup sebentar lagi…

Dan eksistensi itu terkulai lemas.


***


Mata itu terbuka perlahan. Mendapati sedikit sinar matahari menembus jendela kamarnya. Ia mengucek matanya, kemudian melebarkan matanya menatap langit-langit kamarnya. Berusaha membiasakan matanya dengan cahaya pagi hari yang sedikit menyilaukan. Ia menoleh ke samping, tidak ada siapapun.

Shit! Apa yang kau lakukan Arioka Daiki?! Umpatnya dalam hati. Ia mengusap keningnya, menyibakkan poni rambutnya yang hampir menutupi mata beningnya. Frustasi.
Ia bangun dalam posisi terduduk di ranjangnya. Melihat keadaannya tubuhnya yang—shit!—tidak memakai apapun kecuali selimut tebal. Daiki kembali mengusap keningnya. Tapi diam-diam ia tersenyum juga. Entah kenapa, mungkin sebenarnya ia sangat menyukai dirinya ketika berubah menjadi ‘dark personallity’.
Setelah memakai celana seadanya—tanpa berniat memakai kaos—Daiki berjalan menuju dapur. Menegak sebotol air mineral. Ia merasa dehidrasi.

Dibawanya botol itu ke sofa, perhatiannya terhenti pada sebuah kotak hitam yang tergeletak dengan manis di meja.

Ia menyatukan alisnya, merasa pernah mengalami hal ini. Dan ia tidak suka.
Namun, di samping kotak hitam itu ada sebuah note. Ditulis tangan, dan daiki tahu benar tulisan itu milik Nanami.

Kemarin ada seseorang yang memberikan ini untukmu di club.

Itu sebabnya aku datang ke apartemenmu tadi malam.

Nanami

Daiki kembali menautkan kedua alisnya, tanda bingung. Ia segera membuka kotak hitam itu. Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam otaknya. Tidak! Jangan secepat itu! Tidak!
Betapa terkejutnya kedua manik itu. Sebuah—keitai.

Ddddrrrrrtttttt….. dddddrrrrrrtttttt….

Tiba-tiba keitai itu bergetar. Daiki hanya memandang keitai itu dengan ekspresi luar biasa kaget. Mungkinkah? Daiki menelan ludah. Ini kan milik—

Ddddrrrrrrrrttttt….. drrrrrttttttttt…

Seakan menyalak—keitai itu meminta untuk dijawab.

KLIK

Dengan tatapan nanar, Daiki menjawab tombol ‘yes’.

“Ohayou, Arioka Daiki”

Daiki menelan ludah. Lagi?

“Apa…” Daiki termenung sesaat. “Yang kau lakukan padanya?”

“Hahahaha!”

“Apa?”

Suara tawa itu masih terdengar, sungguh, membuat Daiki makin frustasi.

“Kau takut?”

Amarah itu naik samapi ke kepala. Rasa takut itu bercampur emosi. Dan sayang sekali emosinya melebihi rasa takutnya.

“APA YANG KAU LAKUKAN PADANYA, BRENGSEK?!” Daiki berteriak kalap.

Kembali, suara terkekeh.

“Kasar sekali kau bicara, Arioka Daiki?”

Daiki menahan amarahnya, dadanya naik turun tak beraturan.

“Nee, ayo kita bermain bersama!”. Kembali suara tawa, “Kita bermain sampai hanya menyisakan aku…”

“…”

“—dan kau”


***

Ruang itu terasa pengap. Begitu tertutup sampai rasanya tidak ada udara yang masuk—sedikit lebih tepatnya. Bahkan cukup lama untuk menyadarkan seseorang dari mati surinya. Debu tebal menempel erat di setiap perabotan yang ada. Bukan perabotan, mengingat tempat itu lebih cocok disebut gudang. Hanya benda-benda tak berguna yang bertengger di sana. Berserakan.

Sepasang mata coklat gelap itu terbuka. Perlahan. Mengernyit tertahan saat menyadari rasa sakit yang menggerogoti pinggangnya. Entah rasa sakit macam apa itu, ia sendiri belum bisa melihat dengan jelas.

Sepasang mata itu milik Inoo Kei. Mungkin ia belum sepenuhnya sadar, bahwa Kami-Sama masih memberinya kesempatan untuk—sekadar—bernapas.

Inoo bermaksud ingin menyentuh pinggangnya, namun tanggannya terikat. Ia menatap keadaannya sendiri. Kedua tangannya terikat ke belakang dengan posisi duduk di kursi kayu. Kedua kakinya juga terikat kencang di kaki kursi, membuat tubuhnya sukses tak bisa bergerak. Kedua matanya melebar saat melihat tetesan darah mengalir membentur lantai. Ia mengikuti arah darah itu mengalir, dan lagi-lagi ia tersentak melihat aliran darah itu berasal dari tubuh—pinggangnya lebih tepat. Inoo meringis pelan, rasa sakit menjelajahi sekitar pinggangnya. Ia merasakan tubuhnya melemas. Mungkin karena darahnya terus keluar.

Inoo mencoba melepaskan ikatan tali di tangannya. Ia menggerak-gerakkan tubuhnya sendiri, tapi usahanya tetap nihil. Ikatan tali itu tak juga terlepas.
Lelah, ia menerawang. Menatap langit-langit tempat ia—disekap. Sebentar, apakah ia benar disekap? Melihat keadaannya sekarang ini, hanya kesimpulan itu saja yang dapat Inoo pikirkan.

Ia menatap sekeliling. Tempat itu tidak besar, hanya seukuran 5x5 meter. Tidak ada benda-benda berarti, hanya beberapa tumpukan kayu dan besi. Itu juga pasti sudah lama tak terpakai. Mengingat debu tebal yang menempel di permukaan benda-benda itu.
Inoo menarik napas panjang. Ia belum mati. Setidaknya saat ini ia belum mati, ia tidak menjamin nyawanya masih ada atau tidak beberapa jam kemudian.

Inoo tertunduk. Permainan apa ini? Kenapa ia lengah begini? Padahal ia sudah berjanji akan melawan. Nyatanya, mungkin nasibnya akan sama saja dengan Yabu atau Takaki—terbunuh.

Lalu, bagaimana Hikaru? Daiki?

Ahh!

Inoo tersenyum miris. Undian kematian lebih dulu memilihnya.

“Hei, sudah bangun?” Seseorang menyapa, “Inoo Kei?”

Inoo mendongak lemas. Mendapati seseorang berdiri tak jauh dari hadapannya. Ia tak mengenal suara berat itu. Inoo meneliti, orang itu laki-laki. Itu pasti. Dari postur tubuhnya kelihatan jelas dia laki-laki. Tidak terlalu tinggi, tapi tidak juga pendek.

Inoo makin menyipitkan matanya, “Siapa kau?” Tanyanya pelan, namun penuh penekanan. Amarahnya mulai meluap. Mendapati sosok yang telah membunuh teman-temannya.
Sosok itu makin mendekat, “Tidak tahu siapa aku?”

Siapa? Siapa? Inoo terus bertanya dalam hati. Memeras otaknya sampai ia merasa pusing sendiri. Suara milik siapa itu? Ia sama sekali tak mengenalnya.

“Inoo Kei?”

Suara itu meledek.

Tunggu—

Inoo mengenal suara itu. Meski samar, tapi—

Itu tidak mungkin.

“Bagaimana?”

Jelas-jelas itu suara… Takaki Yuya?


***

TBC lah~


Hint dari saya *emang butuh heh?*, jangan suka berprasangka buruk. Udah itu aja~
Jangan kira saya kasian sama Inoo ye, mungkin dia (nanti) malah yg paling menderita XDD

Label: , , , , ,



5 Komentar:

Blogger chikaです♪ mengatakan...

perasaan di awal si inoo juga sekolah deh sama kayak yg lain...
kenapa disini ngucuk2 kuliah? ==a

3 Februari 2011 pukul 23.01  
Blogger Ra_Bgtz mengatakan...

AAAAAAAAA~~
*hanya berteriak*=w=b
akhirnya saya ngomen juga di fic-mu, De~
ditunggu lanjutannya~X3

4 Februari 2011 pukul 00.13  
Blogger deya_daisuke mengatakan...

chika: ah, iya harusnya inoo sekolah. Wakakakak. Gr2 bikinnya barengan ama yg little bride. Wakakak. Editin chik.. Hahaha

Ra: eh? Iya tggu aja lanjutannya..

4 Februari 2011 pukul 00.46  
Blogger ftaasr mengatakan...

....aww, daiki liar! *PLAK!*

NYAWWWWWW~
KOK INOO HEBAT AMAT UDAH DITEMBAK MASIH BISA SADAR LAMA?!?
Eh... Takaki? Bukannya Takaki uda mati, eh?
Jiah, gw merasa Inoo bakalan disiksa abis2an setelah ini =))
oke, DI.TU.NGGU LA.NJU.TAN.NYA DE!

4 Februari 2011 pukul 18.32  
Blogger deya_daisuke mengatakan...

fietha: tp cacat tu, msa inoo kuliah. Inoo di tusuk neng, bkn ditembak. Kan gak ada bunyi dor dor dor huahahah *malah ngakak*
nyehehe *smirk*

5 Februari 2011 pukul 04.21  

Posting Komentar

home