december post

Deeto, janai ka?

beautiful sleeping chapter 03
7 comments gimme comment?

Tittle : Beautiful Sleeping
Author : deya
Genre : Angst
Rating : pg15
Cast : Arioka Daiki and others
Disclaimer : Saya cuma memiliki cerita dan OC nya XD

***

Chapter 03
[Italic for flashback]

.:A lost memory:.

“Arioka Daiki, deshou?”

Daiki melirik, menatap lawan bicaranya dengan tajam. Mata elangnya was-was, mendapati tiga orang cowok mengapitnya dengan sempurna.

Cowok di depannya tersenyum—sinis.

Lirikan Daiki beralih ke sebelah kanannya, seorang cowok tinggi besar menahan tangan kanannya. Rambutnya panjang dan di cat berwarna pirang. Seragamnya lebih mirip disebut kostum berandalan. Cowok itu mendelik dingin.

Sementara di sebelah kiri, Daiki diapit oleh cowok lumayan tinggi dan kurus. Terdapat berbagai model piercing yang tertancap di sepanjang telinga dan hidungnya.

Daiki kembali fokus kepada sosok di hadapannya. Seragam berantakan, rambut coklat cepak dan seulas senyum dingin. Berandalan biasa yang sok berkuasa. Daiki melengos malas.

Cowok di depan Daiki mendorong tubuh Daiki untuk merapat ke tembok. Daiki meringis ketika kepalanya terantuk tembok yang lembab.

“Jangan macam-macam!” Cowok yang berambut cepak mengancam. Mencengkeram kerah kemeja Daiki, menariknya sekuat mungkin. “Atau—“ Cowok itu merapatkan tubuhnya, “—nyawamu akan tamat!” Bisiknya di akhir kalimat.

Daiki menatap santai, berusaha tak memperhatikan dengan antusias.

Dan perbuatannya tersebut membuat geram tiga orang berandalan yang tengah mengelilinginya inten.

BUG!

Satu pukulan mendarat di perut Daiki.

BUG!

Satu pukulan lagi meninju dada Daiki.

BUG!

Bibirnya robek. Cairan merah segar menyeruak keluar.

Daiki menatap nanar.


***


Kedua mata itu terbuka cepat. Mengerjap tanpa henti, napasnya terengah naik turun.
Daiki terbangun dari tidurnya. Menatap berkeliling dengan bingung. Tak lama matanya menangkap ruang tamunya sendiri. Diam-diam, Daiki menghela napas lega. Ia memegang dahinya, menghapus peluh yang mengalir.

Kembali—Daiki menjatuhkan tubuhnya di sofa ruang tamunya. Matanya menerawang ke atas.

Mimpi itu lagi—

Ia mengumpat dalam hati. Jantungnya masih berdegup tak menentu. Kedua manik itu kembali tertutup. Perasaan nyeri menggerogoti hatinya. Bukan rasa sakit biasa.

Perasaan lebih dalam, lebih dingin bernama—kepedihan.

Mata bening itu kembali terbuka. Bukan saatnya memikirkan hal itu. Bukan saatnya dan memang tak perlu ia ingat-ingat.

Maka ia memutuskan untuk bangkit dari posisi tidurnya. Tercenung sebentar saat melihat secarik kertas tepat berada di atas meja—di hadapannya.

Daiki mengambil kertas itu. deretan tulisan yang rapi terlihat di sana.

[Terima kasih dan maaf telah merepotkan]
Hasegawa Nanami

Daiki melempar kertas itu kembali ke atas meja. Menoleh ke belakang, dimana tempat tidurnya teronggok di sana.

Rapi.

Daiki kembali menghela napas.

Entah karena apa, tapi perasaannya seperti mengambang. Antara bimbang dan resah.
Dan lagi-lagi—tak tahu kenapa—Daiki meraih keitainya yang juga terletak di atas meja. Membuka flipnya pelan, dahinya mengerut melihat ada satu mailbox.

Mendekatkan keitai putih itu ke telinga kirinya, mendengar pesan yang tersimpan di sana.

“Da..i..ki…”

Suara Yabu.

Kedua mata Daiki melebar tanpa bisa ia cegah. Jantungnya mencelos saat ia dengar Yabu berbicara terbata-bata.

Tanpa sadar Daiki menahan napas. Mendengar deretan kalimat yang terdengar samar. Sangat samar namun sarat akan banyak makna.

Degupan jantung Daiki memburu, keringat dingin kembali mengucur. Ia menelan ludah.

“Li…ma…”

Daiki mendengar was-was. Lima? Kenapa dengan angka lima?

“Ta…hun…”

DEG!

DEG!




Pluk!

Keitai putih itu terjatuh. Beradu dengan lantai keramik.

Dan di sana, Daiki terdiam. Tanpa suara, tanpa kegiatan.

Bibirnya terkatup rapat.

Kosong.

Kosong.


Matanya basah.


***


Hikaru berlari melawan arah angin. Pikirannya kacau. Raganya bergerak bebas, tapi jiwanya kosong. Amarah dan sesal berkecamuk dalam rongga dadanya.

Terengah, ia menggebrak pintu itu dengan kasar. Membukanya paksa, mendorongnya kuat-kuat.

Pemandangan di dalamnya membuatnya ingin mati.

Mati sekarang juga.

Ia menelan ludah.

Takaki menunduk pasrah di ujung ruangan, pundaknya di tepuk-tepuk oleh Inoo. Berusaha menenangkan, padahal dirinya sendiri luar biasa rapuh. Mata bening Inoo merah dan sembab. Ia masih tersenyum lembut saat Hikaru datang.

Daiki terduduk lemas di samping ranjang itu. Menatap sosok yang terbaring tanpa ekspresi yang berarti. Kosong dan lelah.

Hikaru mendekati ranjang itu, ranjang yang terbebani oleh sesosok—bukan, mayat tepatnya. Hikaru makin mendekat, berdiri tepat di samping Daiki. Ia membuka kain putih itu. Menyibaknya dengan sekali hentakan. Tangannya gemetaran.

Dan wajah damai itu, begitu pucat. Terlelap dalam mimpinya. Terlelap tanpa kembali bangun. Tanpa ucapan apapun. Tanpa senyum bahkan candaan.

Hikaru terdiam.

Miris.

Ia memejamkan matanya sebentar. Memohon kekuatan untuk tetap kuat.

Pandangan matanya mulai kabur, digantikan oleh buliran air yang menetes tanpa isakan. Ia menggenggam kain putih itu erat-erat.

“Yabu…” Lirihnya. Ia tak tahu kenapa hanya nama itu yang berhasil keluar dari mulutnya. Ia meruntuki dirinya yang begitu lemah. Bahkan di saat teman-temannya terlihat begitu tenang.

Tapi, benarkah mereka setenang itu?

Hikaru menggeleng pelan.

Merasa pikirannya begitu kolot.

Begitu munafik.

“Ini salahku” Daiki berkata serak. Pandangan matanya masih tetap kosong. Tangannya mengepal keras. Seolah memendam dendam akan sesuatu. Seolah ia siap membunuh siapapun. Siapapun dia yang mebunuh sahabatnya.

Tiga pasang mata itu melirik cepat. Menatap Daiki dengan ekspresi sama—menanyakan maksud perkataan temannya itu.

Daiki tidak mendongak sedikitpun. Ia tahu benar teman-temannya tengah menatapnya, berharap mendengar penuturan Daiki berikutnya.

“Aku… Aku yang menyebabkannya jadi begini…” Suara itu terdengar lebih lemah. Setengah berbisik tepatnya.

Hikaru merubah gesture tubuhnya. Ia tahu. Ia sangat tahu apa yang akan Daiki katakan. Harusnya ia sadar dengan wajah Daiki yang sudah berbeda semenjak ia masuk tadi.

Sial, kematian Yabu membuatnya bertindak bodoh.

“Diam kau!” Hikaru merubah topik pembicaraan. Ia menarik lengan Daiki. Menyeretnya keluar ruangan, sempat ia menoleh pada Takaki dan Inoo. Menyuruh mereka untuk tetap tinggal di dalam ruangan.

Ia memilih koridor yang sepi. Menghentakkan tubuh Daiki sampai membentur tembok. Menatap cowok yang lebih pendek darinya itu dengan lekat. Ia khawatir. Ia tak mau melihat Daiki seperti dulu lagi. Ini pasti berhubungan dengan masa lalunya. Hikaru bukan anak bodoh yang tidak bisa menebak situasi.

“Katakan!” Hikaru mendesak pelan.

Daiki mendongak. Mata itu begitu rapuh. Terlihat sayu dan tak bersemangat.
Hikaru mengusap dahinya, menyibakkan poni rambutnya yang menutupi dahinya itu. tak sabar dengan sikap diam temannya ini.

“Apapun itu…” Hikaru merapatkan tubuhnya, “—jangan bertindak bodoh!”

Daiki menggeleng lemah, “Aku… Aku…”

“Diamlah!” Hikaru mulai panik.

Hatinya pilu ketika mengingat Daiki yang dulu.

“Itu bukan salahmu, Daiki!”

Daiki kembali menggeleng lemah, ia mengeluarkan keitainya. Menyodorkan benda persegi panjang itu tepat di dada Hikaru.

Ragu, Hikaru menerima keitai itu.

“Dengarkan!” Daiki berkata cepat.

Hikaru menurut. Perasaannya tak enak. Entah kenapa jantungnya mulai berdegup tak tentu.

Dan benar saja, satu kalimat pertama yang berhasil ia dengar mampu membuat lututnya lemas. Ia memejamkan matanya.

Prahara itu datang—kembali.


***


Pemakaman Yabu Kouta berlangsung sunyi. Semua orang begitu kaget dengan kematian putra tunggal keluarga Yabu itu.

Dibunuh.

Cara yang mengerikan.

Keempat sahabatnya datang dengan wajah pucat. Berusaha tenang dan tak mengeluarkan kata-kata apapun. Terlalu sakit rasanya kehilangan sahabat yang kurang lebih telah mengisi hari-hari mereka selama kurang lebih 6 tahun itu.

“Daiki, kau baik-baik saja?” Inoo bertanya, khawatir melihat keadaan Daiki yang paling shock. Cowok berambut coklat itu diam sepanjang pemakaman. Matanya kosong dan tatapannya redup. Membuat Inoo berkali-kali menoleh hanya untuk memastikan temannya itu baik-baik saja.

Pertanyaan itu di jawab dalam diam.

Membuat Inoo menggigit bibir, cemas luar biasa.

“Daiki…” Takaki ikut prihatin meliaht keadaan temannya yang paling sekarat itu. diam-diam ia heran mengapa Daiki bertingkah seperti itu. Terlalu dalam.

Hikaru yang paling was-was. Namun ia berusaha untuk tetap tenang.

“Daiki, bicaralah!” Hikaru menyengol bahu Daiki pelan.

Daiki mendongak, menatap ketiga temannya sekilas lalu kembali menunduk.

Bagaimana ia harus bicara? Bagaimana ia menjelaskan pada teman-temannya. Betapa rasa bersalah ini menggerogotinya tanpa ampun. Bagaimana mereka bisa mengerti perasaannya?

“Daiki…” Hikaru mendesak. Ia tak mau Daiki bertindak bodoh lagi. Ia harus menjaga temannya ini baik-baik.

Daiki mendongak, “Ii yo… Daijoubu…” Ia berkomentar pelan. “Aku… Aku pulang duluan ya. Nanti kita bertemu lagi”

“Aku akan mengantarmu!” Inoo bersuara.

Daiki menggeleng pelan, ia tersenyum kecil. “Aku pulang sendiri saja, Inoo”

“Tapi—“

“Biarkan dia, Inoo!” Hikaru memotong cepat. Membuat Inoo terdiam.

Takaki menghela napas panjang, “Hati-hati Daiki, kalau ada apa-apa telpon saja kami”
Daiki mengangguk lemah.

Ia tak yakin dengan anggukannya tadi.

Mungkin iya—atau mungkin—tidak.


***


Drrrrrrtttt….. Drrrrrtttttt…..

Daiki mengangkat telponnya.

Unknown number.

“…”

“Arioka Daiki?”

Kedua mata itu melebar.

“Siapa kau?”

“Kau lupa padaku?”

Kerutan kening.

“Ah, mungkin kau tak bisa mengingatku.” Suara tawa, “Tapi, kau pasti ingat dengan Shinichi, kan?” Suara tawa lagi.




Daiki menelan ludah.

“Shi…ni..chi?” Ia mengulang nama itu pelan.

“Tentu kau ingat ya?”

Shinichi? Shin?

Daiki memutar memori otaknya. Tiba-tiba kepalanya pening luar biasa.

Mana mungkin ada orang yang berkaitan dengan nama itu? Apa yang orang itu ketahui?
“Permainan baru saja dimulai…” Hening, “Arioka Daiki…”


***

Label: , ,



7 Komentar:

Blogger lenny_da mengatakan...

ENDINGNYA BAGUUSSS!!
kalimat ini :

“Permainan baru saja dimulai…” Hening, “Arioka Daiki…”

manteb de! manteb banget! *lebee* XD tapi kek dorama2 gtu, pas CLES nama daiki disebut, daiki-nya melotot, terus ending theme song deh berkumandang.... *membayangkan* XDDD

itu Shinichi siapa? chii kah? #ngarep hohoo

22 Agustus 2010 pukul 06.43  
Blogger deya_daisuke mengatakan...

hueeeeeee~
datang kak~
*lempar bunga*

hahhaaaa~
endingnya doang ni yg bagus??/
wkwkwkw~
sayang ye gak ada lagunya, ntar gw cari sontrek nya deh~

bukan, shinichi nya bukan chinen sayang~

22 Agustus 2010 pukul 06.54  
Blogger minkyachan mengatakan...

*baca percakapan kalian ber2*

apaan??
endingnya??
mksudnya ending chap.3 kan?

gini y lo kejemnya ama abang gw *baca yabu* tega lo!!
udah kurus ditembak pula,alhasil langsung k jantung kan t???

masih ada lanjutannya kan??
emang knp lagi masa lalunya daikon nih??
ada" j lo de!!
btw,inoo homo y??

24 Agustus 2010 pukul 08.57  
Blogger chikaです♪ mengatakan...

baru baca gw.. XD
gw pikir lw mw ngebunuh lagi di ini chapter~ XDD

hikka ya de? *pikapika*

24 Agustus 2010 pukul 14.24  
Blogger deya_daisuke mengatakan...

yachan:
masa lalu daiki baik2 aja..
hahaaa...
ntar ya saya lanjut XDD

chika:
nonooooooo~ hikka gak mati dulu ya XDD

30 Agustus 2010 pukul 01.31  
Blogger minkyachan mengatakan...

iya,iya,,
cepetin ya lanjutinnya~
*sementara psenan org blm slese*
hehehee

30 Agustus 2010 pukul 06.22  
Blogger lenny_da mengatakan...

aiihhh si deya kiran uda lanjut~
fufuufu~

bukan endingnya doang kok,
semuanya bagus tau~

chik, FF lo kumaha???
*neror.com*

4 September 2010 pukul 00.05  

Posting Komentar

home