december post

Deeto, janai ka?

beautiful sleeping ch 5
4 comments gimme comment?

Tittle : Beautiful Sleeping
Author : deya
Genre : Angst
Rating : pg15
Cast : Arioka Daiki and others
Disclaimer : Saya cuma memiliki cerita dan OC nya XD

Perlu dinaekin gak sih ratingnya? Kok saya khawatir ya? *thinking*


***


Chapter 05
.:The mission is success!:.

Setengah sadar, mata sembab itu terbuka. Beberapa orang duduk santai di depannya. Daiki mengerjap tanpa suara. Tiga berandalan busuk itu! umpatnya dalam hati. Wajah itu babak belur, darah mengalir dari sudut bibir dan pelipisnya. Rasa nyeri menggerogoti seluruh tubuhnya. Bahkan untuk bangun saja ia tak bisa. Daiki terhenyak. Miris.

“Shinichi akan berterima kasih karena adik kecilnya babak belur seperti ini” Kata salah satu dari berandalan itu. Badannya tinggi besar, si rambut gondrong.

Tawa membahana, terdengar begitu menyiksa di telinga Daiki.

Orang yang berambut cepak terkekeh, “Adik? Kau yakin? Anak bodoh ini kan cuma adik tiri!”

“Kau benar!” Yang bertubuh tinggi dan kurus menyahut, “Shinichi benci setengah mati dengan bocah ini, Ken!”

Ternyata yang berambut gondrong itu bernama Ken—ikut tertawa.

Shinichi? Daiki bertanya dalam hati. Jadi, semua ini ulah cowok sialan itu? Cih!
“Kau tahu, tubuh adik perempuannya sangat lezat!”

DEG!

A… Apa? Apa tadi dia bilang?

“Sayang dia mati terlalu cepat. Padahal aku belum puas”

Kembali suara tawa terdengar bersahutan.

Daiki memejamkan kedua matanya—keras. Jantungnya berdegup melebihi batas. Amarah membuncah memenuhi dadanya. Kepalanya terasa pening mengetahui kebenaran dari kematian Ayami—adiknya.

Amarah itu tertahan, membuat dadanya mengejang. Sakit yang luar biasa—melebihi sakit di seluruh tubuhnya—merasuki relungnya. Ingin rasanya ia membunuh tiga orang sialan ini. Sekarang juga. Ia ingin membunuh mereka dengan tangannya sendiri.
Daiki menangis dalam diam. Air matanya bercampur dengan cairan merah segar yang terus mengalir di pelipisnya.

Kepedihannya tak termaafkan.

Ayami…

“Ayo kita bersenang-senang! Ternyata uang anak ini cukup banyak!”



***


Daiki memasuki apartemennya dengan langkah gontai. Pertemuannya dengan Chinen membuka luka lamanya.

Luka lama?

Cih!

Mungkin lebih tepat disebut lubang hitamnya.

Daiki menghela napas berat.

Ketika ia membuka pintu, Nanami berdiri di sana.

“Okaeri, Arioka-kun” Cewek itu tersenyum.

Agak kaget, “Tadaima”. Daiki menyahut. Baru pertama kali sejak ia tinggal di sini, ada orang yang menyambut kedatangannya. Ia tersenyum—miris.

Daiki menuju sofa dan langsung menghempaskan tubuhnya di tempat empuk itu.

Kepalanya bersandar pada bahu sofa. Matanya terpejam. Napasnya teratur.

Nanami mendekat, duduk tepat di samping cowok itu. Memperhatikan tiap inchi wajah imut itu dengan seksama. Ia terus memperhatikan sampai kedua mata Daiki terbuka—tanpa menoleh.

Merasa sudah bisa diajak berkomunikasi, Nanami memulai percakapan.

“Tadi ada yang datang mencarimu. Aku menyuruhnya menunggu di dalam tapi ia tak mau. Apa kau sudah bertemu dengannya?”

“…”

Nanami menatap lekat, “…Arioka-kun?”

“Ya. Dia adikku”

Nanami mengangguk mengerti, “Sou ka na~”

Ia kembali menatap Daiki, cowok itu terlihat aneh. Mungkin karena kelelahan.

“Aku ambilkan sesuatu ya?” Nanami bertanya pelan. Merasa tak akan mendapat jawaban, maka Nanami bangkit berdiri. Tapi tiba-tiba tangan Daiki menahannya.

Daiki menggeleng, “Tetaplah di sini”

Nanami kembali duduk. Wajahnya terlihat bingung. Tapi ia menurut saja. Benar kan cowok ini sedang aneh…

“Arioka-kun, ada apa? Apakah ada sesuatu yang terjadi?”

Daiki kembali menggeleng, lebih lemah. Ia bangkit menatap Nanami, mata bulatnya meredup dan tampak sayu.

Nanami bingung dengan reaksi Daiki, ia sulit menangkap apa maksud dari tatapan itu. Apalagi gelengan lemah itu.

Daiki menatap makin inten, matanya tidak fokus. Kadang melihat mata Nanami, kadang menatap hidungnya, tak luput ia menatap bibirnya.

Begitu mirip…

Eluhnya dalam hati.

“Kau aneh. Pasti terjadi sesuatu” Nanami jengah diperhatikan seperti itu.

Dammit! She’s really beautiful!

“Tidak ada” Daiki menjawab singkat. Ekspresinya datar. Dan lagi-lagi membuat Nanami tambah curiga.

Keduanya kembali diam. Tak ada satupun dari mereka yang berinisiatif untuk memulai pembicaraan. Terkadang, diam seperti ini malah membuat keduanya lebih tenang.

Masih saling menatap—Daiki mendekat. Bibirnya menggapai kening Nanami. Mendaratkan kecuapan lama. Pandangannya beralih ke arah bibir mungil milik Nanami, ia menyentuhnya lembut dengan bibirnya. Menyesapnya perlahan.

Dan tiba-tiba tubuh mungil itu sudah berada di dalam dekapannya. Ia memeluk erat. Kepalanya tenggelam di dalam pundak Nanami.

Nanami mendengar Daiki mengerang. Tapi ia tak terlalu mendengar apa yang Daiki ucapkan. Jantungnya tak bersahabat dengan indra pendengarannya. Karena yang ia dengar hanya degupan jantungnya sendiri yang memburu.

Samar, Daiki menyebut nama itu. Dan cukup membuat Nanami terdiam.

“Ayami…”


***

Pagi harinya, Hikaru mengetuk pintu apartemen Daiki dengan wajah pucat. Ia tak banyak bicara, hanya member isyarat pada Daiki untuk ikut dengannya. Daiki menurut saja. Ia merasa ada yang janggal dengan sikap Hikaru yang aneh dan lebih banyak diam. Tapi ia juga tak banyak bertanya dan duduk tenang di mobil Hikaru yang mewah.

“Dengar…” Hikaru bersuara—lemah dan serak.

Daiki menoleh, menatap temannya antusias. Ia menerka-nerka apa yang akan Hikaru katakan. Tapi otaknya buntu. Mungkin akan serius, mengingat wajah Hikaru begitu tertekan.

“Dengarkan baik-baik, Daiki…”

Gelisah—Daiki melebarkan matanya. Jantungnya mulai berdetak tak normal. Kabar buruk kah? Ia berharap Hikari sedang mengerjainya saat ini.

Hikaru beralih menatap Daiki, menusuk sampai ke relung hati cowok yang lebih pendek darinya itu. Menatap sepasang mata bening yang ikut menatapnya. Dan tiba-tiba ia memalingkan wajahnya. Ia tak sanggup mengatakannya pada Daiki.

Daiki bingung sendiri, “Ada apa Hikaru?” Ia bertanya cemas. Tak sabar dengan sikap Hikaru yang lamban—Daiki menarik sebelah pundak Hikaru. Menghadapkan tubuhnya ke Daiki.

Hikaru memegang kedua pundak Daiki, ia menatap pilu.

“Apa sih? Jangan buat aku penasaran!” Daiki kehilangan kesabarannya. Ia menepis kedua tangan Hikaru. Dan membuat Hikaru kembali mencengkeram kedua pundak Daiki—lebih kencang.

“DENGAR!” Setengah membentak, “Dengarkan aku…” Kembali melemah. Hikaru tertunduk lesu.

Daiki menatap pasrah, “Apa yang harus ku dengar, Hikaru…?” Suaranya ikut melemah.

“Takaki…” Hikaru memulai, “Takaki…”

Daiki menyimak. Ia tak mau mengambil asumsi terlebih dahulu sebelum mendengar secara keseluruhan. Tapi, mendengar Hikaru menyebut nama Takaki membuat jantungnya berdesir halus. Pasti ada sesuatu yang salah. Pasti.

“Semalam…” Hikaru melanjutkan, suaranya parau. “Dia… Ditembak… Ketika…”
Sampai kata itu Hikaru berhenti bicara. Wajahnya tenggelam dalam pangkuan Daiki. Ia menangis tanpa suara.

“A…Apa…?”

Daiki menggenggam tangan Hikaru erat. Setengah kesadarannya menghilang, dunianya serasa berputar-putar. Dua orang temannya mati? Dan itu karenanya. Dan—

“Ini salahku!”

Tubuh Daiki melemas. Kepalanya jatuh ke bahu jok mobil berwarna abu-abu milik Hikaru. Napasnya terengah naik-turun. Matanya terbuka, menatap ke luar jendela dengan tatapan hampa.

Miris.

Udara terasa memusuhinya. Gelembung awan tampak menatapnya tak bersahabat. Dan di sana, langit menyemburkan aliran dinginnya. Sedingin hati Daiki. Sepilu jiwa Daiki.
Bahkan, sang langit ikut memberinya tangisan.

Daiki menutup matanya.

Sarkastis.


***

Wajah pucat itu memilukan. Kedua matanya tertutup dengan damai.

—damai?

Tidak.

Menimbulkan banyak pertanyaan.

Menghela napas berat, Inoo menutup kain putih menyelimuti seluruh wajah yang pucat itu—wajah Takaki.

Wajah Inoo ikut memucat, sejenak ia terdiam. Berbagai pengandaian berkecamuk dalam otaknya. Memorinya terputar ke beberapa kejadian yang janggal—menurutnya.

Takaki terbunuh dengan motif perampokan. Keitai dan dompetnya hilang. Yabu, juga terbunuh. Dan motifnya masih tak jelas. Yang membuat Inoo heran, keitai Yabu ternyata juga hilang. Detektif yang menangani kasus Yabu baru saja memberitahunya.
Semua terlalu kebetulan. Terlalu kebetulan melihat dua temannya mati terbunuh.

Matanya terpejam. Sekelebat pikiran itu memenuhi otaknya. Dan ia menggeleng lemah, merasa tak ingin mengiyakan kenyataan itu. Berusaha membuang jauh-jauh pikiran buruknya. Berusaha menutup mata hatinya untuk melihat kenyataan pahit. Tapi, ia tak bisa—

“Inoo…”

Inoo menoleh, mendapati Hikaru dan Daiki berdiri di ambang pintu.

“Inoo…” Hikaru mengulang. Ternyata suara Hikaru. Batin Inoo. Terdengar serak.

Inoo tak menjawab. Ia kembali menatap mayat sahabatnya.

Sendu.

Lama mereka terdiam. Menikmati kekosongan yang mengalir begitu saja. Tenggelam dalam perasaan kalut dan pedih. Bercampur, dan membuat sirkulasi udara di ruangan itu begitu mencekat.

“Kenapa?” Suara Inoo terdengar seperti keluhan, begitu lirih. “Kenapa?” Ia kembali mengulang. Mencoba memastikan, meyakinkan dirinya sendiri. Entah keyakinan apa.

Inoo menatap kedua sahabatnya pilu, matanya panas, bibirnya bergetar.

“Katakan padaku! Ini…” Napasnya tercekat, “Ini…hanya… bercanda kan?” Ia merintih.

Daiki membuang muka, tak sanggup melihat wajah itu lebih lama. Hatinya serasa ditusuk ribuan jarum. Perih.

Hikaru mendekat, meletakkan sebelah tangannya di pundak Inoo.

“Inoo… Dengarkan—“

Inoo menggeleng cepat, memotong ucapan Hikaru.

Matanya memanas lagi. Bulir pertama.

“Aku tak mau mendengar apapun! Jangan membodohiku!” Matanya menatap Daiki memohon, mengacuhkan Hikaru. “Daiki, kumohon katakan padaku! Ini bukan karena kejadian itu kan?”

Daiki bergeming. Tertohok tepat di dasar hatinya. Ia masih tak sanggup menatap Inoo. Nyalinya menciut.

“Inoo, semua ini bukan salah Daiki…” Hikaru menengahi.

Inoo tak peduli dengan Hikaru, matanya terus menatap Daiki.

“Kenapa kau diam, Daiki? Kedua temanmu sudah mati!”

Bulir kedua.

Hikaru bungkam. Merasa tak ada gunanya ia mengeluarkan suara.

Daiki menoleh perlahan, menatap mata Inoo yang basah. Tanpa isakan. Tanpa suara. Membuat hatinya miris.

“Salahku…” Ungkapnya lemah, “Semua salahku…”

Terisak pelan.

“Apa yang harus kulakukan? Berdiam diri menunggu mati?” Inoo menatap sarkastis. Emosinya mulai meluap.

Hikaru memegang kedua bahu Inoo, “Tenanglah Inoo! Kumohon tenanglah!” Suaranya kembali serak.

Inoo menatap tajam, “Kau menyuruhku untuk tenang?” Kembali bergetar, “KAU MENYURUHKU TENANG KETIKA DUA TEMANKU MATI? BEGITU?”

“TENANGLAH!” Hikaru ikut membentak, “Setidaknya jangan salahkan Daiki… Jangan salahkan Daiki…” Menunduk, Hikaru memohon pilu.

Inoo berdiri, menghampiri Daiki, kedua mata mereka bertemu. Tak sebening biasanya, tak secerah biasanya. Kedua pasang mata itu diselimuti kabut yang sama. Ya, kabut yang sama hitamnya.

“Maaf Daiki, tapi kau tak bisa bersikap setenang dirimu. Aku akan melawan”

“Tidak!” Daiki tersentak hebat, “Jangan lakukan apapun! Kumohon! Aku tak mau kehilangan siapapun lagi”

“Aku juga…” Inoo mengiyakan, “Aku akan mati jika melihatmu seperti dulu lagi. Biarkan aku yang menghentikannya”

Daiki menggeleng keras, “Tidak! Tidak!” Ia mencengkeram kedua bahu Inoo, “Kumohon…”
Inoo melepaskan kedua tangan Daiki dari bahunya, ia tersenyum lembut, “Aku menyayangi kalian” Dan aku menyayangimu melebihi nyawaku sendiri.

Dan ia, berlalu begitu saja dari pandangan Daiki dan Hikaru.


***


Daiki menyeret kedua kakinya untuk menaiki tangga apartemennya. Ketika ia mengambil kunci dan memasukkannya ke dalam lubang pintu, matanya sedikit terbelalak—kaget. Ia mendorong pintu rumahnya.

Pintunya—tidak terkunci?

Daiki menelan ludah.

Ia ingat betul, Nanami pamit pulang sebelum Hikaru menjemputnya tadi pagi.

Lagipula, cewek itu tidak memiliki kunci cadangan. Itupun jika Nanami yang masuk ke dalam apartemennya.

Buru-buru, Daiki memasuki apartemennya yang lenggang. Matanya otomatis menatap sebuah kotak hitam di meja seukuran 20x20cm.

Mendekat—cowok itu membuka kotak hitam yang kini berpindah di tangannya.
Perlahan—tapi pasti. Dua buah keitai, yang satu berwarna hitam dan satunya lagi berwarna merah. Dan sebuah dompet.

Kembali—menelan ludah.

Ia mengenal benda-benda itu milik siapa. Sangat mengenal dengan baik. Kenapa—

Drrrrrrrrrrtttttttt... Drrrrrrrrrtttttttt…

Sedikit terlonjak, Daiki meraih keitainya. Tanpa sadar ia menahan napas, malihat siapa gerangan yang menelpon.

Unknown number—itu?

Daiki membuka flip keitainya, menekan tobol ‘yes’ dengan tangan gemetar. Tak ada suara yang Daiki ucapkan, hanya suara napas yang memburu.

“Arioka Daiki…” Suara tawa pelan, “Sudah menerima kotaknya?”

“…”

“Rupanya kau cukup terkejut ya?”

Daiki lupa bagaimana cara ia mengambil napas, kali ini dadanya terasa lebih sesak dari biasanya. Begitu banyak cacian yang ingin ia lontarkan. Begitu banyak pertanyan yang ingin ia tanyakan. Tapi, begitu mendengar suara parau itu, otaknya seakan berhenti bekerja.

“Kau tahu barang-barang yang kukirim itu?” Kembali suara tawa, “Ahh, kau pasti mengenalnya dengan baik kan?”

Sesak. Makin sesak.

“Aku bukan perampok, Arioka Daiki. Aku butuh dirimu—nyawamu…”

Seseorang, tolong masukkan oksigen ke dalam paru-paruku! Daiki mulai panik. Kedua manik hitamnya tak berhenti mengerjap. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.

“Hmm, kali ini kau boleh memilih. Inoo Kei? Yaotome Hikaru?”

DEG!

Tidak!

Terdengar suara terkekeh di seberang, “Atau… Hasegawa Nanami?”

Tidak! Tidak!

“Dare?”

“Komohon! Berhentilah!” Daiki memohon. “Jauhi teman-temanku!”.

Bukan nada amarah, bukan pula makian. Ia memohon dalam lirih.

Suara tawa. Begitu menyakitkan untuk di dengar.

“Terlambat, Arioka Daiki…”

“Tidak…” Daiki merintih pelan.


***

masih bersambung XDD

Label: , , ,



4 Komentar:

Anonymous Anonim mengatakan...

aduuhh de ga mau komen mcm2~

LANJUTIN AJA! LANJUTIN BURU!

*dibakar*

6 Oktober 2010 pukul 20.52  
Blogger deya_daisuke mengatakan...

eh??? ini siapa ya?
maaf saya bukan dukun yg bisa nerawang nama orang...
hahahaha XDDD

8 Oktober 2010 pukul 02.21  
Anonymous lenny mengatakan...

oia lupa usernamenya! kekkee

ini lenny tauuu~~~ XDD

8 Oktober 2010 pukul 21.23  
Blogger minkyachan mengatakan...

aduh de~ cepetin dah matiin smua!inoo kan yg mati?wkwk

19 Oktober 2010 pukul 08.12  

Posting Komentar

home