december post

Deeto, janai ka?

Tears chapter2
10 comments gimme comment?

Tittle : Tears
Author : deya
Genre : Angst gagal
Rating : pg13 *mungkin* ditendang ke pelukan massu
Cast : Ryuutaro Morimoto, Kouta Yabu, others Chara
Disclaimer : I don’t own them.They belongs himself, God, His parents and JE.

******************

(entah kenapa pas bikin ending” crita ini gw denger Zutto-nya NEWS *tegomas especially* iyeeeeee gw tau gak nyambung emang…tapi dengerin aja lah ya~ XD)

Chapter 2 of 2

“Kaa-san? Nii-chan?”

Kedua mata Ryutaro mengerjap tak percaya. Masih setengah menyadari situasi yang tengah ia hadapi. Mulutnya terbuka ingin mengatakan sesuatu, tapi tak ada sepatah katapun yang berhasil keluar dari mulutnya. Ia begitu tidak percayanya dengan apa yang ia pikirkan.

Ketahuan

Satu kata itu yang berhasil ia cerna.

Ryutaro menelan ludah. Ia menunduk dalam, tak sanggup membayangkan apa reaksi selanjutnya dari 2 orang yang tengah memandangnya serba salah. Yabu, mendekat perlahan. Berjongkok di depan Ryutaro yang duduk di atas kasur, mengunci badan mungil itu dengan kedua tangannya. Pandangan matanya lembut, menatap Ryutaro tanpa amarah. Sesaat ia memejamkan mata, bingung tepatnya. Apa yang harus ia katakan saat ini?

Ryutaro berpaling. Tak sanggup menatap kakaknya.

Ibunya ikut mendekat. Duduk di atas kasur, tepat di sebelah kiri Ryutaro. Menggenggam tangannya erat. Tak ada sepatah kata pun yang sanggup ia lontarkan. Ia hanya berharap, apapun yang terjadi, dirinya akan tetap mendukung anaknya. Ia juga berharap, genggaman tangan itu akan mengalirkan setengah kekuatannya untuk Ryutaro.

Tes!

Ryutaro merasakan rasa hangat menyentuh pergelangan tangannya. Ia menoleh cepat.

Miris.

Ibunya menangis tanpa suara. Menunduk sedalam-dalamnya tanpa Ryutaro bisa menebak bagaimana ekspresi Ibunya.

Ryutaro menelan ludah. Rasa sakit yang lain menggerogoti dadanya. Bukan sakit kerana obat itu, bukan karena suntikan setan yang ia tancapkan pada lengannya. Bukan karena ia membutuhkan suntikannya.

Sungguh—bukan itu.

Ryutaro kembali memalingkan wajah dengan cepat. Ia tak sanggup melihatnya. Otaknya kembali dipenuhi memori-memori yang ingin ia hapus. Memori yang kembali membuat berjuta sel di otaknya bertubrukan satu sama lain. Kepalanya pening luar biasa.
Sensasi itu datang lagi, dimana ia ingin segera melupakannya.

Ia tak sanggup menanggung rasa bersalah yang begitu besar. Hari dimana ia telah menjadi—pembunuh. Dimana ia membuat keluarganya menangis karena kesalahannya. Karena sifat egoisnya. Karena dirinya—sepenuhnya.

Dadanya sesak. Ia kesulitan bernapas saat itu juga.

Udara.

Ia butuh udara.

Ryutaro mendongak spontan. Mulutnya terbuka lebar, berusaha mengambil udara sebanyak-banyaknya. Namun, tenggorokannya menolak masuknya udara ke dalam tubuhnya. Ryutaro terengah-engah. Napasnya tercekat.

Ia membanting tangan ibunya kasar, memegang kedua lehernya yang sulit di ajak bekerja sama. Mulai mencakarinya sampai meninggalkan bekas luka.

Yabu sontak berdiri, begitu pula dengan ibunya.

Yabu berusaha menahan kedua tangan Ryutaro. Mencengkeramnya dengan erat.

“Ryuu! Kenapa Ryuu????” Ibunya memekik tertahan. Suaranya serak karena habis menangis. Ia hanya memandang anak bungsunya tanpa sanggup melakukan apa-apa. Ada perasaan tak tega menyelinap memasuki hatinya. Jujur, ia tak sanggup melihat anaknya bertingkah seperti ini. Sebagai ibu, ia merasa gagal menjaga anak-anaknya.

Ibunya terduduk lemas, ia menggapai tubuh anaknya. Memeluknya erat. Tanpa mengucapkan apapun.

Ryutaro memberontak kasar. Ia mendorong tubuh ibunya kuat sambil berusaha berdiri. Membuat ibunya terpelanting ke lantai, bahkan kepalanya sempat terantuk pinngiran meja belajar. Pelipisnya berdarah.

“KAA-SAN!!!” Yabu berteriak histeris. Ibunya mengisyaratkan ia tak apa-apa. Merasa lebih baik mengamankan Ryutaro daripada ibunya, ia kembali menarik tubuh Ryutaro. Membanting tubuh adiknya dengan cepat ke kasur.

Tidak berhenti di situ, Ryutaro tetap memberontak. Ia berusaha bangun, tapi lagi-lagi Yabu mengunci kedua tangannya.

“BERIKAN SUNTIK ITU!!!!” Ryutaro berteriak kalap. Ia berusaha mendorong Yabu yang menghimpit badannya.

“TIDAK AKAN!” Yabu ikut berteriak, kembali memastikan bahwa adiknya tak dapat lagi memberontak.

Ryutaro menendang kaki Yabu, tapi hal itu tidak berpengaruh apa-apa.

Putus asa.

“BERIAKAN JARUM SUNTIK ITU, YABU!!!”

Bahkan ia sudah lupa, bagaimana ia harus memanggil kakaknya.

“RYUU! SADARLAH!!!!”

Ryutaro tak peduli, bukan saatnya ia mendengarkan ucapan kakaknya. Bukan saatnya pula ia menuruti kata-kata klise itu.

“BERIKAN!!! ATAU AKU AKAN MEMBUNUHMU!!!!!”

BUGGGGGGG!!!!!!!!

…..


..

Satu tinjuan itu mendarat dengan sukses ke wajah mungil itu. Matanya kosong.

Seperti baru saja disadarkan oleh sesuatu.

Sesaat, ruangan itu seperti kedap udara.

Tidak ada tarikan napas.

Terlau mencekam.

Butuh waktu beberapa detik untuk menyadari tarikan napas Yabu mulai memburu.
Emosi yang terlihat begitu ditekan. Aliran air mata yang begitu di tahan. Setidaknya ia ingin terlihat tegar. Tidak cengeng! Siapa yang bisa menenangkan adiknya kecuali dia? Siapa lagi yang bisa membuat ibunya berhenti menangis kecuali dia? Begitu kan?

Ryutaro terdiam.

Pukulan itu tidak sakit.

Tidak sesakit dadanya.

Tidak sesakit hatinya.

Bodoh!

Dialah manusia paling bodoh saat ini.

Ibunya mendekat, membelai kepala Ryutaro lembut. Kembali menenggelamkan tubuhnya memeluk si bungsu. Ia tidak ingin menangis. Hanya ingin memeluk. Itu saja.

“Kaa-san, bisakah kau pergi dari kamar ini sekarang? Aku akan mengikat tangannya!” Yabu berkata tegas.

Ibunya menoleh cepat, merasa salah mendengar ia memicingkan mata. Memastikan sekali lagi.

“Apa? Mengikat?”

Yabu mengangguk mantap, sebersit keraguan menyeruak dalam hatinya. Sebelah hatinya memberontak memperlakukan adiknya seperti bukan manusia. Tidak—bukan sebelah hatinya. Tapi seluruh hatinya memberontak. Rasa sayangnya melebihi apapun.

“Sampai keadaannya stabil. Kaa-san, ku mohon!”

Mata sayu itu menunduk dalam, ia tahu—sangat tahu. Ini ide yang buruk. Tapi, ia lebih tak sanggup lagi melihat adiknya menjerit-jerit seperti itu.

Paham, ibunya mengangguk pasrah.

“Yabu, bagaimanapun juga dia adalah adikmu. Jangan mengikat terlalu kencang ya?” ibunya berkata sambil tersenyum lembut.

Prahara itu runtuh. Dadanya seakan disiram ribuan ton air dingin. Yabu menarik napas lega, entah kenapa ia merasa damai menemukan secuil senyuman itu dari ibunya.
Sebelum meninggalkan kamar, ibunya kembali membelai kepala Ryutaro. Mengecup keningnya lembut.

“Ryuu, oyasumi”

Kalimat itu tidak hanya menyejukkan, tapi sanggup membuat air mata Ryutaro menetes. Ia menatap ibunya. Berusaha mendapatkan keyakinan bahwa masih ada kepercayaan terselip di sana. Dan ia—menemukannya dengan mudah.

Dengan senyuman, ibunya meninggalkan kamar itu.

Menyisakan Yabu dan Ryutaro yang kembali terdiam.

Tanpa pikir panjang, Yabu mengambil kain di lemari Ryutaro dan mengaitkan kain itu sama lain, kemudian ia kembali berpaling pada Ryutaro, anak itu hanya diam.

Pandangan matanya kosong.

Tidak!

Yabu menolak dalam hati.

Haruskah ia mengikat adiknya?

Buru-buru ia hapus pikirannya itu, hanya ini satu-satunya cara agar Ryutaro tidak meberontak saat ia sangat membutuhkan jarum suntik.

Ia mulai mengikat tangan Ryutaro dengan ujung tempat tidur. Yabu melakukannya dengan cepat, agar rasa bersalah tidak menghampirinya dan membuatnya berubah pikiran.

Ryutaro bergeming. Ia tak berniat melawan atau melakukan tindakan brutal lainnya.

Yabu duduk di sampingnya. Menatap adiknya cemas dan bingung.

“Ryuu, gomen ne. aku tak bermaksud mengikatmu. Hanya saja—“

Ryutaro merespon. Ia menatap kakaknya yang terlihat lebih mengkhawatirkan daripada dirinya. Wajahnya kusut, matanya merah. Ryutaro ingin memeluknya saat itu juga, mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Tapi, itu tak mungkin kan? Ruang geraknya sangat terbatas.

Bibirnya kering. Begitu banyak yang ingin ia katakan, namun ia kembali terdiam tanpa suara. Pita suaranya tak mendukung niatnya untuk sekedar mengucapkan terima kasih.

“Ryuu, aku mohon… Demi aku, demi Kaa-san, demi Tou-san…”

Yabu menunduk dalam. Perasaannya kacau luar biasa. Ia tak tahu kalimat macam apa yang harus ia katakan.

Ryutaro menunggu.

“Dan demi dirimu sendiri…”

Memanas. Matanya memanas seketika. Ryutaro kembali meneteskan air mata. Sampai kakaknya memohon seperti ini. Apakah ia harus pura-pura tuli? Apakah ia harus berhenti? Pilihan macam apa yang akan ia jalani?

Yabu mendongak, matanya basah. Senyuman lembut menghiasi bibir tipisnya.

“Kau menyayangi kami, deshou?”
Kedua mata Ryutaro mengedip pelan. Tentu saja. Hal terpenting dalam hidupnya bukan dirinya sendiri. Dan seharusnya bukan suntik-suntik keji itu. Tentu saja keluarganya.

Senyum Yabu melebar, “Maka berhentilah…”

Berhenti?

Bisakah?

Bisakah ia?

Suntik-suntik itu adalah jiwa keduanya.

Haruskah—

“Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri karena kematian Tou-san..” Yabu melanjutkan dengan suara bergetar.

Dan getaran itu sampai ke relung hari Ryutaro. Begitu menusuk dan kembali membuat dadanya sesak.

Spontan, ia mulai menangis lagi. Ia mengerang. Tak ada pemberontakan, hanya isakan yang memilukan.

Yabu membelai pipi adiknya lembut. Perlahan, ia menghapus air mata yang keluar dari sepasang mata bulat itu. Berusaha ikut menanggung beban luar biasa yang ditanggungnya. Beban ini memang terlalu berat.

“Ryuu, daijoubu. Ayo tanggung beban ini bersamaku.”

Helaan napas.

“Kau… bersedia membaginya… dengan ku kan?”

*****

Sinar matahari pagi menyeruak masuk melewati celah jendela kamar Ryutaro. Ia membuka mata dengan paksa, spontan menutup matanya dengan telapak tangan kanan karena sinar matahari menyilaukan matanya.

Heh??

Ia menatap tangannya terkejut.

Ia… bebas?

Seharusnya tangan dan kakinya diikat oleh tali. Seharusnya kan—

“Ohayou, Ryuu!”

Lehernya berputar 90 derajat. Matanya terbelalak mendapati seseorang berdiri di ambang pintu dengan wajah ceria.

“Hoku?”

Cowok itu tersenyum lebar.

Matsumura Hokuto, adalah teman sekelas Ryutaro. Bisa dibilang mereka adalah teman dekat. Setidaknya begitu menurut Hokuto. Ryutaro sendiri mulai menjauh dari temannya ini, semenjak ia mengkonsumsi narkoba. Hokuto adalah orang yang ceria, tapi tak jarang ia terlihat sok dewasa.

“Ya. Kau heran kenapa aku di sini?” Tanya Hokuto sambil menyunggingkan senyum jenakanya.

Ryutaro bergeming. Masih mencoba mencerna alasan kenapa Hokuto berada di kamarnya sepagi ini. Tampaknya Hokuto cukup mengerti apa jawaban temannya ini.

“Aku menjemputmu sekolah, Ryuu!”

Se…sekolah?

Kedua bola mata Ryutaro bergerak cepat ke kanan dan ke kiri. Lagi-lagi otaknya bergerak sangat lambat. Hokuto menjemputnya untuk pergi ke sekolah. Ini tak pernah terjadi sebelumnya. Bahkan ketika mereka masih dekat—dulu.

“Kakakmu memintaku datang. Sepertinya ada yang harus kau katakan padaku, iya kan?”
Ryutaro menelan ludah. Entah kenapa ia mulai merindukan kehadiran sahabatnya. Tapi ia terlalu malu untuk mengakuinya.

“Tidak juga!” Sahutnya cuek.

Hokuto hanya tersenyum kecil.

“Cepat mandi! Aku menunggumu di bawah”

****

“Onii-chan..?”

Yabu menoleh. Menatap lurus ke dalam mata adiknya.

“Hmm”

Ryutaro menunduk dalam. Ia benar-benar tak yakin bisa masuk sekolah hari ini. Ia tak mau terlihat sedang memerlukan obat itu di depan teman-temannya. Ia sangat yakin, keinginannya untuk memakai jarum suntik akan timbul sesegera mungkin. Hari ini saja, badannya sudah tak sehat. Matanya terasa berat.

Ibunya membelai rambut Ryutaro lembut. Tersenyum luar biasa indah, seolah tak terjadi apa-apa semalam.

“Aku…aku takut…kalau nanti…”

Yabu memegang pundak Ryutaro, “Daijoubu. Kau harus sekolah, Ryuu”

“Tapi kalau nanti—“

“Hoku akan menjagamu!” Potong Yabu cepat.

Ryutaro terduduk lemas di sofa, “Kau… memberitahunya?”

Yabu mengangguk pelan. Merasa tak senang mengatakan fakta itu.

Lagi-lagi Ibunya membelai rambut Ryutaro, “Hoku temanmu kan? Percayalah padanya. Sering sekali ia mengkhawatirkan keadaanmu yang menurutnya aneh akhir-akhir ini.

Nee?”

Ryutaro memandang Ibunya. Ingin rasanya ia menangis saat itu juga. Mempunyai Ibu yang sangat hebat, adalah sesuatu yang seharusnya ia syukuri. Tapi—

****

Sekaleng softdrink teronggok di depan wajah Ryutaro. Ia memandangnya tak semangat.
Hokuto menempelkan kaleng dingin itu ke pipi Ryutaro, yang membuat temannya itu mendelik kesal. Hokuto hanya tertawa pelan ketika Ryutaro mengambil kaleng softdrink yang ia berikan.

Untuk beberapa saat mereka terdiam. Hokuto menunggu Ryutaro memulai pembicaraan, sedangkan Ryutaro sendiri sibuk merangkai kata-kata yang hendak ia lontarkan. Tidak ada inisiatif memulai, hal ini lah yang membuat Hokuto geram. Ia menatap temannya dengan tatapan jengkel.

“Nee, lama banget sih mikirnya. Ayo cepet ngomong!” Omel Hokuto tak sabar.

Ditatapnya kedua mata bulat Ryutaro tajam.

Ryutaro menelan ludah, tatapannya kembali beralih ke arah langit siang yang terbentang biru. Sekawan burung putih melintas dengan damainya. Ryutaro tersenyum miris. Sayangnya tak sedamai itu perasaannya sekarang.

“3 bulan yang lalu…” Ryutaro memulai, Hokuto memperhatikan dengan serius.

“3 bulan yang lalu aku mulai memakainya. Kurasa aku tak perlu menceritakan alasan kenapa aku menggunakan barang-barang itu. Hanya…” Ryutaro kembali menelan ludah, “Hanya datang di saat waktu yang tepat—kurasa”

Hokuto meneguk minumannya pelan, tanpa berkomentar apapun.

“Aku tahu aku salah. Dan…kau boleh mengatakan bahwa aku menyesal. Kau bohong jika kau mengerti apa yang aku rasakan…”

Hokuto tersenyum simpul, “Aku memang tak mengerti perasaanmu”

Ryutaro menoleh cepat, mendapati Hokuto tengah menatapnya dalam.

“Ryuu, aku memang tak pernah mengerti apa yang kau rasakan. Aku tak pernah mengerti bagaimana rasanya kehilangan dan perasaan bersalah. Aku sama sekali tak mengerti itu semua…” Hokuto menghela napas pendek, “Tapi aku mengerti rasanya membutuhkan orang yang kupercaya. Dan kau tahu, aku selalu melihatmu. Dan asal kau tahu juga, tanpa kau minta pun aku akan selalu datang. Kita teman, deshou?” Bibir tipis itu mengembang, membentuk seulas senyuman hangat.

Ryutaro menunduk, mendapati dirinya mulai menangis—tanpa suara.

****

Hikaru menatap lawan bicaranya dengan gusar. Berkali-kali ia menoleh ke kanan atau kiri jalan. Mungkin ia bisa meminta bantuan seseorang untuk menyelamatkannya. Napasnya sesak luar biasa ketika sebuah benda tajam menyentuh pipi kanannya.
Dingin. Itulah kesan pertama yang ia rasakan ketika pisau lipat berbahan stainless steel itu beradu dengan kulit tipisnya. Napasnya tercekat, sejenak ia dapat merasakan tatapan tajam itu mulai menghujaninya. Tatapan yang seakan siap kapanpun untuk melahapnya hidup-hidup.

Pisau itu mulai menjelajahi tengkuk lehernya. Seketika itu pula napas Hikaru benar-benar tertahan. Suaranya tak dapat diandalkan karena ia terlalu takut. Pisau itu turun ke bawah. Tepat berada di ulu jantungnya.

Hikaru memejamkan mata. Menunggu sang shinigami mencabut nyawanya.

“Dengar…” Hikaru mulai bicara, suaranya serak luar biasa. Ada nada takut dan pasrah yang terdengar dari alunan nada suaranya, “Aku tak akan membuat pembelaan diri. Jika kau berpikir aku salah, mungkin aku memang salah…”

“Mungkin?” Tantang lawan bicaranya dingin.

Hikaru menelan ludah, tenggorokannya terasa kering sekali. “Oke, aku memang salah. Aku yang pantas disalahkan. Tapi, apa kau pernah melihat wajah Ryutaro ketika pertama kali bertemu denganku?”

Siluet hitam itu diam. Menunggu.

“Tragis!” Ucap Hikaru cepat, “Kau bisa membunuhku sekarang ini. Tapi kau tak bisa membunuh rasa bersalah yang ada di kepalanya. Kau tak akan bisa, sekalipun kau berada di sisinya”

“Kau tahu apa?”

Hikaru tersenyum sinis, “Hanya orang-orang yang pernah mengalaminya yang mengerti. Kau jangan pura-pura mengerti sedangkan kau tak pernah mengalaminya”

Siluet itu mundur selangkah, “Teman macam apa kau ini, Hikaru?”

Hikaru mengerling tajam, “Teman? Kau menganggapku teman?”

Tak ada jawaban.

“Kau menganggapku teman setelah kau membuangku, hah?”

“Balas dendam kah?”

Hikaru menyipitkan matanya yang kecil, “Kau bisa bilang begitu. Tapi maaf, aku bukan manusia rendahan sepertimu yang rela memanfaatkan temannya sendiri untuk bisa mendapatkan beasiswa!”

Siluet itu kembali mendekat, “Tutup mulutmu!”

“Aku bisa menutup mulutku, hanya jika kau membunuhku”

“Akan kukabulkan”

Hikaru memejamkan matanya, “Aku sangat menyesal menjadi dosa terbesarmu…’

JLEB!!!

“Kau…”

JLEB!! JLEBBB!!!

“Ya…”

JLEB JLEB JLEBBBB!

“…a—bu”

****

Ryutaro teronggok bagai sampah di kamarnya sendiri. Sudah 3 hari ia merasakan sakit luar biasa. Hanya satu yang diinginkannya saat ini, ya—jarum suntik. Tapi lagi-lagi perasaan bersalah itu muncul ketika ia mengingat wajah Ibunya. Ia menggeleng keras. Mana mungkin ia melanggar janjinya. Mana mungkin?

Ryutaro mengambil pulpen yang terletak di atas meja belajarnya. Membuka tutupnya dan dengan cepat menancapkan ujung pulpennya ke pergelangan tangan kirinya. Darah segar mengalir dan ia sangat menikmatinya. Dan ketika itu pula, air matanya mengalir. Ia menangisi dirinya sendiri yang tampak terlihat sangat bodoh.

Jleb!

Kembali ia menancapkan ujung pulpen ke pergelangan tangannya. Darah keluar makin banyak dan ia sama sekali tak peduli akan hal itu. Dan hal itu terus ia lakukan sampai ia merasa puas. Puas menyakiti dirinya sendiri.

Ryutaro meringis kesakitan. Mungkin hampir saja nadinya terputus. Persetan dengan itu! umpatnya dalam hati. Napasnya memburu, ia berusaha menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Karena paru-parunya terasa sakit dan mulai menolak oksigen untuk masuk. Ryutaro menggapai-gapai udara lepas. Berusaha menangkap sesuatu—sesuatu yang abstrak tepatnya. Entah kenapa ia merasa hidupnya akan berakhir malam ini juga.
Entah setan apa yang merasukinya, Ryutaro menendang kursi belajarnya. Dalam sekejap, kursi itu berguling dan menimbulkan suara gaduh. Tak hanya di situ, Ryutaro menarik seprei tempat tidurnya, menggigitnya dengan keras. Mencoba menahan rasa sakit yang luar biasa ia rasakan.

Kemana? Kemana ia harus mencari pertolongan? Hikaru? Ya. Ia harus mencari Hikaru.
Ryutaro merayap di lantai menuju tepi tempat tidurnya, tempat dimana ia meletakkan keitainya. Sial! Bahkan untuk mencari nama Hikaru saja ia kesulitan. Tenaganya seperti diserap sesuatu—entah apa. Ketika nama Hikaru terbaca di layar keitainya, Ryutaro buru-buru men-dial nomor tersebut.

Sedetik…

Dua detik…

Tiga detik…

Empat detik…

KLIK!

“Hikaru!” Seru Ryutaro ketika ia mendengar bunyi tanda telpon tersambung, “Hikaru, dimana kau? Dimana kau? Aku butuh barang itu. A…Aku ham..hampir mati. Tolong aku…”
Serak. Suara itu menahan tangis.

“Hikaru! Kau dengar tidak?”

Tak ada jawaban di ujung sana. Ryutaro mulai panik. Kenapa Hikaru tak mengatakan apapun? Kenapa?

“Ryuu…”

Suara itu..

Sesak. Suara itu membuat dada Ryutaro sesak. Ia kembali sulit bernapas. Tidak mungkin…

“Ryuu, Hikaru…sudah kubunuh”

Kumohon! Masukkan oksigen ke dalam paru-paruku! Kumohon!

KREEEKKKKKK….

Saat itulah, Ryutaro melihat sosok kakaknya di kegelapan malam. Tangan kirinya memegang keitai dan menempelkannya di telinga. Dan tangan kanannya memegang…

USO!!

Benda berkilat itu terlihat begitu jelas di mata Ryutaro.

****

Yabu menghampiri adiknya dengan tenang. Ditutup keitai yang dari tadi menghubungkannya dengan Ryutaro. Dengan sembarang ia melempar keitai tersebut ke sudut ruangan. Ia tersenyum senang melihat adiknya menatapnya dengan tatapan takut.

“Ryuu, Hikaru sudah kubunuh. Kau senang bukan?”

Yabu berjongkok tepat di hadapan Ryutaro. Adiknya menyeret tubuhnya sendiri untuk mundur sedikit. Yabu makin mendekat, tersenyum dengan jenakanya.

“Kenapa kau menatapku seperti itu Ryuu? Dengan begitu kan kau akan sembuh, deshou?”
Ryutaro menelan ludah. Ada sesuatu yang salah di sini. Kenapa…kenapa Yabu bertingkah seperti itu? Kenapa Yabu terlihat sangat—menakutkan? Keringat dingin mulai membasahi pelipis Ryutaro. Ia tak mengenal sosok ini. Sama sekali.

Yabu menyentuh pipi adiknya dengan lembut. Ia kembali tersenyum. Merasa bahagia melihat adiknya sendiri. Entah sejak kapan, Yabu mulai terbiasa dengan keadaan Ryutaro yang mengenaskan seperti ini.

“Oh ya, aku belum bilang ya? Kaa-san sedang pergi. Jadi hanya ada kau dan aku di rumah ini. Bagus kan?”

Ryutaro kembali menelan ludah. Rasanya hal itu justru mengerikan. Kenapa ia mulai membayangkan hal-hal yang tak wajar tentang kakaknya? Kenapa ia merasa dia bukan kakaknya?

“Kau lihat ini?” Yabu mengacungkan pisau yang dari tadi ia pegang. Pisau lipat yang sudah berlumuran darah, “Baru pertama kali kupakai. Dan ternyata sanggup menyayat tubuh Hikaru. Ternyata tajam sekali ya?”

Ryutaro bergeming. Ia menatap kakaknya dengan wajah tegang. Ia lupa rasa sakit yang sedari tadi menggerogotinya. Yang ia rasakan sekarang adalah ketakutan.

Yabu melihat ekspresi adiknya yang tiba-tiba berubah pucat, “Hei, kenapa wajahmu berubah begitu? Tentu saja aku tak akan membunuhmu…”

Kedua mata Ryutaro terbelalak, ada sedikt perasaan lega menjalari dadanya. Sedikit dan sebentar, karena…

“Setidaknya tidak dengan pisau ini…”

Mata itu menatap jenaka, membuat Ryutaro kembali memaksa tubuhnya untuk mundur. Tenaganya benar-benar habis.

Gila! Yabu sudah gila!

“Nee, Ryuu… Bisakah kau berdiri? Ahh, tentu tidak ya? Ayo kubantu!” Tanpa mendapat persetujuan apapun, Yabu mengangkat tubuh Ryutaro dan mulai memapahnya menuju balkon.

Tanpa perlawanan pula Ryutaro menurut. Ia tahu. Ia tak akan sanggup menghindar. Inilah takdirnya. Meskipun ia masih tak tahu, apa yang sedang Yabu pikirkan.

“Ryuu, mite mite…” Yabu berkata antusias, “Langit malam ini cerah sekali. Kau harus melihatnya. Karena, mungkin ini terakhir kalinya kita bisa menatap langit bersama. Lihatlah Ryuu!”

Ryutaro mendongak di rangkulan kakaknya. Benar. Langit malam ini begitu cerah. Indah sekali.

Miris. Ryutaro tersenyum miris. Mendapati sisa hidupnya yang begitu tragis.
Terlepas dari apapun yang Yabu rencanakan. Terlepas dari segala hal yang akan segera terjadi dalam hidupnya. Ryutaro hanya dapat mengiyakan semua takdirnya. Tak bisa melawan—tak sanggup tepatnya.

Dekapan Yabu makin erat, dan entah kenapa membuat Ryutaro meneteskan air mata tanpa suara.

“Ryuu, kau adik yang paling kusayang. Melebihi nyawaku. Melebihi apapun di dunia ini. Aku sangat menyesal mengapa hal ini terjadi padamu. Aku…sangat menyesal…”

Aku tahu Nii-chan. Aku sangat tahu…

“Tapi, aku tak bisa membiarkanmu terus hidup seperti ini. Terus terkurung dalam perasaan bersalah, padahal…padahal…kau…kau sama sekali tak salah… Dan akan sangat menyakitkan jika kau…jika kau mengetahui hal yang sebenarnya…”

Mou ii yo Nii-chan! Mou ii yo…

“Ryuu, bolehkah aku… tidak, izinkan aku…untuk—“

Tangis itu makin deras. Ryutaro merasakan kakinya yang mulai melemas. Sepertinya hari ini tiba waktunya.

“Izinkan aku untuk—“

Ryutaro mendekap kakaknya erat. Mungkin untuk terakhir kalinya.

“—untuk membunuhmu”

Yabu melepaskan dekapannya. Menjauhkan tubuh Ryutaro dan melemparnya ke sudut pagar balkon, dan dengan sekuat tenaga ia mendorong tubuh adiknya ke bawah.
Ia menatap tubuh adiknya yang mulai mendekati tanah, entah kenapa ia merasa melihat Ryutaro tersenyum. Entah kenapa ia melihat adiknya bahagia.

Di sisi yang lain, Ryutaro melihat air mata itu. Air mata yang keluar dari mata kakaknya. Ia akan selalu mengingat wajah itu. Sampai matipun akan selalu ia ingat.

Nii-chan… Ichiban ga daisuki..

Hontou ni… hontou ni arigatou Nii-chan…

There’s just a happy tears, deshou?

***

“Bagaimana keadaan anak saya, sensei?”

Yano Sensei memperhatikan keadaan seorang lelaki dengan pakaian serba putih sedang meringkuk di sudut ruangan. Tatapannya kosong dan ia menggoyang-goyangkan kakinya pelan.

Miris.

Yano Sensei menoleh kepada Ibu si lelaki tadi, “Masih sama, Morimoto-San. Lebih parah dibandingkan pertama kali anda bawa kemari. Gomenasai”

Sang ibu menunduk pilu, “Doushiyo Sensei? Kenapa Yabu jadi seperti itu?”

Yano Sensei menghela napas berat, “Anak anda mempunyai tekanan besar tersendiri, karena ia telah membunuh dua orang sekaligus. Tentu saja kita tak dapat bertanya padanya, melihat keadaannya seperti ini”

Sang Ibu mulai menangis.

“Dan, sekali lagi saya minya maaf Morimoto-san. Tolong jangan sering-sering anda menemui anak anda. Karena setiap kali ia melihat anda, dia akan berteriak dan mulai mengamuk.”

Sang Ibu mengangguk pelan. Ia sangat mengerti maksud dari Yano Sensei.

“Sensei, saya akan pulang. Terima kasih atas segalanya”

Yano Sensei hanya tersenyum dan mempersilahkan sang Ibu keluar dari ruangan itu.

Ketika keluar dari ruangan Yano Sensei, sang Ibu di sambut oleh seseorang.

“Nee, bagaimana keadaan Yabu-nii?” Tanya orang itu ketika mereka mulai berjalan beriringan.

“Masih sama seperti kemarin. Bahkan Yano Sensei mengatakan lebih parah”

“Apa kita akan ke makam Ryuu sekarang?”

“Un” jawab sang Ibu.

Orang itu tersenyum.

“Nee, arigatou na…”

“He?” sang ibu menoleh heran.

Orang itu tersenyum makin lebar, “Arigatou… Karena telah menyingkirkan semuanya untukku, Kaa-san

Sang Ibu ikut tersenyum, menggandeng tangan anaknya erat. “Tentu saja…Hokuto

***

OWARIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII~
*joget2*
*tabur bunga*
Yah, meskipun sangat gagal tapi yang penting selesai!
*dirajam massa*
Di komen yah~ XDD

Label: , , ,



10 Komentar:

Blogger lenny_da mengatakan...

etdah!
INI APA SIHHHHH???? *ngasah piso*

deyaaaaaa.... ngapa endingnya jadi begitu???? aaaahhhh RYU MATI!!
RYUU MATI!! RYUU MATI!!! *mulai lebay*

yabu akhirnya jadi gila toh *elus2 kepala bubu* kasian amat dah, sebenernya yabu protagonis apa antagonis ya~ stres amat keknya~ terus ADA HOKUTO!!! astaga endingnya bener2 gak ketebak T__T

siapa bilang gagal?? BAGUS KALI deyy~ merinding gw bacanya, mau teriak2an pas Ryuu nusuk2 pulpen tapi lagi di warnet *gak ditanya* jaaaahh suka FF-nyaaaaa :)))))
sankyuuuu yaaa!

7 Juli 2010 pukul 01.21  
Blogger deya_daisuke mengatakan...

Hahahahahaha
hahahahahaha
gt ya kak?
Wkwk, sbar kak sabar..
Kan gw blg endingnya gak ngenakin kan. Hoho
gw jg pgen bgd liat ryuu nusuk2 tangan'y pk pulpen trus darahnya ngocor gt. Ehehe

yabu tu gni lho, sifat manusia bgd. Dlu prnh ngelakuin sesuatu ke hikka, dan dy sayang sm adeknya. Krn tau yg ngebunuh bpak'y ibunya sndri mkanya dy mutusin bwd ngebunuh ryuu, ah intinya yabu mkirin perasaan adeknya. Meskipun cranya salah gt.
Ah ngesai dah

7 Juli 2010 pukul 02.48  
Blogger deya_daisuke mengatakan...

Hahahahahaha
hahahahahaha
gt ya kak?
Wkwk, sbar kak sabar..
Kan gw blg endingnya gak ngenakin kan. Hoho
gw jg pgen bgd liat ryuu nusuk2 tangan'y pk pulpen trus darahnya ngocor gt. Ehehe

yabu tu gni lho, sifat manusia bgd. Dlu prnh ngelakuin sesuatu ke hikka, dan dy sayang sm adeknya. Krn tau yg ngebunuh bpak'y ibunya sndri mkanya dy mutusin bwd ngebunuh ryuu, ah intinya yabu mkirin perasaan adeknya. Meskipun cranya salah gt.
Ah ngesai dah

7 Juli 2010 pukul 02.48  
Blogger lenny_da mengatakan...

"gw jg pgen bgd liat ryuu nusuk2 tangan'y pk pulpen trus darahnya ngocor gt"

dih najong, bener2 psycho banget lo hahaha,, gak tega gw ama ryuu disini, bener2 dah~

iyaa, itu *itu apa len?*
yabu-nya malah ngebalasnya kayak gitu yee~ xDD

bikin yang sadis2 lagi ya de gyahaha *ketagihan*

9 Juli 2010 pukul 09.55  
Blogger deya_daisuke mengatakan...

kannnnnnn????
lama-lama lu juga ketularan otak sadis gw kak...

kasian gw kak, badan lu kan kecil..
*dilempar*

maa...maaaaa.....
liat aja ntar bikin lagi apa gak...

14 Juli 2010 pukul 06.30  
Blogger minkyachan mengatakan...

DEYAAAAAAAAAA...
kynya gw bakalan nge-FANS ama ffc lo deh...
gw bacanya sambil hahh??
haaaaaaahh??
hahhhhh???

areeeeeee???

fantasy lo bikin cerita kompleks gini keren bgt dah!!
*tmben gw muji org kek gni*
*sok bgt dah gw*
hohoho..

apapula itu abang gw gila???

apa juga tuh ryuu mati???

dan gw ber-ARE" ria...
pas bagian hokuto bilang 'kaa-san???
apapula dy kaa-sannya ryu??

trus slma ini yabu ma ryuu t apaan?????
apaaaannn????

hayohhh jawaaaaaaabbb!!!!!

byr misteri ini terkuak!!

btw,yabu itu nama kluarga kan??
harusnya kouta kali y??

21 Juli 2010 pukul 02.56  
Blogger deya_daisuke mengatakan...

Ngeng
ngeng
ngeng
ngeng
ngeng...
Pertanyaan'y buanyak amat yak..

Oh oh makasi makasi mau jd fans saya *lempar2 kisu2 manis*
ampun dah, gw sok ngartis gni euy..

Gw emg gak ngejelasin detail, sengaja biar pd mikir yg bc
*dibante*
ryuu yabu mah emg anknya, cm hoku entah ank dr mana. Haha
jd yg ngebunuh dan bkin situasi dr ryuu make ama yabu mkir gt ya enyaknya. Haha
pinter ye enyaknya..
Haha

iya namanya yabu, tdnya mu gw ganti kota, tp gw geli manggil gt. Hehe

sankyuu bgd uda bc..

21 Juli 2010 pukul 18.19  
Blogger minkyachan mengatakan...

hehehe,,
gw kan penasaran deee..
jadi wajarlah jadinya panjang komennya...

ih,,si emaknya jahat amat dah,,
ngapain juga hokuto bisa jadi anaknya??
mungut dimana tuh??
ckckc,,emaknya pura" bijak gt y..
padahal keji!!

trs apa hbungannya hika ma yabu t??

kok yabu bisa tiba" gila?
dihasut biar ngbunuh hika?
kok yabu tw klo hika yg ngasi narkoba ke ryu??

haha,gw ngasi bnyak prtnyaan lagii..

puas gw...

kekekeke...

21 Juli 2010 pukul 19.59  
Blogger deya_daisuke mengatakan...

hokuto otu anak kandung enyaknya kok..
lah udah gak usa dibahas dia anak apaan..
kan udahan kelar ni fic...

hikka ama yabu temen lama..
baca lagi deh...
ada tuh kata2 hikka yang ketauan banget mereka dulu temenan

yah, yabu pokoknya tahu *tapi gak tau dari sapa*

hahhaaaa, gak menjelaskan ya gw?? hahahaa

25 Juli 2010 pukul 23.26  
Blogger minkyachan mengatakan...

yasudahlah juga..
gw udah puas dngan pnjlasannya...

dan udah ngerti..
fic lo bkin org bnyak tnya emang..
ck..

29 Juli 2010 pukul 04.11  

Posting Komentar

home