december post

Deeto, janai ka?

Kimi ga Ireba
0 comments gimme comment?

Title: Kimi ga Ireba
Author: Chika dechu~ :3
Genre: romance
Rating: G
Cast: /ehem/ Kento Nakajima dan Airi Suzuki :DD /throws confetti /kayaknya cuma gw doang yang demen ini pairing
Disclaimer: saya hanya memiliki plot cerita doang kok~ :3


Lulus. Graduate. Sotsugyou.

Demi wajahnya yang ganteng—tapi nggak laku-laku—Kento Nakajima belum mau lulus SMA. Ia masih ingin menikmati masa-masa sekolahnya bersama osana najimi-nya, Airi Suzuki. Waktu dua tahun ternyata tidak cukup memuaskannya.Padahal mereka yang notabene bertetangga, bahkan rumahnya bersebelaha, selalu bersama setiap hari—iyalah, makanya itu osana najimi. Airi bahkan sampai mengatakan kalau gadis itu bosan melihat wajah Kento setiap hari.

Tapi siapa yang peduli sih? Kento hanya ingin bisa bersama dengan gadis yang disayanginya. Tidak dosa kan? Ia masih ingin menjaga Airi agar tidak ada serangga-serangga yang tiba-tiba muncul dalam kehidupan gadis itu. Cowok mana sih yang tidak tertarik dengan cewek manis dan pintar seperti Airi? Selama dua tahun Airi bersekolah di SMA itu, tidak ada cowok yang mendekatinya lebih dari sekadar teman. Tahu kan alasannya? Mereka merasa segan dengan Kento yang selalu bersama dengan gadis itu. Baca baik-baik, se-la-lu.

Dan setelah ia lulus—silakan dibayangkan sendiri deh. Hal itulah yang dicemaskan cowok tinggi itu. Karena ia tahu, Airi hanya menganggapnya sebagai seorang kakak laki-laki yang sister complex. Dan Airi selalu ingin memiliki pacar seperti cowok-cowok keren yang muncul di shoujo manga. Nah kan, kecemasannya jadi bertambah.

Omong-omong,

saat ini ia sedang bengong di kelasnya. Memikirkan hal-hal persis seperti yang sudah dijabarkan, sembari menunggu dimulainya gladi resik upacara kelulusannya. Demi apa deh, upacara kelulusan sekolahnya itu bertepatan dengan ulang tahunnya. Jangan kira kalau upacara kelulusan itu sudah pasti tanggal sembilan Maret. Sesuka sekolahnya saja mau mengadakan pada tanggal berapa.

“—jima”

Eh? Ada yang memanggilnya ya?

“Nakajima!” Ia menoleh, memandangi orang yang memanggilnya—serta menyadarkannya dari alam bawah sadarnya dengan free puk puk—dengan tatapan kosong. “Adik kelas kesayanganmu tuh.” Orang itu—salah seorang teman sekelasnya—menunjuk pintu kelas. Di sana sudah berdiri Airi dengan wajah cemberut—

cemberut? Waduh, bencana nih.

Kento segera menghampiri Airi dan langsung kena semprot gadis itu. “Kau ini tidur dengan mata terbuka ya? Sedari tadi kupanggil tidak menyahut.” Tuh kan dia mengamuk.

“Siapa yang tidur sih?” Kento menghela napasnya. “Tadi itu aku sedang…” memikirkanmu bodoh! “…lupakan saja. Ada apa kau kemari?” Tidak mungkin Kento mengatakan hal itu secara terang-terangan ke orangnya langsung.

Airi sudah sempat membuka mulutnya, namun “…tidak jadi deh. Sudah lupa karena kelamaan.”

Kento mengernyitkan dahi. Ini pasti ada apa-apa deh. Apanya yang lupa? Kata-kata ‘deh’ tadi itu pasti maksudnya sengaja tidak ingin bilang.

“Besok yang rapih lho. Kan hari terakhir kau memakai seragam ini.” Kento tersenyum simpul. Ia tahu benar Airi menyukai segaram ini. Kento pun juga menyukainya, karena menurut Airi ia jadi terlihat sangat keren kalau memakai seragam itu terutama blazer biru dongkernya.

“Setiap hari juga aku rapih.” Kento mencibir.

Airi tertawa kecil melihat reaksi cowok di depannya itu. “Ya sudah deh. Aku kembali ke kelas ya. Sampai nanti malam!”

Kento menatap punggung temannya itu—iya, memang hanya teman, terus kenapa?—sampai menghilang di balik tembok ketika ada seseorang yang melompat dan merangkulnya. Terkejut dan ketika ia melihat siapa yang tengah berada disampingnya itu, ia melengos sebal mendapati cengiran lebar di wajah orang itu.

“Kalian serius hanya berteman?” Pertanyaan temannya, Fuma Kikuchi, makin membuat Kento sebal. Ia hanya bisa diam seribu bahasa membalasnya. “Eh, tapi memangnya nanti malam kalian mau ngapain?” Argh! Kami-sama, demi kegantengannya yang tiada tara ini kenapa ia harus punya teman secerewet—eh?
“Eh, tapi memangnya nanti malam kalian mau ngapain?”

“Eh, tapi memangnya nanti malam kalian mau ngapain?”

“Eh, tapi memangnya nanti malam kalian mau ngapain?”

“Malam apa?” tanya Kento dengan ekspresi bodoh.

“Lho? Tadi Airi-chan bilang sampai jumpa nanti malam kan?”

Kento bengong. Memang tadi Airi bilang apa? Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

“Nee, kalau kalian memang hanya berteman, Airi-chan buatku saja ya…” Nyengir. “Sempai~” Masih nyengir.

—hening.

Tidak usah heran kalau adegan selanjutnya adalah Kento Nakajima sedang memiting Fuma Kikuchi habis-habisan. “Tte iu ka, ngapain kau di area kelas tiga hah?! Balik sana ke kelasmu!” Fuma berlari kabur sambil tertawa keras. “Bwahaha Airi-chan matteee~”

Dasar serangga sial!

Kento terus memikirkan kata-kata ‘nanti malam’ yang diucapkan Fuma—Airi sih sebenarnya, tapi dia kan tidak dengar. Tapi bukan Kento Nakajima namanya kalau tidak mengerti. Setelah beberapa jam berlalu—bahkan Kento tidak konsen ketika gladi resik—akhirnya, diperhatikan baik-baik, akhirnya ia mengerti juga maksudnya. Besok itu kan hari ulang tahunnya. Sudah pasti Airi menyiapkan keisengan bodoh yang selalu dilakukannya tiap tahun. Bodohnya, kento selalu kena dijahili keisengan bodoh itu.

Malamnya, tepat sebelum pergantian hari, ia sudah mengecek ringtone keitai-nya. Iya, Airi selalu menyetel ringtone-nya dengan volume kencang dan tepat pada jam dua belas teng, entah telepon atau e-mail akan masuk ke keitai-nya dengan bunyi nyaring sehingga membangunkan seisi rumah. Kento pernah dimarahi habis-habisan oleh kakaknya karena hal itu (tebak siapa kakaknya wahhahaha).

Drrt. Drrt.

Nah kan, keitai-nya bunyi. Ada telepon masuk. Kento membaca nama penelepon di layar keitai, lalu tersenyum lebar. “Moshi-moshi.”

Hening.

“Moshi-moshi.” Ucap Kento sekali lagi ragu-ragu karena tidak ada suara di sana.

“Kok tidak terdengar sih?”

“Eh? Suaraku tidak terdengar?”

“Bukan. Ringtone-nya maksudku.”

Kento menjauhkan keitai-nya lalu tertawa dalam diam. “Maaf ya, ringtone-nya sudah kumatikan.” Tidak bisa menyembunyikan tawanya, akhirnya ia tertawa lepas di telepon. Ia membayangkan seperti apa wajah cemberut Airi.

Zurui.”

.
.
.
.

“Kalau begitu cepat kau ke bawah.”

Mengernyitkan dahinya, lagi-lagi Kento dibuat bingung. “Bawah mana?”

“Rumahmu lah! Aku duduk di piano nih.”

Kento melongo. Bagaimana cara gadis itu masuk rumahnya di tengah malam seperti ini? Sedangkan lawan bicaranya di telepon saat itu dengan santai memainkan tuts-tuts piano dengan jari-jari tangan kirinya selagi tangan kanannya memegang keitai-nya. “Tadi Kei-niichan membukakan pintunya lho.” Airi berkata seolah-olah ia baru saja membaca hati Kento.

Cowok itu terkejut, ia benar-benar menemukan gadis yang sangat disayanginya itu sedang duduk di depan piano. Dibiarkannya gorden terbuka sehingga cahaya rembulan dapat masuk ke ruangan. Cahaya rembulan yang menimpa kulit putihnya membuat Airi tampak begitu cantik. Kento terdiam., terpesona melihatnya.

“Hei, cepat kemari! Kau mau menyia-nyiakan kedatanganku ini?” Airi tampak tidak sabar. Tangan kecilnya melambai memanggil Kento. Meminta cowok itu untuk duduk disebelahnya.

Kento tersenyum simpul melihatnya. Oke, ini memang bukan sebuah keisengan seperti yang biasa dilakukannya—tidak pantas disebut jahil juga malah. Tapi cukup untuk membuatnya terkejut. Kento mendekat, lalu duduk bersamanya di depan piano. Airi memberikannya sebuah score lagu. “Mainkan.”

Kento terbelalak kaget. “Sekarang?” Benar-benar deh. Walaupun sudah lama mengenal Airi, Kento masih sulit untuk beradaptasi dengan pace gadis itu. Dan Airi memberikan ekspresi ‘oh, lo nanya?’ untuk pertanyaannya barusan. “Ini sudah laur malam Airi.” Kento berusaha menghilangkan ide konyol itu. “Kau sebaiknya pulang lalu tidur. Aku janji akan memainkan lagu ini di pagi hari nanti sebelum berangkat ke sekolah.”

“Se-ka-rang.” Kata-katanya penuh penekanan. “Aku tidak akan pulang sebelum kau memainkan score ini.”Airi membuang wajahnya dari pandangan Kento.

Shikatanai na. Kento melirik score tersebut, mencermati setiap nada yang tertulis di sana. Ditekannya tuts piano, dimainkannya melodi-melodi yang tergambar jelas di score itu. Lagu yang bagus, menurutnya. Dan tiba-tiba saja Airi bernyanyi.

kimi ga ireba arukidaseru yo
donna kanashii yoru mo
hoo tsutau namida afureru mama ni

kimi ga ireba tsuyoku nareru yo
kakushite kita omoi mo
kazaranai kotoba de hanaseru ki ga suru

doushite darou tsunagu yubi ga areba mune wa itsumo atatakai

kono yo ni umareta ureshisa wo
kono yo wo ikiru tsurasa wo
dare mo ga kanji nagara kotae sagashiteiru kedo
ashiato no tsuitenai michi wo
mada fumidasezu ni ite mo
bokutachi wa mirai ni mukai ippo zutsu aruiteiru

kimi ga ireba shinjirareru yo
akirame sae shinakereba
kibou ga itsudatte karenai koto wo

moshi omoigakenai koto ga okite mo kitto, kitto daijoubu

tashika na mono nante nai kedo
nukumori wa tashika ni aru
kimi wo omou kimochi de toki wo koete ikeru kara
mada katachi ni naranai negai
mada koe ni naranai ai
bokutachi wa mirai ni mukai hitotsu zutsu kanaete yuku

kono yo ni umareta ureshisa wo
kono yo wo ikiru tsurasa wo
dare mo ga kanji nagara kotae sagashiteiru kedo
ashiato no tsuitenai michi ni
ima hizashi ga furisosogu
bokutachi wa mirai ni mukai ippo zutsu aruite yuku

“Tanjoubi Omedetou!!” Airi mengeluarkan suaranya dengan lantang. Seakan-akan ia tidak sadar kalau saat itu adalah waktunya orang-orang untuk beristirahat. Apalagi ia berada di rumah tetangganya. “Soshite… Sotsugyou omedetou!!”

“Arigatou.” Tersenyum. Yang diberikan senyum pun membalasnya dengan hal yang sama. Well, tidak ada salahnya juga dibangunin tengah malam seperti ini—walau dalam kasusnya sekarang sih tidak benar-benar dibangunkan dari tidur.

“Bagus kan? Disimpan baik-baik ya score-nya. Hadiah ulang tahun dariku.”

Bahagia? Jelas Kento bahagia. Walau sebenarnya kado ulang tahun terindah baginya adalah dapat berada di samping gadis kecil itu seperti ini selamanya.



EPILOG


Kei, anak sulung dari keluarga Nakajima menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal begitu melihat dua eksistensi tertidur di dekat piano. Kepala mereka berada di atas tuts pianonya. Ini harus dibagaimanakan coba? Setelah beberapa lama berpikir, akhirnya ia menempeleng kepala adiknya—tadinya sih inginya mencorat-coret wajah mereka dulu baru menempeleng. Tapi berhubung dia itu pemuda baik hati, tidak sombong dan rajin menabung, diurungkannya niat baiknya itu. “Hoi bangun! Hari ini upacara kelulusan kan?”


arti lirik bisa dilihat disini

Label: , , , ,



0 Komentar:

Posting Komentar

home