december post

Deeto, janai ka?

Beutiful Sleeping Epilogue
0 comments gimme comment?

Tittle : Beautiful Sleeping

Author : deya

Genre : Angst

Rating : Pg15

Cast : Arioka Daiki and others

Disclaimer : Saya cuma memiliki cerita dan OC nya XD

***
Duh ini epilog panjang amat yak ==. Yang mau baca sini saya kasih peluk cium deh, abis panjang gak jelas banget~ XD

***

Epilogue

.:The Chronicles of Life and Death:.

Ia berdiri di sana. Dengan balutan busana serba hitam. Wajahnya tertunduk. Sesekali menghela napas perlahan. Semilir angin sore menyibakkan rambut coklatnya. Udara itu menembus pertahanannya, membuatnya sedikit merapatkan jaket hitamnya. Ia masih tertunduk. Menikmati suasana hening yang jarang sekali ia temukan dalam kehidupannya.

Ia. Seorang lelaki biasa. Hidup normal seperti manusia lainnya. Sejak sampai saat itu. Sampai saat itu otaknya hanya dipenuhi oleh seseorang. Gadis manis yang selalu memenuhi hari-harinya. Dan ketika ia tersadar, ia sudah semakin jauh melangkah. Tak bisa berbalik, dan tak bisa maju pula.

Pilihan hidupnya begitu konyol. Ditertawakan pun ia rela.

Kembali helaan nafas. Ia mendongak pelan. Menatap datar pada foto itu. Foto hitam putih dengan senyum pias dari empunya. Ia tersenyum kecut. Kembali menunduk.

Angin sore ini masih begitu kencang. Memainkan anak rambutnya dengan sempurna. Mungkin akibat angin yang terlalu kencang itu, matanya mulai perih. Terasa berat. Dan sepertinya mulai menggenang.

Buliran itu jatuh. Menetes pada sepatu converse yang ia kenakan.

Masih saja begitu lemah, Daiki?

Lelaki itu mendongak.

Menoleh ke kanan. Menoleh ke kiri. Menoleh ke belakang.

Nihil.

Aku sudah berkorban sejauh ini, dan kau masih saja begitu lemah?

Begitu rindunya dengan suara hangat itu kah?

Ia kembali menatap foto itu. Diam mematung tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Deru jantungnya sedikit berdetak lebih cepat. Perasaan itu masih ada. Masih ada. Selalu.

“Arioka-kun!”

Panggilan itu mengaburkan lamunannya. Menoleh sekilas pada gadis yang telah menyelamatkan hidupnya. Senyuman lembut ia keluarkan. Meskipun hatinya tak beraturan, ia hanya tak ingin terlihat begitu rapuh.

“Kenapa ke sini? Kembalilah ke rumah sakit” Gadis itu mendekat, “Lukamu masih sangat parah”

Ia tersenyum lagi, lalu kembali menatap ke arah depan. Memandang foto itu penuh penghayatan. Gadis itu berdiri di sampingnya. Selama 10 menit terus saja begitu. Sampai si lelaki menoleh padanya.

“Saa, ikou?”

Gadis itu mengangguk. Tersenyum.

Mereka berjalan beriringan. Hamparan pemandangan bukit menemani celotehan ringan dari sang gadis. Beribu batu nisan menyertai langkah mereka sampai keluar area pemakaman.

Dan lelaki itu tersenyum lagi.


Sampai saat ini, aku belum berterima kasih padamu. Daijoubu, meskipun aku tak tahu cara menebus semuanya. Sore de, terima kasih telah menjadi teman yang baik.

Nee, Hikaru… kikoeteru?


***

2 hari yang lalu, Hikaru dimakamkan.

Daiki tak punya wajah ketika berhadapan dengan kedua orang tuanya. Ia patut dibenci. Dan ia tak menyanggahnya. Ia merindukan sahabatnya. Jiwanya mati sekali lagi. Kedua orang itu, begitu berharga bagi dirinya. Dan kehilangan merupakan hal tabu bagi seorang Arioka Daiki.

Tapi ia belajar akan hal itu. Semua ini belum berakhir kan? Ia selalu merasa begitu. Akhir cerita hidupnya terlalu indah. Tapi, mungkin inilah takdirnya. Hidup dalam penyesalan seumur hidup.

“Arioka-kun…”

Daiki menoleh cepat. Mendapati Nanami berdiri di sana. Di sudut pintu kamarnya. Wajahnya terlihat marah.

“Kau kabur dari rumah sakit?” Nanami mendekat, menarik-narik kaos yang Daiki kenakan. Cowok itu tengah duduk pada pinggiran jendela. Wajahnya disinari oleh sinar matahari sore yang akan segera terbenam.

Daiki tersenyum lembut, “Begini lebih baik, Nanami”

Nanami cemberut. Dan hanya ditanggapi Daiki dengan cengiran.

Lama keduanya terdiam. Daiki sibuk memandang hamparan langit sore. Sedangkan Nanami terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri.

“Nee, Arioka-kun…” Nanami menunduk.

Daiki menoleh, “Hmm?”

Nanami memainkan jari-jarinya, “Gomen ne…”

“Untuk?”

Nanami mendongak lesu, “Untuk…” Terdiam sesaat, “Menusuk Hikaru-kun…”

Daiki merengkuh tubuh kecil itu. Membelai kepalanya lembut. Berusaha menghilangkan rasa bersalahnya yang berlebihan.

“Mou ii yo. Daijoubu” Daiki berucap pelan.

Nanami balas memeluk Daiki. Begitu erat.

Nanami mengendurkan pelukannya, tak perlu berjinjit dengan posisi Daiki yang duduk di jendela, dengan mudah ia merah bibir cowok itu. Menyesapnya perlahan. Memaksanya untuk masuk lebih jauh. Nanami memandu perlahan tapi pasti. Ia menggiring tubuh Daiki untuk bangkit dari duduknya. Dan entah bagaimana kronologisnya, keduanya sudah berada di atas ranjang milik Daiki. Dengan posisi Nanami terlentang, dan Daiki menahan gravitasi tubuhnya dengan kedua tangannya.

Kedua mata itu bertatapan lama. Sangat lama. Hanya diam. Hening.

“Nee…” Nanami membuka suara. Tatapan matanya tak lepas dari kedua mata Daiki.

Daiki hanya memiringkan wajahnya. Menunggu.

“Kau menyukaiku?”

Kedua manik bening Daiki bergerak. Sedikit terdiam. Kemudian mengangguk pelan.

“Walaupun aku telah membunuh temanmu?”

Daiki mengangguk lagi. Agak ragu. Bukan, bukan berarti ia menyalahkan Nanami. Hanya saja, mendengarnya sedikit membuat perasaannya tak nyaman.

“Menyukaiku…” Nanami menggantungkan kalimatnya, “Melebihi kau menyukai Ayami?”

DEG!

Daiki terdiam. Kedua bola matanya melebar. Tak menyangka nama itu akan di sebut oleh Nanami. Bagaimana harusnya ia menjawab? Yang jawabannya saja ia tak tahu.

“Yappari…” Nanami menghela napas, “Kau betul-betul menyukainya dan ak—“

Daiki menghentikan kalimat Nanami, menciumnya cepat sebelum gadis itu sempat berbicara lebih jauh. Melumat habis bibir mungil itu tanpa ampun. Sedikit melampiaskan emosi yang entah muncul dari mana.

Emosinya tak stabil jika mendengar nama itu. Semacam racun, yang tiap kau minum siap membunuhmu. Bisa secara perlahan sekaligus mematikan. Ia bosan. Bosan mendengar nama itu. Mengingat senyum itu. Mengenang kecupan itu. Ia bosan setengah mati. Tak ayal, ketika ia mengingat Ayami, maka wajah Hikarulah yang muncul. Diiringi oleh ketiga temannya yang lain. Yang telah menyebabakan Ayami meninggalkannya.

Kadang, ia merasa ini tidak adil. Mereka mati. Sedangkan dirinya? Hidup menanggung kepedihan yang tak berujung. Hukuman ini terlalu berat. Dan ia mulai rapuh karenanya.

Nanami mendorong wajah Daiki pelan, bukan penolakan. Hanya sekedar untuk mengambil napas. Ia merasa aura Daiki berubah ketika menyebut nama adiknya.

“Aishiteru, Arioka Daiki” Ucapnya lembut. “Teruslah hidup. Aku akan menemanimu. Onegai…”

Daiki masih terdiam. Tak berniat menjawab pertanyaan klise itu. Meskipun ia menyukai gadis ini, bukan berarti ia pantas untuk hidup.

Daiki kembali hendak mendekatkan bibirnya, dan tepat saat itu Nanami menahan wajah cowok itu.

“Nee, aku akan memberikan sesuatu untukmu…”

“…”

“…”

JLEB!

“A—“

JLEB! JLEB!!

“A—aa—“

Daiki ambruk menimpa tubuh Nanami. Wajahnya menyentuh leher sebelah kiri gadis itu. Punggungnya terasa panas. Panas bagai disengat api.

Tak ada gerakan apapun.

Daiki mendesah kesakitan. Keringatnya mengucur deras. Kedua matanya melebar. Nanami?

“Bagaimana rasanya, sayang?” Nanami berujar datar. Suaranya tak lagi manis seperti biasanya. Daiki mengerang pelan. Tubuhnya berat luar biasa. Bahkan untuk sekedar bangun saja ia tak sanggup.

Nanami menyentuh punggung Daiki. Tepat di luka yang ia tancapkan. Menarik pisau yang ia gunakan untuk menusuk Daiki dengan keras.

“Aarrrrggghhh….” Daiki kembali mengerang. Sensasi panas itu kembali menyerang area punggungnya.

Nanami mendorong tubuh Daiki sekuat tenaga. Hingga cowok pendek itu berguling ke sisi ranjang dengan posisi terlentang. Darah yang keluar dari punggungnya merembes ke seprai putihnya. Menimbulkan genangan warna merah segar. Tak sampai di situ, Nanami menduduki perut Daiki. Membuat cowok itu mengeluh kesakitan.

Ia menelusuri wajah Daiki dengan pisau yang telah berlumuran oleh darahnya sendiri. Membelai pipi cowok itu lembut. Sambil sesekali tersenyum sinis. Kedua bola mata Daiki tak lepas dari pisau itu. Mengerikan.

“Nee, begitu miripkah wajahku dengan adikmu?” Cengiran sinis, “Sou ka na~”

Daiki mengerling. Ini bodoh. Jika hanya karena Nanami membenci Ayami. Ini sungguh bodoh. Ia tak pernah menyangka, Nanami akan mengetahui masa lalunya. Beginikah? Hanya karena cemburu—

“Aku tak keberatan kau menyukai adikmu…” Senyuman lembut. Jemari tangan kirinya menelusuri bibir Daiki, mengusap bibir itu perlahan. “Aku datang hanya untuk—Shinichi”

Kedua manik Daiki makin melebar. Shi—Shinichi? Nama itu. Nama itu…

Nanami tersenyum lagi, “Coba kau pikir baik-baik, Arioka-kun”. Gadis itu menurunkan wajahnya. Mencium bibir Daiki lembut. Masuk ke dalam mulut cowok itu dengan mudah. Tak ada perlawanan di sana. Bibir itu kelu.

Kedua mata Daiki terpejam. Seharusnya ia menyadari lebih awal. Siapa Nanami. Untuk apa gadis itu mendekatinya. Dan—

Sejak awal penelpon itu selalu menyebut nama Shinichi. Dan Hikaru? Daiki merapatkan kedua matanya makin dalam. Hikaru… Hikaru… Tak ada hubungannya sama sekali dengan Shinichi.

Ciuman itu beralih menuju leher putih Daiki. Cowok itu mati rasa. Matanya terus terpejam. Memorinya lebih menyakitkan daripada luka di punggungnya. Lebih mengenaskan daripada perlakuan Nanami.

Seharusnya ia sadar, kenapa Nanami datang waktu itu? Kenapa Nanami membunuh Hikaru. Karena tujuan utama gadis ini adalah dirinya. Hanya dirinya.

Seharusnya juga ia menyadari, ada banyak orang yang berhubungan dengan Shinichi. Ada banyak orang yang tidak menerima kematian kakak tirinya itu. Seharusnya—

Nanami tersenyum sinis—lagi. Mendekatkan wajahnya tepat di depan wajah Daiki.

“Sudah ingat?” Bersamaan dengan pertanyaan itu, Nanami menusuk perut Daiki sebelah kanan. Tidak dalam, tapi cukup membuat Daiki kembali mengerang kesakitan.

“Kau… menusuknya seperti ini—“

Tusukan kedua di tempat yang sama.

“Arrrrrrgggggghhhh…….” Tubuh Daiki menggelinjang, wajahnya pucat. Keringat dingin mengucur dari pelipisnya.

Nanami menjauhkan wajahnya dari wajah pias Daiki, menduduki perut cowok itu meski celananya sudah terkena noda darah. Bau anyir tercium dari ruangan yang sempit itu, bau darah. Ia tak peduli, bahkan sampai saat ini marahnya belum juga reda, meskipun melihat Daiki sudah terkapar seperti itu. Itu tak seberapa—rasa sakit itu—dibanding dengan rasa sakitnya.

“Nee, katakan padaku…” Nanami memulai pembicaraan, nada sedingin mungkin yang ia keluarkan dari mulutnya, “Bagaimana… rasanya kehilangan?” senyuman pahit, “Menyakitkan bukan?”

Daiki memejamkan kedua matanya, mencoba melawan rasa sakit di tubuhnya. Di beberapa titik ia merasakan panas yang luar biasa, menjalar sampai ke otak. Pertanyaan itu kembali menusuk ulu hatinya, menembus ke jantung dan sudah berkali-kali membunuhnya—jiwanya.

Prahara itu merayap. Menjatuhkannya ke dalam jurang. Memaksanya untuk mati. Dan mau tak mau ia menurut, saat sang shinigami menunggunya di balik tirai jendela kamarnya. Sedikit-sedikit mengintip dalam kesunyian. Memegang parangnya yang tajam. Mungkin untuk menebas leher cowok itu.

Sarkastis.

Daiki menelan ludah—atau darah—kerongkongannya kering. Napasnya tercekat, keluar satu-satu. Pada dasarnya ia tak akan pernah sanggup menjawab pertanyaan Nanami. Setahu apapaun ia jawabannya. Ia kalah telak. Prajurit perangnya telah dipatahkan lawannya dengan sempurna.

Nanami merenggut kaos Daiki, mencengkeramnya dengan erat. “Indah bukan?” Cengiran sinis. Perlahan, kedua tangan itu melepas cengkeraman erat pada kaos, mengendur pelan. Dan digantikan dengan cekikan pada leher.

Cekikan pelan.

Daiki tidak melawan. Kedua matanya membulat. Indah. Terlihat bersinar.

“Beginilah rasanya menghadapi kematian, Arioka-kun”

Cekikan erat.

Kedua tangan Daiki mencengkeram seprai erat. Seakan mencoba mengambil udara yang mulai menolak masuk. Pandangannya mulai berkunang-kunang. Kuku-kukunya menggaruk permukaan kasur dengan kuat. Mungkin sebentar lagi akan patah. Tidak ada yang peduli sebenarnya.

“Aku hanya mempunyai satu orang, dan kau membunuhnya…” Cekikan itu makin erat, “Kau mempunyai banyak orang di sekelilingmu. Dan aku… merebutnya satu-satu…” Senyuman sinis, “Adil bukan?”

Mata bening itu terpejam erat, menelaah satu persatu setiap hal yang ia alami selama ini. Seperti rol film yang tanpa sengaja terputar di dalam otak, rol film yang mengantarnya pada kematian.

Bagaimana ia bertemu Nanami. Bagaimana senyum manis itu membawa petaka bagi kehidupannya sendiri. Bagaimana gadis itu meninggal. Bagaimana jiwanya hancur. Bagaimana ia membunuh Shinichi. Rumah sakit jiwa. Teman-temannya. Kematian Yabu, Takaki dan Inoo. Hikaru…. Nanami…

Dan betapa ia sebenarnya mendengar kata itu. Satu kata yang cukup membuatnya berpikir keras. Satu kata sebelum nyawa itu benar-benar menghilang. Andai ia bisa memutar waktu, bukan dirinyalah yang ingin ia selamatkan. Bukan dirinya yang mestinya hidup. Dari awal semua terasa janggal. Bagaimana bisa hidupnya berakhir bahagia seperti ini? Mana mungkin pembunuh seperti dirinya diberi kesempatan untuk memulai kembali? Dari awal, akhir kisah hidupnya memang ‘terlalu bahagia’.

Tapi semua itu tidak lagi berlaku. Toh pada akhirnya ini saatnya untuk mati. Seharusnya ia sadar lebih awal, beginilah nasibnya yang sebenarnya. Inilah yang harus ia tebus atas kematian Shinichi—orang yang sebenarnya tidak bersalah. Seharusnya—

Sang dewa kematian tidak lagi mengintip dari jendela. Tak lagi ia malu-malu untuk menampakkan wajahnya yang tampan. Tak lagi ia menyembunyikan parangnya yang tajam. Sang dewa kematian berdiri tepat di sebelah Daiki. Menanti dengan senyuman penuh kemenangan. Penantiannya selama ini akan terbayar. Satu nyawa.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.


Jemari itu bergerak.

“HIKARU?” Daiki bertanya keras, meskipun suaranya serak. “Kau masih hidup? Bertahanlah, Hikaru!” Daiki memegang pundak Hikaru, meskipun posisinya dengan Hikaru sama-sama tengkurap, Daiki berusaha untuk bangkit.

Mata itu tidak terbuka. Tapi bibirnya seperti ingin mengucapkan sesuatu.

“Hikaru, diamlah! Jangan bicara! Kau pasti selamat”

“La…”


“Apa?” Daiki mendekat. Menyeret lagi tubuhnya. Menempelkan kepalanya dengan kepala Hikaru.

“…L—“




“Hikaru?”

“……….La……ri…..”




[ No matter how hard they try
And no matter how loud they cry
They can’t buy their way into heaven ]


***

This is the end, isn’t it?

Wanita itu memandang diam. Semilir angin sore menyibakkan rambutnya yang panjang. Tubuhnya menghangat, padahal udara di sana begitu dingin. Tumpukkan salju putih memenuhi jejaknya yang kecil, membuat sepatu bootnya sedikit terbenam dalam tebalnya salju.

Lama. Ia memandang lama pada ukiran itu. Seonggok batu yang mengukir kenangan. Kenangan yang ia tinggalkan.

Ia membenci ini. Kenyataan dari perasaannya yang bertentangan dengan tujuannya. Kenyataan yang sedikit membuatnya tersenyum kecut. Apakah ia bahagia pada akhirnya? Tentu saja hanya ia yang mengetahuinya.

Tangan mungil itu menyentuh jemarinya yang agak besar. Wanita itu menoleh, tersenyum selembut mungkin. Berjongkok dan merapatkan jaket yang anak itu kenakan.

“Kaa-chan...” Anak itu menunjuk batu yang sedari tadi ia pandangi, “Dare?”

Wanita itu membelai pelan pipi anak itu. Kembali tersenyum lembut tanpa berniat menjawab pertanyaan bodoh itu.

“Hisashiburi….” Suara bariton terdengar mendekat, “Nanami-Chan…”

Wanita itu—ah Nanami—menoleh. Berdiri dengan sikap angkuh. Menenggelamkan ekspresi kagetnya. Ia hanya menoleh datar. Sial!

“Chinen?”

Chinen yuri, mendekat. Tersenyum ramah. Matanya menangkap sesosok anak kecil, laki-laki. Kembali, ia tersenyum penuh arti.

“Genki desu ka?” Chinen bertanya ramah pada Nanami. Lalu ia berjongkok, sejajar dengan anak laki-laki itu. Membelai rambutnya penuh sayang. “Siapa namamu?”

Anak itu sedikit bingung, namun ia membuka mulutnya. “Daichi desu. Hasegawa Daichi desu”

Chinen tersenyum lembut, “Dai-Chan? Kau lucu sekali. Seperti….ayahmu…” Kalimat terakhir itu ia ucapkan sambil melihat Nanami dengan ekspresi ringan.

“Maaf, aku harus pergi. Daichi, ayo pergi!” Nanami menarik sebelah tangan Daichi—anaknya.

“Nanami-Chan…padahal sudah empat tahun kita tidak bertemu…”

Nanami menghentikan langkahnya, berbalik dengan wajah tidak ramah. “Jangan mengangguku! Pergilah!”

Chinen tersenyum. Memasukkan kedua tangannya pada saku coat merah yang ia kenakan. Berjalan mendekati Nanami sekali lagi. Ia menarik Daichi ke sebelahnya. Merapatkan penutup telinganya agar tidak kedinginan. Atau, untuk mencegahnya mendengar sesuatu? Tak sampai di situ, Chinen membenamkan wajah Daichi dalam tubuhnya. Ia tak ingin anak itu melihat wajah ibunya.

Nanami berusaha tenang. Meskipun ia sangat tahu, apa yang akan Chinen lakukan. Tentu saja ia tahu.

Chinen mengeluarkan sebuah pistol. Mengacungkannya tepat di kepala Nanami. Tersenyum dengan ekspresi luar biasa senang.

“Akhirnya aku menemukanmu, ya?” Chinen memiringkan wajahnya, “Terima kasih…untuk membunuh Daiki. Biarkan aku memberikan hadiah istimewa untukmu…”

DOR!

Cukup satu tembakan. Dan tubuh itu sudah terkapar bersimbah darah. Salju yang berwarna putih berubah menjadi merah. Indah.

Chinen menggandeng Daichi, menuntun anak itu untuk berjalan. Anak itu hanya diam melihat ibunya yang tergeletak tak berdaya. Mungkin akalnya belum bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Perlahan, mereka menjauh dari area pemakaman itu.

“Nee, Dai-Chan… Ibumu… alat yang bagus ya?” Senyuman manis, “Tapi sungguh bodoh sampai bisa melahirkanmu” Ia menatap Daichi lembut. Daichi hanya diam. Ia tak mengerti pertanyaan paman yang menggandenganya ini. Tapi entah kenapa, ia merasa sedikit takut.

“Nah, kau mau mati….dengan cara seperti apa?”

THE END.

[ No matter how hard they try
And no matter how high they climb up the ladder
They won’t reach up into heaven ]


***

Errrrr….no komen lah saya. ini udah selesai nih.
Makasih loh yang selama ini baca *pelukin satu-satu* :DDD

Credit: In This World (Murder) – Good Charlotte

Label: , , ,



0 Komentar:

Posting Komentar

home