december post

Deeto, janai ka?

Beautiful sleeping chapter 09
1 comments gimme comment?

Tittle : Beautiful Sleeping

Author : deya

Genre : Angst

Rating : Pg15

Cast : Arioka Daiki and others

Disclaimer : Saya cuma memiliki cerita dan OC nya XD

‘Paragraph Italic’ for flashback

***
Chapter 09

.:friend or foe?:.

[…In this world all of our sins are simple
We choose death over innocent life…]

Bangunan tua itu menyimpan pasokan udara yang tipis, terbukti dengan beratnya Daiki mengambil napas. Ah, mungkin hanya alasan saja mangatakan hal seperti itu. Hanya sebuah kamuflase untuk menutupi perasaannya yang kelam. Deritan sepatu karetnya yang beradu dengan lantai menimbulkan suara yang tak nyaman untuk didengar. Mencekam.

Secara naluriah Daiki menelusuri ruangan itu tanpa arah. Ia hanya berjalan. Toh jika ada jebakan atau apapun itu, ia tak akan peduli. Dan lagi, tidak mungkin orang itu akan membiarkannya mati—semudah itu—kan?

Dan berdirilah ia di sana. Ruangan yang lumayan besar. Tidak sebesar ruangan ketika ia pertama kali masuk. Manik hitamnya menyapu ruangan itu, bau anyir menusuk hidung mancungnya. Reflek, Daiki kembali berjalan. Dan ketika kakinya menginjak genangan—darah, ia berhenti.

Syaraf otaknya terpaksa menyimpulkan berbagai pengandaian yang membuat kepalanya berdenyut sakit. Bukan milik—

…Inoo kan?

Tanpa ia sadari, jemari tangannya bergetar. Ada perasaan aneh yang berkecamuk dalam dadanya. Pikiran-pikiran buruk membuatnya nyaris tak sadarkan diri. Bahkan ia sedikit linglung.

Sampai ia tak begitu fokus mendengar suara langkah kaki dari luar ruangan.

“Selamat datang, Arioka Daiki!”

Daiki menoleh cepat. Memutar badannya 180 derajat tanpa jeda. Melihat siapakah yang baru saja menyapanya.

Matanya membulat. Melihat sahabatnya—Hikaru—berdiri di sana. Dengan senyum mengembang di bibirnya. Tangan kirinya menyeret tubuh—

Tunggu! Daiki membatin dalam hati. Tubuh Inoo? Daiki menyipitkan kedua matanya. Berusaha melihat dengan jelas tubuh itu. Sama sekali tidak bergerak.

“Apa yang—“ Sampai di kata itu Daiki berhenti bertanya. Seharusnya ia tak perlu bertanya. Seharusnya otaknya lebih pintar sedikit untuk diajak berpikir. Seharusnya—

Daiki mundur selangkah. Tidak mungkin…

Hikaru di tempat ini. Menyeret mayat Inoo. Jadi benar yang diinjaknya tadi adalah darah Inoo?

Daiki menatap nanar.

Hikaru tersenyum. Kenapa tersenyum? Bukankah harusnya ia menangis karena menemukan Inoo sudah tak bergerak begitu?

Tunggu! Bercanda kan? Ini hanya bercanda kan? Hikaru?

Daiki menggeleng frustasi. Bukan begini harusnya. Bukan dengan Hikaru seharusnya ia mengantarkan nyawa. Bukan dengan Hikaru! Kenapa? Kenapa Hikaru? Kenapa ia membunuh teman-temannya sendiri? Berpikirlah Arioka Daiki! Pintarlah sedikit! Coba pikirkan kenapa harus Hikaru?!

“Sudah mengerti, Daiki?” Nada suara mengejek itu menembus gendang telinga Daiki. Mau tak mau cowok pendek itu mendongak.

Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Daiki. Cowok itu hanya memberikan pandangan tak percayanya. Kasat mata, keringatnya menetes dari pelipis.

“Ba… Bagaimana mungkin…”. Sahut Daiki lirih. Kenyataan ini sungguh membuat sebagian besar kinerja otaknya lumpuh. Syaraf-syaraf otaknya seakan menolak untuk diajak berpikir dengan jernih.

Ini gila! Bahkan sudah sejauh ini tapi Daiki tak menyadarinya. Terlalu terlambat—tiga temannya sudah mati, tak ada yang perlu diselamatkan, bukan? Tidak juga dengan nyawanya sendiri.

Hikaru melempar mayat Inoo tepat di hadapan Daiki. Cowok pendek itu reflek mundur selangkah. Matanya menoleh untuk melihat keadaan Inoo. Tapi hatinya berkata sebaliknya.

“Lihatlah! Untuk yang terakhir kalinya!”. Hikaru berkata datar.

Mata bening Daiiki melihat Hikaru sekilas, lalu kembali menatap mayat—Inoo. Saat itu juga gemuruh di dadanya berderu tanpa ampun. Pacuan jantungnya terpompa makin cepat, membuat paru-parunya ikut bergerak naik turun tidak teratur.

Daiki berlutut di depan mayat inoo, melihat wajah babak belur itu dengan setengah hati. Matanya tak berkedip sedikitpun, hanya menatap lekat tiap inchi mayat sahabatnya. Berusaha mengingat tiap sudut wajah itu, mengingat sampai detik terakhirnya.

Daiki menggapai pipi tirus itu. Mengusapnya perlahan. Pandangan matanya mulai kabur, tertutupi oleh genangan air. Bibirnya bergetar, seiring dengan jemarinya yang ikut bergetar ketika mengusap wajah Inoo. Baru sebentar ia meninggalkan sahabatnya itu. Baru sebentar dan keadaanya sudah separah ini.

Air mata itu jatuh tepat di pipi kiri sahabatnya. Daiki merengkuh tubuh Inoo, terisak pelan. Dan makin lama isakan itu makin kencang. Berubah menjadi teriakan. Pedih, hanya itu yang ia rasakan sekarang.

Hikaru mendekat, menyunggingkan senyum sinisnya. Ia menggapai rambut Daiki dan menariknya. Membuat Daiki terpaksa terdongak sambil merintih. Tubuh Inoo terlepas begitu saja dari dekapannya.

“Mau kau tangisi sampai kapanpun dia tidak akan bangun lagi, bodoh!”

Hikaru menghempaskan kepala Daiki begitu saja. Membuat Daiki terhuyung pelan menjauhi mayat Inoo. Pipi kirinya bergesekan dengan lantai, berdebu dan sedikit lecet ketika ia berusaha untuk bangun. Ditatapnya Hikaru, entah tatapan apa yang ia layangkan. Hanya sebuah perasaan bimbang yang ia harap sampai ke dalam pikiran sahabatnya. Kali kedua ia mendapat kejutan hari ini. Dan sepertinya kejutan lainnya sudah menanti.

“Hikaru—“

Cowok yang lebih tinggi dari Daiki itu menoleh cepat. Tatapan elangnya menghunus seperti pedang, sangat siap menghujam jantung lemah milik Daiki. Sedetik kemudian ia mendesis sinis, menatap Daiki dengan jenaka.

Langkah itu mendekati Daiki tanpa emosi, ringan. Jika keadaan tak seperti ini, mungkin Daiki dapat menebak kalau Hikaru akan merangkulnya seperti biasa. Tapi kali ini tidak. Tentu saja tidak.

Hikaru merengkuh kerah baju Daiki, sedikit membuat tubuh itu terangkat. Mencengkeram dengan erat, sampai tak sengaja mencekik leher putih itu.

Daiki meronta tanpa suara, berusaha melepas cengkeraman Hikaru dengan kedua tangannya. Namun, entah kenapa tenaganya tak keluar sedikitpun. Hikaru melayangkan tinjunya tepat di pipi Daiki. Sangat keras, sampai membuat cowok itu terlempar kembali ke lantai. Belum sempat ia bangun, Hikaru bergegas menghampiri Daiki. Melayangkan tinjuan bertubi-tubi. Seakan menganggap Daiki bukan manusia. Terus meninju sampai emosinya sedikit demi sedikit berkurang. Hikaru duduk di atas perut Daiki, masih mencengkeram kerah baju cowok pendek itu dengan erat. Giginya bergemeretuk pelan, masih mencoba menahan amarah. Tatapannya tajam.

“Jangan pura-pura bodoh!” Cengkeraman itu makin erat, “BRENGSEK!!!” kembali tinjuan keras. Darah segar terus mengalir dari bibir Daiki. Tak ayal pelipisnya juga mengeluarkan darah. Ia sama sekali tak berniat melawan. Melawan pun hanya membuang waktu. Ia mati lebih cepat, itu lebih baik.

“Lawan aku bodoh! Jangan mati terlalu cepat!” Hikaru berkata geram. Sebal melihat tingkah ‘mundur selangkah’ yang Daiki ambil.

Sampai detik itu, Hikaru berhenti memukul. Napasnya naik turun tak teratur. Keringatnya mengucur deras. Luapan emosinya menimbulkan luka-luka pada wajah ‘sahabatnya’. Meski ia belum puas, tetap saja ia memilih untuk berhenti sejenak.

Dalam keadaan yang serba dipaksakan, Daiki membuka matanya. Mendapati nyawanya masih duduk manis di dalam tubuhnya. Ia kembali memejamkan kedua matanya erat. Menahan segala rasa sakit akibat pukulan Hikaru.

“Ke—kenapa? Hah…hah…” Daiki kehabisan napas. “Kenapa? Kenapa kau—“

“Kau tanya kenapa?” Hikaru memotong pertanyaan Daiki tajam. “Kau memang bodoh Daiki! Kau bodoh!” Hikaru kembali meninju wajah Daiki. Amarahnya kembali meluap saat mendengar pertanyaan bodoh itu.

“Kau—“ Hikaru menelan ludah pahit. “Kau tidak tau apa-apa. Kau—brengsek!”.

“Hikaru?” Daiki berucap pelan, setengah sadar ia memegang sebelah tangan Hikaru dengan sisa tenaganya.

Hikaru mendekatkan wajahnya, tepat beberapa senti tepat di hadapan wajah Daiki. Matanya menatap lurus ke arah mata bening itu.

“Kau yang membunuh Ayami—kan?”

Segelintir kalimat itu membuat tubuh Daiki mengejang. Mata bulatnya merekah. Membuat jutaan sel di dalam otaknya terpaksa membuka memori yang selama ini ingin ia kubur dalam-dalam. Jelas itu mustahil, Hikaru memaksa masuk ke dalam. Makin dalam dan membuat relung hatinya meneriakkan kalimat penolakan.

Daiki hanyut dalam memorinya sendiri. Aku—membunuh Ayami?

Hikaru tersenyum sinis. Membuka jalan masuk lebih lebar.

[…In the darkness you will find
Dirty little secrets we all hide…]

Daiki berdiri di depan rumahnya sendiri dengan wajah kesal. Ia melirik jam tangan hitam yang tergantung manis di tangan kirinya. Sudah malam. Dan ia masih saja gusar mendapati Ayami—adiknya—belum juga pulang. Bahkan ia malas sekali berada di dalam rumah hanya untuk sekedar duduk menunggu. Selain ia sangat khawatir, ia juga muak melihat dua bersaudara yang sekarang—terpaksa—menjadi saudara tirinya itu. Ia muka dengan kehidupannya yang rumit seperti sekarang. Dan ditambah dengan adiknya yang tak kunjung pulang.

“Dai-nii?”

Daiki mendongak cepat. Melihat Ayami—dengan wajah bingungnya—berdiri tepat di hadapannya. Daiki mendekati Ayami. Merengut melihat adiknya yang polos itu.

“Kau kemana saja sih? Kau tau sekarang jam berapa?” Daiki sedikit menahan emosinya, meskipun Ayami tetap tahu kalau kakaknya tengah marah.

Ayami mengatupkan kedua telapak tangannya, “Gomen. Tak akan kuulangi”

Daiki melirik sinis, “Kau pergi dengan siapa sih?”

Ayami sedikit tersentak mendapat pertanyaan dari Daiki, ia sedikit gelagapan. Bingung mau menjawab bagaimana. Mau berbohong juga tidak mungkin.

Daiki menarik tangan kanan Ayami, ”Dengan siapa kau pergi, Ayami?” Sedikit nada menekan di sana.

“De—dengan Hikaru…” Sebelum Daiki membuka mulutnya, buru-buru Ayami mendahului, “Hanya membeli kado untuk Ibunya. Setelah itu cuma ngobrol di cafe”.

Daiki tersenyum kecil, “Daijoubu. Aku pikir kau pergi dengan siapa. Aku khawatir tahu!”. Sedetik kemudian tubuh ramping itu sudah berada di dalam dekapannya. Daiki memeluk erat, seakan takut kehilangan. Meski ia tak tahu kenapa ia merasa seperti itu.

Hikaru tersenyum sinis. Ingatan itu sedikit membuat hatinya perih.

“Kau ingat? Apa perlu kupecahkan dulu otakmu supaya kau mengingatnya, Daiki?”

Daiki masih tercenung di sana. Terpaut dengan memorinya bersama Ayami. Tanpa berniat sedikitpun mendengarkan Hikaru.

BUG! Kembali pukulan telah mengenai ulu hati cowok pendek itu.

“Jawab pertanyaanku, bodoh!”

Hikaru kembali menarik baju Daiki, mengangkat lemah tubuh itu dan melayangkan tinjuan tanpa henti. Dihempaskan tubuh Daiki sampai membentur dinding, ditekannya leher Daiki sampai cowok itu sedikit kesulitan bernapas.

“Kau ingat apa yang kau lakukan setelah itu,hah? KAU INGAT?”

Daiki diam. Masih tak berniat menjawab pertanyaan Hikaru. Tak menyangka temannya itu mengetahui sampai sedalam itu. Ia memang bodoh. Sudah sepantasnya Hikaru membunuhnya.

“KAU MENCIUMNYA BRENGSEK!!!!” Kalimat kasar itu Hikaru lontarkan diiringi dengan tinjuan keras telak di pipi Daiki. “KAU MEMANG BRENGSEK! DIA ADIKMU SENDIRI DAN KAU—KAU—“

Hikaru menghentakkan tubuh Daiki keras, emosinya meluap-luap tanpa bisa ia cegah. Sebongkah amarah yang disimpannya selama 5 tahun akhirnya siap untuk dimuntahkan. Dan hari ini hari yang tepat untuk melakukannya.

“Lelaki macam apa kau, hah? Menyukai adikmu sendiri? Dimana otakmu?”

Frustasi. Hikaru meninju tembok tepat di samping wajah Daiki. Marah, pedih dan kehilangan. Bercampur menjadi satu. Dan membuat kinerja otaknya tak beraturan. Keinginannya untuk membunuh dan mati sama besarnya.

“Hikaru? Kau—“ Daiki menelan ludahnya. Ah, mungkin bukan ludah, tapi darahnya sendiri. “K—kau menyukainya?” Sedikit terbata.

Hikaru menoleh cepat. Wajahnya seakan berbicara ‘aku menyukainya dari dulu, bodoh!’. Dan Daiki hanya merosot lemas mendapati kenyataan rumit itu. Untuk alasan itukah ia membunuh Yabu, Takaki, dan Inoo? Untuk alasan itukah?

Prahara itu kembali datang. Menuntut balas akan apa yang ia perbuat. Mundur beberapa langkah pun percuma. Ia hanya bisa diam di tempat. Menunggu takdirnya. Hanya menunggu. Karena sejak dulu sang dewa kematian pun telah mengincar nyawanya. Dan pada hari ini, semua itu akan berakhir. Hidupnya akan meredup seiring dengan hilangnya sinar matahari—digantikan bulan. Tapi sayang sekali, tak ada bulan untuk seorang Arioka Daiki.

“Kau yang membunuhnya!” Hikaru berkata sarkastis. Ia berjongkok di hadapan tubuh lemah itu. Menikmati penderitaan Daiki menjelang ajalnya. Sungguh menyenangkan. Atau?

[…I knew it all along
You're so predictable
I knew something would go wrong…]

Ayami menggeleng lemah. Wajahnya tertunduk lesu. Ia sama sekali tak berani menatap orang yang ada di hadapannya—Hikaru.

Hikaru mematung di tempat. Ia tak mungkin salah. Jelas-jelas mereka berdua saling menyukai. Tapi kenapa—

“Ayami, kenapa? Bukannya kau juga menyukaiku?”

Ayami mengangguk pelan. Ia masih saja menunduk. Berbagai alasan menyebabkan ia hanya diam. Tidak tahu harus bersikap seperti apa.

Hikaru memegang kedua pundak Ayami. Kemudian ia membelai kedua pipi gadis manis itu, mencoba melihat wajah itu secara langsung. Ia tercenung sesaat. Ada buliran di sana. Tanpa isak, hanya aliran—deras pun tidak.

“Nee, doushitano? Kenapa?”

Ayami menggeleng lagi. Ada sesuatu yang baiknya tak diketahui oleh Hikaru. Begitu pikirnya. Ia menatap Hikaru lembut. Memberikan senyum hangatnya—seperti biasa.

“Aku tak bisa dengan Hikaru-kun. Gomen ne”

Hikaru menggeleng pias. Ini tidak adil. Mereka saling menyukai tapi tak bisa bersama. Ini sungguh tidak adil. Entah kenapa detik itu juga ia membenci ‘orang itu’. Ya, sahabatnya sendiri.

“Karena Daiki? Begitu?”

Ayami menatap nanar. Memandang Hikaru dengan wajah cemas. Dan tiba-tiba saja pandangannya parlahan-lahan mengabur, digantikan oleh genangan air yang—jelas—ia tahan untuk turun.

Hikaru melengos kesal, “Jadi benar? Apa yang aku lihat itu benar?” Hikaru menyibakkan poninya kasar. Setengah mati ia menyangkal kenyataan itu. Tapi apa sekarang? Percuma ia menyangkal, jika akhirnya Ayami tidak memilihnya. Oh sial! Hikaru membatin. Bahkan Daiki adalah kakaknya sendiri.

“Gomen ne, Hikaru-kun. Aku—“

Hikaru tak membiarkan Ayami menyelesaikan kalimatnya. Ia langsung memeluk tubuh mungil itu. Akan terlalu sakit jika mendengarnya langsung dari mulut orang yang ia sayangi. Akan terlalu sakit jika Ayami jujur padanya.

Hikaru mengeratkan dekapannya. Seakan esok hari mereka tak bisa lagi seperti ini. Di balik tubuh Ayami, Hikaru meringis pelan. Memang tidak ada hari esok untuk mereka. Sejak awal memang tidak ada.
[…I've been waiting, I've been searching, I've been hoping
I've been dreaming you would come back
But I know the ending of this story
You're never coming back…]

“Kau kejam, Daiki! Kau kejam!” Lirih. Suara hikaru terdengar pilu. “KAU YANG MEMBUNUHNYA! KAU MEMBUNUH AYAMI!” Seketika suara pilu itu kembali berubah menjadi raungan. Hikaru kembali kalap. Ia terus menarik kerah baju Daiki sampai cowok pendek itu lagi-lagi tercekik.

Daiki berusaha melepas kedua tangan Hikaru yang makin mencekiknya. Susah payah, dan berakhir dengan semakin eratnya cengkeraman Hikaru.

“Hik—ak—aku—“

“DIAM KAU BANGSAT! Seharusnya kau dulu mati saja! Kenapa kau selamat hah? Mati saja kau!”

Benar. Daiki berhenti memberontak. Seharusnya ia mati saja. Seharusnya ia tak berhak untuk hidup. Semenjak kematian Ayami. Semenjak ia—membunuh orang itu. Tentu saja ia sama sekali tak berhak untuk tersenyum menatap langit sedangkan dosanya begitu banyak. Dosa masa lalunya yang menuntut balas, bukan hanya nyawanya, tapi teman-temannya juga. Kenapa harus mereka?

Merasa tidak ada perlawanan, Hikaru mengendurkan cengekeramannya. Menatap jalang pada eksistensi di hadapannya dengan penuh amarah.

“Kau benar…” Daiki berujar, serak. “Aku harusnya mati. Aku sama sekali tak berhak untuk hidup” Mata beningnya menantang kedua mata coklat Hikaru. “Bunuh saja” Ucapnya pelan.

Hikaru menarik rambut Daiki dengan kencang, “Kau kira membunuhmu itu cukup? Kau pikir nyawamu begitu berharga, Arioka Daiki?” Tarikan itu makin kencang, membuat Daiki lagi-lagi merintih. “Nyawamu seperti angin. Dan aku tak membutuhkannya”.

Hikaru menghempaskan kepala Daiki begitu saja, tidak peduli dengan benturan kepala yang beradu dengan lantai penuh debu itu. Ia mengambil sesuatu dari kantong celananya. Bukan lagi pisau murahan yang ia pakai untuk menyiksa Inoo. Bukan. Bukan benda berkilau itu. Tapi—sebuah pistol.

“Kau akan menyukai sensasi ini, Daiki”

Daiki membuka matanya, melihat senyuman sinis Hikaru. Dan benda itu mengacung tepat 30 senti di hadapannya. Benda yang dapat membuatmu langsung terbang ke surga. Daiki tersenyum miris dalam hati, tentu saja ia bukan ke surga. Tempatnya di neraka. Itu pasti, bukan?

Hikaru memiringkan wajahnya sedikit, untuk melihat ekspresi kematian Daiki. Ia kembali tersenyum sinis, “Mari kujelaskan kenapa aku membunuh ketiga teman baikmu, Arioka Daiki”

Daiki kembali mendongak, kali ini ekspresinya serius. Ia belum boleh mati, sampai ia mengetahui sebenarnya apa yang Hikaru pikirkan dengan membunuh teman-temannya sendiri.

Hikaru menarik benda itu menjauh dari Daiki, menyimpannya sementara sampai ia menjelaskan hal yang sebenarnya. Hikaru berjalan mendekat, lagi-lagi berjongkok di hadapan Daiki—tersenyum sinis.

“Nee, kau ingat siapa yang telah menghancurkan hidup adikmu?” Masih senyuman sinis.

Daiki menatap sahabatnya linglung. Tentu saja ia mengingatnya. Tiga orang teman Shinichi yang telah ia pukuli habis-habisan dulu. Yang menyebabkan dirinya pertama kali mendapat gelar kriminal. Mana mungkin ia bisa melupakan tiga orang itu?

“Sepertinya kau ingat ya?” Senyuman—dingin. “Mungkin kenyataan yang akan kau dengar akan lebih pahit” Jeda sebentar, “Nee, Daiki… Kau tahu? Ketiga sahabat malaikatmu itulah yang telah memperkosa Ayami”

Mata itu menatap nanar.

***

Ternyata masiiiiiiiih aja TBC… *senyum polos*

Credit songs : In this word (murder), Secret, and Predictable. All by Good Charlotte

Label: , , , ,



1 Komentar:

Blogger minkyachan mengatakan...

ahhh, 3 teman malaikat...
kok adiknya dimain2nin gitu ya??
RIP for ayami nee *cakupin tangan berdoa* selesai..

pas hika nodongin pistol jadi inget adegan di ONi~
keren dee...lirik lagunya..hmm good charlotte ya..

*komen ga mutu end*

14 Juni 2011 pukul 04.10  

Posting Komentar

home