december post

Deeto, janai ka?

Ordinary
5 comments gimme comment?

Tittle :Ordinary

Author : deya

Genre : romance maksa

Rating : pg13 *keknya ada yg ngerep lebih tu~ XDD*

Cast : Yabu Kouta and OC

Disclaimer : mereka bukan punya saya. Cuma punya OC sama plotnya.

Aaaaaa~ ini sekuel Ai nante. Yeah, yg belum baca monggo buka index. Yg gak mau baca monggo di klik icon close nya XDD. Gw juga gak bakalan nyeritain detil2 soalnya yg dulu udah kan yah? *bilang aja males* XDD.

***

“Wakare yo!”.(Let’s break up!) Yabu berkata cepat. Pandangannya lurus, sama sekali tak menoleh ke arah gadisnya yang tengah mematung mendengar ucapan Yabu barusan.

“Kou—“

“Mou ii yo!” Yabu memotong, “Kau juga berpikiran sama kan?” Kali ini mata coklat itu memandang kekasihnya. Sayu.

Minami Ruka, memandang Yabu sebal. Setengah mati ia menahan air matanya, setengah mati pula ia menahan amarah. Apa-apaan sih cowok ini?! Batinnya sebal.

“BAKA!” Ruka mundur selangkah. Menanti respon kekasihnya. Hatinya meringis saat dilihatnya Yabu sama sekali tak berniat untuk menatapnya sedikitpun.

“Terserah!”. Ruka mundur beberapa langkah lagi, sampai ia memutuskan untuk berlari meninggalkan Yabu.

***

Yabu Kouta dan Minami Ruka sudah menjalin hubungan sekitar satu tahun. Keduanya adalah teman dekat sejak kecil. Entah bermula dari siapa dan bagaimana kejadiannya, tiba-tiba saja mereka berpisah. Padahal mereka dikenal sebagai pasangan yang serasi. Apalagi sekarang sudah tahun terakhir mereka menginjak sekolah menengah. Sangat sayang rasanya melihat mereka berdua berpisah.

Ruka berdecak kesal. Sudah seminggu sejak ia berpisah dengan Yabu. Semenjak itu pula sekalipun mereka tak pernah mengobrol. Yabu selalu membuang muka ketika bertemu. Begitu pula dengan dirinya. Bahkan tak jarang mereka suka menyindir satu sama lain. Hanya karena hal-hal sepele tentunya.

Ruka menghela napas berat melewati koridor sekolah. Masih sangat pagi untuk memikirkan alasan mengapa hubungannya dan Yabu hancur. Hari itu, dimana Yabu akan mengikuti pertandingan sepak bola. Dan di hari itu juga Ruka mengalami kecelakaan ringan. Atau mari jangan disebut sebagai kecelakaan, hanya kecerobohan saja. Kecerobohan bodoh seorang Minami Ruka karena terpeleset kulit pisang di jalan. Menyebabkan kaki kirinya terkilir. Rupanya kabar yang diterima Yabu terlalu berlebihan sehingga cowok itu langsung meninggalkan lapangan untuk menyusul kekasihnya. Bukan hanya itu saja, karena tindakannya itu, tim sepak bola di sekolahnya gagal masuk babak final. Dan entah kenapa Yabu merasa sangat frustasi dengan keadaan itu.

Lagi-lagi Ruka menghela napas, malang sekali nasibnya. Sudah kaki terkilir, diputuskan secara sepihak pula. Menyebalkan!

BUG!

Tubuh Ruka sedikit terpelanting mundur saat kepalanya menghantam sesuatu. Ia mendongak dan mendapati Yabu tengah berdiri tepat di pintu kelas. Menghalangi Ruka untuk masuk.

Yabu menoleh, “Minami-san…” Ucapnya datar. Dan entah sejak kapan, tidak ada lagi panggilan manis seperti dulu lagi. Tapi panggilan ‘Minami-san’ hanya Yabu ucapkan ketika ia sedang kesal saja. Meledek tepatnya.

Ruka memandang tanpa ekspresi. Sama datarnya dengan tatapan Yabu.

“Perhatikan langkahmu!” Ucap Yabu dingin.

Ruka melengos, “A-ri-ga-tou!” Balasnya penuh dengan penekanan. Ia segera menerobos masuk ke dalam kelas. Melewati tubuh Yabu begitu saja, sangat tidak peduli jika ia tidak sengaja menyikut perutnya yang rata.

Ruka berhenti sebentar, menoleh ke belakang. Yabu hanya memandangnya dengan tatapan aneh. Ada sebersit keinginan untuk memulai kembali, namun sangat tidak mungkin bagi Ruka. Mengingat yang memutuskan untuk berpisah bukan dirinya. Dalam hati ia merasa perih, bertahun-tahun ia menyukai cowok itu. Dan kenapa, hanya karena masalah sepele Yabu langsung mengambil tindakan menyebalkan seperti itu?

***

Hari ini hari minggu, tidak ada buku pelajaran ataupun pekerjaan rumah. Meskipun nanti malam tentunya setiap murid yang masih berstatus sebagai pelajar akan pusing sendiri mengerjakan tugas sekolahnya. Sama halnya dengan Yabu Kouta. Cowok itu tengah berjalan-jalan dengan temannya, Mamoko. Bukan, bukan karena ia menyukai teman masa SMPnya itu. Hanya saja tadi mereka bertemu di jalan dan memutuskan untuk jalan-jalan bersama. Mamoko juga mengenal Ruka. Mereka lumayan akrab. Hanya saja, semenjak SMA mereka berbeda sekolah hubungan itu lama-lama juga memudar.

“Eh, Yabu! Ke kafe itu yuk!” Mamoko menunjuk sebuah kafe di ujung jalan. Hanya kafe biasa, menjual semacam shortcake dan minuman manis lainnya.

Yabu mengangguk setuju, ia malas menjawab. Kalau tidak, pasti Mamoko akan terus memaksanya sampai kupingnya terasa pengang.

Mereka berdua memasuki kafe itu, Mamoko menyeretnya ke ujung ruangan. Dan tepat saat itu, sebuah suara bariton menyapa mereka.

“Yabu! Mamoko!”

Yabu maupun Mamoko, menoleh secara bersamaan. Mereka mengenal siapa yang memanggil nama mereka barusan. Seorang cowok berpostur tinggi, kulitnya putih dan mempunyai senyum yang terbilang—well—mempesona wanita. Reita Kurosawa, lagi-lagi teman masa SMP mereka.

Reita tengah duduk di sudut ruangan, duduk berhadapan dengan seorang cewek. Dinding kafe itu terbuat dari kaca, sehingga wajah cewek itu agak tidak terlihat, mengingat sinar matahari siang itu lumayan terik.

Yabu dan Mamoko mendekat. Merasa bergabung lebih menyenangkan daripada hanya berduaan saja dengan cewek cerewet seperti Mamoko, maka Yabu hanya menurut.

“Huaaaa, ada Ruu-chan juga ya?”

Yabu menoleh cepat, melihat dengan matanya sendiri siapakah cewek yang disapa Mamoko barusan. Di sana, sepasang mata coklat itu memandangnya tanpa ekspresi. Kenapa? Kenapa Ruka bisa bersama Reita di tempat seperti ini? Kenapa? Tanya Yabu dalam hati. Tanpa ia sadari, hatinya ketar-ketir mengetahui cewek yang duduk di hadapan Reita adalah Ruka.

“Mamoko?” Ruka memandang temannya bingung, “Kenapa—“ Ia menatap Yabu yang tiba-tiba disambut dengan tatapan melengos oleh cowok itu. Ruka mendengus kesal. Siapa yang peduli! Cih!

Mamoko memilih duduk disebelah Reita, mau tak mau Yabu duduk di sebelah Ruka. Masih acuh memandang ke tempat lain.

“Hanya kebetulan—“

“Kami memang sengaja bertemu kok, iya kan Mamoko-chan?” Yabu menyela ucapan Mamoko. Membuat cewek imut itu memiringkan wajahnya sedikit, manik hitamnya memandang manik Yabu penuh tanya. Yang di sambut Yabu dengan cengiran menyakinkan.

“Oh, kami juga!” Ruka tak mau kalah, suaranya terdengar ketus. Tapi ia berusaha semaksimal mungkin untuk tersenyum. Ia melirik Yabu sinis. Cowok itu malah asyik tersenyum menyebalkan.

Reita dan Mamoko hanya memandang keduanya bingung. Tapi sama sekali tak ingin menyangkal perkataan dari masing-masing eksistensi di hadapan mereka ini. Mungkin keduanya sepakat untuk tidak ikut campur—meskipun—mereka tak tahu ada apa sebenarnya.

“Oh, Reita. Hisashiburi~” Yabu menyapa ramah, “Kudengar kau sekolah khusus olahraga ya?”

Reita menyambut ramah, “Ah, iya. Aku sekolah di Fujimori Gakuen. Siapa sangka mereka menerima aku yang payah ini”.

“Ah, Yabu kan juga pandai sepak bola. Kenapa tidak masuk ke sekolah yang sama dengan Reita? Kau kan kapten tim sepak bola waktu SMP”. Ujar Mamoko antusias sambil membolak-balik buku menu.

Refleks. Ruka dan Yabu saling melirik. Topik yang sangat sensitif untuk di bahas saat ini. Tapi sedetik kemudian mereka saling membuang pandang.

“Aku hanya ingin bersekolah di sekolah yang biasa. Lagipula di sekolahku juga ada club sepak bola kok”. Tepat saat itu Yabu menoleh ke arah Ruka. Secara tidak langsung mengingatkan cewek itu akan kesalahannya.

“Kau pasti jadi kapten lagi, kan?” Reita menimpali, sama antusiasnya.

Yabu mengangguk, “Ya, tapi dipertandingan terakhir aku harus meninggalkan lapangan karena ada manusia bodoh yang melakukan kecerobohan. Betul kan, Ruka?”

Ruka menoleh malas. Jelas sekali Yabu hanya mengejeknya. Sangat jelas sekali terlihat di wajah cowok tirus itu. Segumpal amarah menohok tepat di dasar hatinya. Ia tak habis pikir, alasan gila seperti itu yang telah membuat Yabu memutuskan hubungan mereka. Bahwa alasan konyol itu juga yang membuat Yabu memanggilnya Ruka. Miris.

“Iya, kapten! Lagipula bukan salah orang bodoh itu juga kan? Salah sendiri kenapa kapten berpikir terlalu jauh dan dengan bodohnya meninggalkan lapangan, darou?”. Ruka membalas tatapan Yabu dengan senyuman manis. Tapi sudah dipastikan senyuman itu berubah sinis menurut penglihatan Yabu.

Yabu makin menajamkan matanya, menghunus cepat ke ulu hati cewek di sampingnya itu. “Ya, bodoh sekali aku sampai memikirkan orang sebodoh itu. Menyusahkan saja kan?”

Ruka menarik napas panjang, “Ya, kau sangat bodoh memikirkan orang sebodoh itu. Lebih baik kau jangan mengingat orang itu lagi. Karena belum tentu orang itu juga mengingatmu, kapten!”

“Kau benar—“

“Hei, hei…” Reita menegur pelan.

Dua manusia yang sedang beradu mulut itu menoleh ke arah Reita bersamaan. Dengan wajah merah padam menahan amarah tentunya.

Reita dan Mamoko hanya bisa mengerutkan dahi melihat pasangan aneh di hadapannya itu. Mereka berdua tahu kalau Yabu dan Ruka berpacaran. Dan tidak menyangka ternyata hubungan mereka semesra ini.

“Kalian sedang bertengkar ya?” Mamoko bertanya menyelidik.

Seketika itu pula Yabu dan Ruka berpandangan. Kemudian masing-masing memandang ke arah yang berlawanan. Jelas sekali, tanpa ditanyapun sangat terlihat bahwa keduanya memang sedang bertengkar.

Reita menghela napas, diikuti oleh Mamoko. Mereka mengerti. Saat SMP dua orang di hadapan mereka ini memang suka bertengkar. Tapi akan baik dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu.

“Maa~ maa~ lebih baik kalian pulang saja deh”. Mamoko mengusulkan, “Aura hitam kalian bisa menular kepadaku dan Reita tau!”

Reita tersenyum simpul, “Aku setuju dengan Mamoko. Pulanglah dan selesaikan masalah kalian!”

Ruka hanya menghela napas. Bagaimana bisa diselesaikan?


***

Ruka berjalan santai menuju rumahnya. Sedangkan Yabu tepat berada satu meter di belakangnya. Bukan berjalan santai tepatnya, memang gerakannya lambat, hanya saja dadanya bergemuruh cepat. Beginilah yang ia tak suka jika sedang bermusuhan dengan Yabu, berjalan pulang bersama karena rumah mereka yang saling berhadapan.

Ketika sudah berada di depan rumahnya, Ruka berhenti. Membuat Yabu yang tadinya ingin berbelok menuju rumahnya ikut berhenti.

Ruka menghela napas. Berbagai pernyataan ingin ia ucapkan sekarang juga. Namun rasanya sia-sia saja, mengingat Yabu sebegitu marahnya dengan dirinya mengenai pertandingan sepak bola minggu lalu. Dalam hati ia menyesal mengapa sampai bertindak bodoh. Tapi bukan seharusnya juga Yabu menyalahkannya begitu.

“Kou…”. Ruka memulai. Entah apa yang akan ia katakan nanti. Ia sendiri tak begitu paham. Dan bagaimana tanggapan Yabu nanti, ia sudah menyiapkan mentalnya matang-matang.

Yabu mendongak, menatap punggung mantan kekasihnya. Ia memilih diam.

“Kou…” Ruka mengulang, “Waktu itu, aku hanya berlari.” Helaan napas berat, “Hanya itu satu-satunya cara agar aku sampai dengan cepat ke lapangan. Aku hanya berharap, dapat melihatmu memasukkan bola ke gawang. Sehingga—“

Ruka menahan diri untuk tidak menangis. Namun tenggorokannya sakit. Ia benci menahan diri seperti ini. Sama sakitnya ketika dulu Yabu pergi tanpa pesan. Selama berhari-hari dan membuatnya gelisah bukan main.

“Sehingga aku terjatuh. Hanya itu!” Ruka memandang langit, berusaha membalikkan genangan air mata yang sudah menumpuk di pelupuk matanya. “Bukan mauku untuk jatuh. Bukan mauku juga kau meninggalkan lapangan untuk melihat keadaanku. Dan sangat bukan mauku—jika tim sepak bola sekolah kita sampai kalah…”. Sampai kata-kata itu Ruka masih sangup bertahan. Membentengi dirinya sendiri agar tak mudah menangis.

Yabu tertegun di tempat. Mendengarkan tanpa berniat menyela sedikitpun.

“Dakara…” Ruka mengambil napas, genangan itu makin sulit untuk dibendung. “Dakara…” Serak, “Gomen ne…”

Dan pertahanan itu runtuh dengan mudahnya. Ruka terisak pelan. Tak sanggup berkata lebih, ia memilih untuk kembali diam. Begitu banyak hal yang mereka lewati bersama sejak lama, sangat banyak sampai rasanya tidak mungkin mereka mengingatnya satu-persatu. Begitu lama Ruka memendam perasaannya terhadap Yabu. Begitu sakit sampai rasanya mau mati, sampai ia sendiri kebingungan harus bersikap seperti apa. Dan ia sangat tidak rela segala pengorbanannya berakhir sampai di sini saja. Bukan ini yang ia inginkan. Sama sekali bukan.

“Kenapa? Kenapa Kou tidak pernah mengerti bagaimana perasaanku?”

Yabu maju selangkah. Namun ia kembali ragu. Ia tak tahu. Ia tak pernah tahu.

“Aku menyukaimu bukan baru kemarin…”

Kembali isakan. Ruka menutup mulutnya. Berusaha meredam suara tangisnya sendiri. Bahkan ia sudah sampai sejauh ini, tapi Yabu tak juga menyadarinya.

“Sedangkal itukah perasaanmu?”

“Ruka—“

“Bahkan kau lupa bagaimana biasanya kau memanggil namaku!” Ruka memutar tubuhnya, berhadapan dengan Yabu secara langsung. Menatap cowok tinggi itu dengan perasaan campur aduk.

“Aku—“

“Mou ii yo!” Ruka memotong lagi, setengah berteriak. “Mou ii yo…” Suaranya berubah lirih.

Belum sempat Yabu mengatakan apapun, Ruka sudah kembali berbalik. Berlari kencang menuju rumahnya. Meninggalkan Yabu yang masih terdiam sampai beberapa saat. Wajahnya lesu. Sebagian besar hatinya tergerak dengan ucapan Ruka barusan. Sebagian besar lainnya merasakan sakit yang sama dengan yang Ruka alami.

Sungguh manusia. Rumit.

***

Mengenaskan.

Hanya itu kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan Ruka. Bukan, bukan karena ia berwajah kusut karena semalaman habis menangis. Bukan juga karena pagi ini Yabu tetap diam seperti biasanya. Tapi karena ia sama sekali lupa mengerjakan PR.

Sepele memang. Tapi dampaknya cukup untuk membuat Ruka ditendang keluar oleh Tanaka Sensei. Dan bukan hanya itu, Ruka juga harus menyalin PR tersebut sampai 50 halaman.

Maka di sinilah ia sekarang, menyalin tanpa henti di ruang bimbingan murid. Bel pulang sudah berbunyi sekitar setengah jam yang lalu. Hasratnya untuk melangkahkan kaki pulang lebih besar daripada duduk di tempat sempit seperti ini.

Ruka menghela napas berat. Bahkan ia sebenarnya bersyukur dikeluarkan dari kelas. Ia sangat berterima kasih pada ingatan buruknya karena telah lupa mengerjakan PR. Setidaknya, hanya dengan cara itulah ia dapat menghindar dari Yabu. Ya, dari cowok itu.

Ruka meletakkan kepalanya di meja. Pipinya beradu dengan muka meja, tatapannya lurus tak fokus. Makhluk menyebalkan itu masih memenuhi pikirannya. Bahkan sampai membuatnya tak bisa tidur semalaman.

Tanpa ia sadari, air matanya begitu saja mengalir. Melewati hidung kecilnya, lalu menetes membasahi meja. Tak ada isak tangis, hanya keheningan yang menyaksikan betapa terpuruknya Minami Ruka.

Jari telunjuknya terangkat sedikit, lalu kembali beradu dengan meja. Menimbulkan suara ketukan pelan. Hanya hal itu yang ia lakukan, tanpa alasan. Benar-benar seperti orang bodoh saja. Setidaknya, suara itu cukup membuatnya tenang. Konyol? Memang.

***

Yabu menyambar tas ranselnya. Berlari sekuat tenaga menuju ruang bimbingan. Ruangan dimana Ruka mendapatkan hukumannya. Yabu memperlambat larinya ketika ruang bimbingan sudah di depan matanya. Perlahan, ia mengatur napasnya yang memburu. Dan entah kenapa, ia masih sempat-sempatnya merapikan rambutnya yang acak-acakan.

Yabu menarik napas panjang, lalu menghembuskannya pelan. Ia membuka kenop pintu, mendongak ke arah dalam ruangan.

Kosong?

Yabu masuk ke dalam ruangan. Terpaku hanya mendapati setumpuk kertas. Tak ada Ruka. Kemana dia? Yabu bertanya dalam hati. Sebelum Yabu berniat untuk berbalik, ia merasa menginjak sesuatu. Benda berwarna perak itu bersinar diterpa sinar matahari sore. Kebetulan sekali jendela di ruang itu dibiarkan terbuka. Yabu memungut benda itu. Sebuah liontin.

Yabu membuka liontin itu. Hatinya remuk ketika ia melihat wajahnya sendiri di liontin itu. Wajahnya ketika masih kecil. Ia menebak ketika ia berumur 10 tahun. Dan ia mengingat, liontin ini ia berikan kepada Ruka ketika gadis itu juga berumur 10 tahun. Tapi ia tak pernah memasukkan foto dirinya sendiri. Lalu?

Tanpa berpikir panjang, Yabu berlari keluar ruangan. Ia bertekad mencari Ruka sampai ketemu. Ia tak mau menyesal dengan tindakan bodohnya kemarin. Ia tak mau kehilangan sahabat sekaligus kekasihnya itu.

Langkahnya menyusuri setiap ruangan kelas, meski nihil ia tetap tak mau menyerah. Setiap ruangan club yang biasa Ruka datangi ia telusuri, dan lagi-lagi ia harus menelan pahit kenyataan bahwa gadis itu tak ada di sana.

Dan entah kenapa Yabu melangkahkan kakinya menuju atap sekolah. Di sana, mereka biasanya makan siang bersama. Tentu saja dengan bekal yang disiapkan oleh Ruka. Yabu melangkah gontai menaiki anak tangga. Dan ketika ia sampai di atap sekolah, angin sore menyambutnya. Menyapu rambutnya hingga tak berbentuk.

Dan di sanapun, Ruka tak menampakkan wajahnya.

Kemana anak itu? Yabu frustasi. Ia melepas blazer biru dongkernya, menyisakan kemeja putih panjang, dan melonggarkan dasinya sembarangan. Peluhnya keluar tanpa bisa ia cegah. Ia melipat lengan kemejanya sampai siku sambil berjalan menuju ujung gedung. Sehingga ia dapat melihat pemandangan sekitar sekolah. Ia menghela napas berat. Kelelahan.

Dan saat itu juga, ia melihat sosok kecil yang sedang bergerak di sekitar sungai di seberang sekolah. Matanya menyipit, mencoba melihat lebih jelas sosok kecil itu. Seketika itu pula Yabu membalikkan badannya sambil menyambar blazer dan tasnya. Ia berlari begitu kencang. Hanya berharap dapat tepat waktu sampai ke tempat kekasihnya.

***

Ia sampai di sana. Ngos-ngosan luar biasa. Blazer dan tasnya ia letakkan di sembarang tempat. Ia melihat gadisnya. Duduk jongkok menatap aliran sungai. Padahal beberapa waktu yang lalu Ruka seperti berjalan mondar-mandir.

Masih berusaha mengatur napasnya, Yabu mendekat. Sampai jarak satu meter di belakang Ruka ia baru bersuara.

“Ruu-Chan…” Lirihnya. Masih kehabisan napas.

Ruka menoleh cepat. Kaget mendengar suara Yabu.

Yabu berjalan mendekat, dengan penampilan acak-acakan dan napas yang memburu. Ia tak peduli, ia hanya menginginkan kekasihnya kembali. Hanya itu.

Yabu ikut berjongkok di hadapan Ruka. Meneliti wajah gadis itu lekat. Wajahnya terlihat sedih, dan Yabu yakin itu karena ulahnya.

Yabu memberikan senyuman terhangatnya. Bukan wajah dingin seperti kemarin-kemarin. Bukan juga sikap angkuh yang mengalahkan akal sehatnya sendiri. Sungguh. Kali ini ia sangat tulus melakukannya.

Ruka mengerjap pelan saat Yabu merengkuhnya erat.

“Eh? Kou—“

“Diam…” Yabu memotong pelan. Ia menelungkupkan wajahnya di pundak Ruka, “Diamlah. Aku saja yang berbicara”.

Ruka menurut, ia hanya diam. Menunggu Yabu yang berbicara.

“Aku rindu sekali. Sampai-sampai aku ingin begini terus…” Yabu tersenyum di balik pundak kekasihnya, “Nee…”. Yabu melepas dekapannya, menatap lurus ke lawan bicaranya.

“Aku yang bersalah. Aku yang egois, dan aku juga yang jahat. Maafkan aku…”. Yabu memasang muka memelas, benar-benar mengharap dimaafkan. “Dan kau juga harus minta maaf padaku…”

Kalimat itulah yang membuat kedua alis Ruka bertaut, “Aku? Kenapa aku harus?”

Yabu cemberut, manja. “Karena kau mengiyakan ketika aku minta berpisah. Lain kali kau harus menolak!”

“Haa?”. Ruka tak habis pikir dengan isi kepala kekasihnya ini. “Mana ada yang seperti itu, Kou?” Gantian ia yang cemberut. Itu kan salahnya sendiri kenapa bertindak tanpa pikir panjang.

Yabu mengeluarkan cengirannya yang seperti biasa, “Pokoknya lakukan saja. Ayo coba dipraktekkan!”

“Haaaa?”

“Ruu-Chan! Ayo kita putus!” Yabu mulai berakting. Meskipun ia sok bertampang serius tapi terlihat sekali ia menahan tawa.

Ruka ikut tertawa, lalu menggeleng. Sepertinya ia sudah tak waras mengikuti permainan Yabu.

“Apa maksud gelenganmu itu, hah?” Yabu bertanya sok galak.

Sekali lagi Ruka menggeleng, “Aku menolak! Aku sangat menyukaimu, sih”

Yabu ikut tertawa, merasa puas. “Oke, kalau begitu nggak usah jadi putus. Ayo makan es krim?”

Ruka mengangguk mantab, “Hai~”

Yabu bangkit, mengulurkan tangan kanannya dan disambut kekasihnya dengan suka cita. Seakan kejadian kemarin itu hanya mimpi yang tak patut diingat.

Mereka bergandengan sepanjang jalan. Tak saling bicara, hanya diam. Tapi, mungkin diam itu bukan berarti mereka tak punya bahan obrolan. Mungkin, dengan diam itulah keduanya berusaha kembali menyatukan pikiran yang sempat terputus.

“Nee, ngomong-ngomong, ngapain sih jongkok di pinggir sungai? Aku kira Ruu-Chan mau bunuh diri”. Yabu tertawa pelan, membuat Ruka cemberut lagi.

“Siapa yang mau bunuh diri. Aku mencari benda yang penting tahu!”

Yabu menoleh, berhenti berjalan. “Benda penting apa?”

Ruka nyengir, “Himitsu~”

“Benda apa sih? Kenapa dirahasiakan?” Yabu merajuk. Padahal ia tahu benar, mungkin saja benda penting yang Ruka cari adalah liontin yang ia temukan di ruang bimbingan tadi.

“Pokoknya Kou nggak boleh tahu! Bisa tamat riwayatku”

Yabu terkekeh pelan, merasa benda penting itu adalah dirinya. Siapa yang tidak bahagia? Cuma orang tolol yang akan marah jika kekasihnya menyimpan fotonya.

“Kenapa Kou tertawa, hah?”

Yabu menggeleng pelan, Ruka tak boleh tahu bahwa ia telah menemukan liontinnya. Mungkin kekasihnya itu akan malu setengah mati nantinya. Biar sajalah. Nanti malam ia akan menyelinap ke kamar Ruka—seperti biasanya—untuk mengembalikan liontin itu.

“Saa, ikou~”. Yabu kembali menarik tangan kiri Ruka. Yang disambut gadis itu dengan senyuman lebar.

Dan sepertinya Ruka melupakan sesuatu, bahwa tumpukan kertas di ruang bimbingan belum genap 50 lembar.

***

END


AAAAAAAAAAAA~ gak jelas sumpah. ini fic ter-gak jelas yg pernah gw bikin T_______T

Label: , , ,



5 Komentar:

Blogger ruucchi mengatakan...

EH?
heeeemmmmmmmmmmm *natep layar*

ada yg g biasa rasanya.. tp apa y...
xDDDDD

4 Maret 2011 pukul 22.29  
Blogger minkyachan mengatakan...

ahahahiya~

ini baru mulai langsung minta putus aja~

ini 2 bocah emang sungguh aneh, apapula itu jatuh gegara kulit pisang,ga keren kak ruu!! *ditampol author*
lah,kok ga ada yg mati? kirain ruka mau bnuh diri~ *pshycho*

end desu ka?
*komen plg geje dah* XDDD

5 Maret 2011 pukul 05.38  
Blogger deya_daisuke mengatakan...

kak ruri: hahaha, authornya aja bingung kenapa ini aneh banget.
hahahaha` gak puas yak? ini kenapa ya gw bikin gak jelas begini? kata-katanya juga aneh. keyak bukan saya aja.
lah, mungkin emnag bukan saya ya?
*lupakan author yg lg sedeng*

yachan:kan sekuel beybeh~ *cium nih ah cium* *????*
iyaaaaa, kenapa itu kok kulit pisang gw juga binguuuung. hahaha~

6 Maret 2011 pukul 19.39  
Blogger ruucchi mengatakan...

ga puassss niiihhh sayaaaaaaa..... >.<
sana bikin lagi gih xDDDD

8 Maret 2011 pukul 18.14  
Blogger deya_daisuke mengatakan...

nooooooo~
tidak ada sekuel ataupun prekuel lagi...

hahahahahaa~ XDD

8 Maret 2011 pukul 21.45  

Posting Komentar

home