december post

Deeto, janai ka?

雨上がり(Ame agari) ; After the rain Chapter 3
4 comments gimme comment?

Tittle : 雨上がり(Ame agari) ; After the rain
Author : me aka daisuke aka deya
Genre : Fluff, Romance
Rating : pg15
Cast : Tegoshi Yuya
Disclaimer : I don’t own Tego. He belongs himself.

Chapter3
.:Mousukoshi dake:.

(Kisetsu ga sotto meguri meguru you ni
Kimi ni kizukarenai you ni chikazuite kuru no sa
Seasons seem to be gently passing by
I’m coming closer to you, though you seem not to have noticed)

Tegoshi’s POV
Aku benar-benar tak menyangka akan bertemu lagi dengan cewek ini. Siapa tadi namanya? Chika? Ah, begitulah kira-kira Deya memperkenalkannya tadi. Kenapa sih aku harus bertemu dengannya lagi? Aku punya firasat bakal terus bertemu dengannya. Cih, kenapa juga kemarin aku menciumnya? Otakku memang kadang tak biasa ku kontrol. Aku meliriknya lagi, wajahnya tampak kesal bercampur gugup. Pipinya bersemu merah tiap kudapati ia tengah mencuri pandang ke arahku. Aku sudah menebak apa yang ia pikirkan.
Kami tengah di dalam kereta. Menuju rumah masing-masing –yang kebetulan rumahnya searah dengan rumahku— dan dia duduk tepat di sebelahku. Sungguh. Aku tak mungkin diam saja, tapi lebih tak mungkin lagi aku mengajaknya mengobrol. Tapi masalah kemarin, setidaknya baginya hal itu dia permasalahkan, harus diselesaikan sekarang juga. Sudah dapat dipastikan aku akan sering bertemu dengannya. Mengingat seperti apa nanti hubungan antara Massu dan Deya.
Hufh~
Aku menghela napas pelan, “Nee, masalah kemarin…” Aku menggantungkan kalimatku.
Chika melirik. Menatapku serba salah. Rona merah kembali menyelimuti pipi tirusnya. Saat itu juga kalimat yang diam-diam kususun buyar. Aku jadi bertingkah serba salah. Aku sendiri tak tahu kenapa.
“Nani yo?” Chika mendelik menatapku agak kesal. Bukan ekspresi kesal mungkin, karena matanya mengatakan kalau ia malu mengingat kejadian kemarin.
Aku tersenyum geli. Samar.
“Menurutmu bagaimana?” Tanyaku sedikit menggoda. Kutatap matanya lurus. Memiringkan sedikit kepalaku agar ia dapat melihat wajahku dengan jelas.
Tiba-tiba ia membuang muka. Kedua tangannya meremas rok biru yang ia kenakan. Salah tingkah. Itulah yang aku tangkap dari reaksinya.
“Menurutmu, bagaimana aku harus menjawabnya?” Chika balik bertanya padaku.
Kedua alisku terangkat, cukup menyenangkan main-main dengannya. Lagi- lagi aku tersenyum licik.
“Kau suka?”
Pertanyaanku langsung dijawabnya dengan tatapan super tajam. Kedua matanya melebar luar biasa. Napasnya naik turun menahan emosi.
“Sangat…suka!” Kata-katanya penuh dengan penekanan, menandakan ia sangat terganggu dengan pertanyaanku, “Terima kasih banyak!!!” Lanjutnya galak.
Aku terkekeh pelan, tak tahan menggodanya lama-lama.
“Oke. Aku nggak akan minta maaf tentang kejadian kemarin. Bukankah kau yang mempersilahkan diri akan mengabulkan apapun permintaanku? Iya kan?”
Air mukanya berubah mengendur. Matanya mengerjap tak percaya. Ia menjawabnya dengan diam, tanda bahwa pernyataanku barusan memang benar.
“Aku rasa, kau cukup sadar bahwa korban dari kejadian kemarin adalah aku. Benar kan?” Aku terus memojokkannya.
Ia hanya mengangguk pasrah.
“Aku juga nggak akan minta maaf!” Ucapnya tegas.
Aku mengangguk, “Un”
“Demo…” Ia menggantungkan kalimatnya, “Kau benar-benar… Ugh! Menyebalkan sekali!”
Aku meliriknya. Tampangnya sangat tidak enak dilihat. Bibirnya cemberut. Matanya menyipit. Aura kekesalan menyelimuti sekeliling kepalanya. Mungkin seperti lingkaran hitam juka digambarkan dalam anime.
“Ingatanku nggak terlalu bagus sebenarnya, tapi  apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”
Entah kenapa aku bertanya demikian. Mata sayunya mengingatkanku pada sesuatu tapi aku tak ingat. Postur tubuhnya juga serasa tak asing di kepalaku. Suaranya bagaikan bergema dalam otakku, tapi sekali lagi aku tak ingat apakah dan siapakah itu.
“Kalaupun iya, ingatanku pasti lebih buruk darimu. Karena aku sama sekali tak ingat siapa kau” Jawabnya cepat.
******
“Hah??? Kau gila ya?”
Aku bertanya takjub dengan usul Massu. Beberapa hari liburan musim panas akan tiba dan dia berencana akan berlibur bersama Deya dan mengajakku. Otak anak ini benar-benar sinting tingkat akut. Tega sekali dia membiarkanku jadi penonton kisah cintanya dengan Deya. Seakan membaca aura wajahku Massu buru-buru menambahkan,
“Deya akan mengajak Chika. Kayaknya kalian cocok deh! Kau bisa berduaan dengannya selagi kami pergi. Asyik kan?”
PLAK!
“Itte!” Massu memegang kepalanya yang kupukul.
“Apalagi anak itu diajak. Aku sama sekali tak cocok dengannya. Aku harus jauh-jauh darinya, Massu!” kataku berapi-api. Sungguh aku tak habis pikir dengan apa yang Massu rencanakan. Arrrrgggghhhhh!!!!!
“Ayolah, Tegoshi! Deya nggak akan mau kuajak kalau dia sendirian!”
Aku merengut kesal, “Tentu saja, ERO OUJI!”
Massu menatapku menyebalkan, “Bukankah kau yang menyandang gelar itu,hah??? Dihari pertama kau bertemu cewek langsung kau ci…” Massu menghentikan kalimatnya. Merasa telah membongkar sebuah rahasia besar, ia menutup mulutnya rapat dengan tangan kanannya.
Kedua mataku terbelalak lebar, “APA MAKSUDMU, HAH?”
Panik. Tiba-tiba aku panik. Kenapa Massu mengetahui kejadian seminggu yang lalu? Tidak ada yang tahu kejadian ini kecuali aku dan—
Aku mendengus kesal. Anak itu memang keterlaluan!
Tapi, kenapa aku musti marah? Itu kan bukan hal yang penting. Maksudku, aku melakukannya hanya untuk menghukumnya. Bukan karena—
Ahh, tetap saja menyebalkan.
Massu meringis, “Gomen. Aku tahu ini dari Deya. Dan lagi pula, kenapa sih tingkahmu liar begitu Tegoshi?” Senyuman itu meledekku. Sukses membuatku salah tingkah.
Aku membetulkan letak kacamataku, bingung mau menjawab apa.
“Sudah deh! Jangan bahas masalah itu!” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku memang tak ingin membahas hal ini lebih lanjut. Bukan apa-apa, setiap kali aku mencoba berbohong, Massu akan dengan mudah mengetahuinya.
Massu tersenyum senang, “Oke. Asal kau ikut denganku ya?”
Aku memandangnya dengan tatapan menyebalkan. Tapi dia tak menggubrisnya.
“Aku anggap jawabanmu adalah iya”
Aku masih menatapnya dengan sebal.
*****
Aku suka bermain sepak bola. Bisa dibilang aku ahli dalam olahraga satu itu. Lariku juga cepat, berbeda dengan Massu yang payah dalam soal adu fisik. Sore ini, seperti biasa setiap aku libur kuliah, aku menyempatkan bermain sepak bola dengan teman-teman di sekitar rumahku. Namun, entah kenapa kebanyakan dari mereka tak bisa bermain hari ini. Banyak urusan katanya. Tapi aku tetap ingin berolahraga, maka kuputuskan untuk ke lapangan basket saja. Karena bermain sepak bola sendirian itu tidak asyik. Aku melepas kemeja ku dan menggantinya dengan kaos berwarna putih. Celana berwarna krem selutut menghiasi kakiku. Kuambil bola basket dari lemari bajuku. Dan keluar rumah dengan riang. Di sepanjang perjalanan menuju lapangan basket aku memainkan bola basket. Memantulkannya di aspal dengan pelan. Menikmati semilir angin sore yang mengoyak rambut lurusku yang berwarna coklat. Kaca mata pun tak lepas dari mataku. Agak merepotkan sebenarnya menggunakan kacamata, tapi mataku ini terlalu sensitive dengan contact lens.
Ketika aku berbelok ke sudut gang dan memasuki area lapangan basket, ternyata lapangan itu telah di pakai oleh dua orang cewek—
Matte!
Itu kan?
Aku hendak berbalik ketika ada suara yang memangggilku.
“Tegoshi!”
Mau tak mau aku menoleh, dengan tampang yang kukira agak bodoh.
Yang memanggilku adalah Deya. Dan yang tengah melempar bola adalah—
Haruskah aku menyebutnya?
Chika, ia menatapku takjub. Kaget melihatku berada di tempat seperti ini. Kaosnya berwarna putih, sama dengan warna yang aku kenakan. Celana pendek warna hitam membalut kakinya yang jenjang. Rambutnya diikat agak diatas kepalanya, samar-samar kulihat keringat mengucur dari pelipis dahinya.
“Ah, kebetulan sekali aku mau pulang. Temani Chika ya, dia masih mau main di sini!”
Deya mengedipkan matanya. Aku tahu maksud dari kedipan mata itu, ia menggodaku. Menganggap aku tertarik pada Chika dan hendak melakukan pendekatan. Sial!
Chika ingin protes ketika Deya melambaikan tangannya menjauhi kami, tapi ia lagi-lagi diam.
“Jaa na~” Ucapnya sambil berlalu.
Dan meninggalkan aku dan Chika. Hanya kami berdua di area yang tidak terlalu luas itu. Aku melangkah mendekatinya. Berusaha bersikap sewajar mungkin. Ia diam mematung ketika aku tepat berada di hadapannya. Sudah lebih dari seminggu kami tak bertemu. Dan tidak ada yang berubah.
“Mau bertanding?” Tantangku.
Ia menatapku sebentar, menimang-nimang tawaranku karena mata hitamnya mengerjap keatas, tanda berpikir.
“Siapa takut!” Jawabnya yakin.
*****
Chika’s POV
Aku terengah-engah mengikuti langkahnya yang lebar. Tubuhnya gesit melebihi apapun. Aku salah mengira kalau dia payah dalam soal olahraga. Staminanya terjaga luar biasa. Aku sungguh menyesal menerima tantangannya dan kini aku kewalahan sendiri menghadapinya. Ia pasti akan semakin bangga dengan dirinya sendiri dan meledekku habis-habisan. Diam-diam aku merengut kesal. Aku— entah mengapa tak ingin kalah darinya. Aho! Aku memang bodoh.
Melihatku mulai kehabisan napas, Tegoshi berhenti mendribel bolanya.
“Kau kelelahan?” Tanyanya sombong. Mungkin tidak begitu sih ekspresinya, tapi karena aku masih kesal tentang kejadian seminggu yang lalu, entah kenapa tiap kalimatnya seakan meledekku.
“Tidak!” Jawabku terengah-engah. Sulit sekali mengatur napas dalam keadaan melelahkan seperti ini. Aku menghapus keringat yang menetes di pelipisku. Aku bangkit dan kembali menantangnya.
“Kau yakin?” Dia kembali bertanya. Aku sulit mendeskripsikan ekspresinya. Tapi, yang jelas aku melihatnya lagi-lagi meledekku.
“Tentu saja!” Jawabku tegas. Berusaha menyembunyikan napasku yang memburu.
Tegoshi kembali melempar bola. Meberikan kesempatan padaku. Tapi lagi-lagi dengan mudah ia berhasil merebutnya kembali. Begitu terus berulang-ulang. Kekesalanku berlipat ganda, sekuat tenaga aku berniat merebut bola darinya. Yang terjadi malah aku tak sengaja menyilangkan kakiku tepat saat ia hendak berlari menghindari tubuhku. Saat itu juga aku kehilangan keseimbangan begitu pula dengan Tegoshi. Aku jatuh terlentang dengan tangan kiri Tegoshi menahan kepalaku. Aku yakin tangannya lecet. Bukan itu yang penting sekarang. Kini wajahnya hanya terpaut beberapa senti dari wajahku. Terlihat sekali ia berusaha menahan badannya sendiri agar tidak menindihku. Matanya beradu dengan mataku. Matanya coklat, sangat indah meskipun tersembunyi dibalik kacamata beningnya.
“Kau tidak apa-apa?” Pertanyaannya membuyarkan lamunanku.
“Un” Jawabku gugup. Entah kenapa.
Tegoshi mengangkat kepalaku dan memposisikan badanku hingga terduduk. Konsentrasinya beralih pada tangan kirinya yang terluka dan berdarah. Aku geli melihatnya. Mungkin lebih tepatnya ngeri.
“Aaaahhhhh! Lagi-lagi kau terluka karena aku. Gomen!” Ucapku tulus.
Tegoshi meniup lukanya yang menurutku terasa perih. Aku jadi tak tega.
“Ayo ke rumahku! Akan kuobati lukamu” Aku menawarkan diri membantunya. Dia terluka kan karena aku.
Tegoshi menggeleng pelan, “ Aku pulang saja!” Ia menolak halus. Masih konsentrasi dengan lukanya.
Aku menarik tangan kanannya, hingga ia berdiri.
“Jangan buat aku berhutang budi, Tegoshi!”
Cowok itu menatapku bingung.
*****
Tegoshi menatap ruangan apartemenku tidak tampak canggung. Aku nggak tau sih apa yang dia pikirkan. Yang jelas, dia itu bukan tipe-tipe orang yang mudah gugup atau apalah itu. mungkin. Sekali lagi.
Dia tengah duduk di sofa sederhana milikku. Sambil sesekali menyapu ruangan ini dengan matanya. Aku mengambil kotak obat yang kuletakkan di kamar. Dan ketika aku kembali, ia masih duduk manis di sana. Aku duduk di sampingnya, membuka kotak obat dan mengambil beberapa kapas. Tak lupa aku mencelupkannya pada alkohol. Aku menarik tangan kiri Tegoshi, mulai membersihkan lukanya. Sesekali ia tampak kesakitan. Lukanya cukup luas, sehingga aku yakin menimbulkan rasa perih tiap kali aku membersihkannya dengan alkohol. Sebagai finishing, aku membalutkan kain kasa yang telah dilumeri obat merah dan menempelkannya pada lengan Tegoshi.
“Ya, selesai! Bagaimana rasanya?” Aku menatapnya, meminta jawaban.
Tegoshi mengangguk pelan, “Daijoubu”
Aku ke dapur, mengambilkan segelas air dingin dari kulkas dan memberikan gelas itu padanya. Kulihat ia meminumnya sampai gelas itu setengah habis. Aku juga mengambil handuk kecil untuknya.
“Kore!” Aku mengulurkan tangan memberikan handuk.
Tegoshi menatapku bingung.
“Kau berkeringat tuh!!” lanjutku.
Ragu. Tegoshi menerima handuk itu, melepas kacamatanya dan mulai mengusapkan handuk itu ke wajahnya. Aku memperhatikannya dengan seksama.
Tanpa kacamata, matanya terlihat lebih menawan. Wajahnya terlihat berbeda. Lebih lembut dan tidak kaku. Andai saja pertemuan pertamaku dengannya tidak seburuk kemarin? Ahh, aku berpikir apa sih!
“Kau lapar?”
Lagi-lagi Tegoshi menatapku bingung. Kedua bola matanya tak henti-hentinya menyiratkan sejuta tanya dengan perubahan sikapku yang melunak.
“Kenapa kau jadi baik begitu sih?” Akhirnya ia bertanya.
Aku mendengus kesal. Anak ini! Aku baik salah, aku galak salah. Sebenarnya apa sih maunya?
“Oh, jadi maumu apa? Kau mau aku mengusirmu sekarang disaat hujan lebat seperti ini?”
Tegoshi tiba-tiba berdiri dan melangkah menuju jendela. Aku mendengarnya mengeluh panjang.
Entah sejak kapan, aku juga baru menyadari kalau turun hujan. Memang sih, awan sore tadi terlihat lebih gelap dari biasanya.
Tegoshi kembali duduk di sofa dengan wajah dilipat. Aku mengamatinya sejenak. Sepertinya ia ada janji. Tapi aku tak mau ambil pusing dengan apa yang tengah ia pikirkan.
“Kalau kau nggak lapar ya sudah. Aku makan sendiri saja deh!”
Aku beranjak dari dudukku dan hendak menuju dapur saat tangan Tegoshi menahanku. Agak tersentak aku memandangnya.
“Aku lapar kok. Ya sudah, masak yang enak ya!”
Dia tersenyum jahil. Menyebalkan!
Aku mengibaskan tangannya kasar, “Wakatteru yo!”
Selama kurang lebih selama setengah jam aku memasak. Aku kesal sendiri mendapati isi kulkasku begitu kosong. Dan dengan bodohnya aku menawarinya makan. Tidak mungkin kan aku memberinya semangkuk nasi putih saja? Aku mendapat ide membuat omurice. Suka tak suka ia harus memakannya. Kalau tidak, ya aku yang akan menghabiskannya.
Aku meletakkan dua piring omurice di meja. Satu untukku dan satu lagi untuknya.
“Ittadakimasu!”
Kami pun mulai makan malam. Tegoshi sedikit berkomentar mengenai masakanku dan kujawab dengan mata yang melotot. Setelah itu ia diam. Mengunyah makanannya dengan tenang.
Sudah hampir 2 jam berlalu. Tapi hujan tak kunjung reda. Padahal sebentar lagi musim panas, sangat aneh mengapa turun hujan begitu lama. Tegoshi tampak tak sabar dan sudah beberapa kali ia menoleh ke arah jam dinding dengan raut wajah gelisah.
“Rumahmu dimana sih?” Akhirnya aku bertanya.
Tegoshi mendongak, “Sekitar 15 menit berjalan dari sini”
Masa? Kenapa aku jarang melihatnya ya? Ah, sudahlah itu tak penting.
“Kupinjamkan payung deh. Gimana?”
Tegoshi menatapku tak percaya,”Kenapa kau nggak bilang dari tadi sih?!” Aku mendengar nada kesal dari ucapannya.
“Kau kan nggak nanya!” Aku tak mau kalah.
Kuberikan payungku—setidaknya itu milikku sejak beberapa bulan yang lalu— kepada Tegoshi. Payung berwarna biru laut yang warnanya sangat lembut. Aku mendapatkannya dari seorang cowok yang kutemui waktu itu. Dan terus terang saja, aku lupa bagaimana wajahnya. Ingatanku sungguh buruk.
Tegoshi memerima payung itu dengan cepat, dan beranjak dari rumahku.
“Ano…”
Tegoshi menoleh,” Nani?”
“Kau harus mengembalikan payung itu Tegoshi. Karena, payung itu—“
“Oke oke!” Katanya memotong ucapanku. Dan detik itu juga ia melesat ke arah hujan. Menembus derasnya air yang diturunkan oleh langit. Meninggalkan sebuah bola basket yang masih terduduk manis di sofa apartemenku.
Mataku tertuju pada punggungnya yang tidak terlalu bidang. Mengingatkanku pada seseorang.
Lebih baik kau hapus air matamu dan pulang!
Masih terdengar di sana kalimat itu. Berdengung dengan samar karena tersapu oleh suara hujan. Tiba-tiba aku memikirkan sosok itu. Entah kenapa.
*****
(Ano hi kimi to mita sora wa ima demo mune ni yakitsuiteru
Moshimo mayotta toki niwa kimi no kotoba omoi dasu yo
The sky I saw with you that day is burned into my mind even now
If I happen to feel lost I’ll remember your words)

Credit song:
Teppen – News
Change the world – News

chika: sorry nich de.. gw asal edit.. >< cerita ga ada yg berubah kok.. :3

Label: , , ,



4 Komentar:

Blogger chikaです♪ mengatakan...

gila..
gw baik bgt.. ==a
pake acara masak lagi..
untung lw bikin omurice.. *ga bisa bikin apa2 lagi selain itu*

apa bgt dah kita main basket.. XDD
hayo de kalo mw maen~ XDD

ituh..
sejak kapan si massu langsung maen terjang kayak gitu?? XDDD
dy pan kikuk ama cewe~ XD

gw suka bgt dech chara tego disinih~ XD
lucuuuuuuuuuuuuuu~ ><

28 Februari 2010 pukul 21.21  
Blogger deya_daisuke mengatakan...

haha, gw tau ,lo bisa pan bikin nasi goreng, jadi gw bikin gitu aja dah..
tadinya beneran si tego mu gw kasi nasi putih doang, ah tapi aye terlalu baik...

tadinya maunya sepak bola *gw juga demen*
tapi pan lo keknya gak demen, jadi yauda deh basket aja..
gw gak bs maen basket, futsal oke deh...

ahh, sebenernya gw stres liat fic lo yg perkembangannya lambat *antara gw massu* jadi gw bikin gitu aja *maunya*

tego lucu?
eh eh eh??
bagian mananya dah???
*akibat tertular virus*

28 Februari 2010 pukul 21.33  
Blogger chikaです♪ mengatakan...

sedd..
nasi putih doang..
pake garem de biar ada rasa.. XDDD

mwahhaha~
kalo maen mah lebih demen basket dibanding futsal..
tapi kalo nonton lebih demen futsal.. :D

lambat??
okeh, obrolin yg inih di tempat lain..

28 Februari 2010 pukul 21.46  
Blogger deya_daisuke mengatakan...

ahahahaa~
kagak chik, demi tego gw kasi makanan enak diaaaaa...

mari obrolkan deh..
hahahaaaa

28 Februari 2010 pukul 21.50  

Posting Komentar

home