december post

Deeto, janai ka?

Color Wheel chapter 02
4 comments gimme comment?

Tittle : Color wheel

Author : deya

Genre : Romance

Rating : pg13

Cast : Yabu Kouta, Yaotome Hikaru, OC

Diaclaimer : All cast belongs to JE. OCs just mine.


***
Part 2
:baby blue:

Seseorang menepuk pelan pundak bidang itu. Ia menoleh, sedikit kaget lalu tersenyum kecut. Ia kembali sibuk dengan kamera SLRnya. Mencoba mengamati bidikannya satu-persatu. Yabu memperhatikan sedikit. Gadis aneh nomor dua setelah gadis yang ia temui kemarin. Bukan karena penampilannya yang terlihat kasual, hanya saja otak gadis yang menepuknya barusan sedikit bergeser dan suka melakukan hal-hal aneh. Mereka berada dalam satu ruangan klub fotografi. Pertemuan rutin sebelum pagelaran diadakan.

“Sibuk sekali sih, Yabu” Gadis tadi, yang menepuk bahu Yabu Kouta duduk di samping cowok kurus itu. “Biasanya sibuk dikelilingi gadis-gadis kok—“

Yabu menoleh, “Reika, berisik tahu!” Ujar cowok itu dengan wajah menunjukkan bahwa ia terganggu. “Nggak lihat aku sedang sibuk, heh?”

Gadis yang dipanggil Reika itu cemberut, “Sok sibuk sih tepatnya” Timpal Reika datar. “Kemana teman narsismu itu?”

Yabu kembali menoleh, sedikit tersenyum meledek. “Kau kan istrinya, kok tanya padaku?”

Reika menendang tulang kering Yabu pelan, mendesis kesal dengan candaan cowok menyebalkan itu.

“Hoi!”

Belum ada semenit, objek yang barusan dibicarakan muncul dengan senyum lebar. Hikaru, duduk tepat di sebelah kanan Yabu. Berseberangan dengan tempat duduk Reika yang berada di sebelah kiri Yabu.

“Dicari tuh sama istrimu!” Yabu mengerling genit pada Reika dan disambut cewek itu dengan melotot tajam.

Hikaru mengerutkan kedua alisnya, menatap Reika menyelidik.

“Aku tidak mencarimu tahu!” Kata Reika sambil kembali menendang tulang kering Yabu. Kini lebih kencang, membuat cowok itu meringis.

“Dasar cewek aneh!” Hikaru berujar pelan.

“Aku tidak aneh!” Balas Reika geram, merasa mendapat penghinaan dari Hikaru.

Yabu menutup kedua kupingnya. Kepalanya pusing berada di tengah-tengah orang yang suaranya seperti ingin membuatnya tuli.

“Hei hei… masih sesiang ini kenapa aku harus melihat pertengkaran suami istri sih” Yabu berkata keras. Sebal.

“DIAM!” Teriak Hikaru dan Reika bersamaan. Membuat Yabu makin merapatkan kedua tangannya pada telinganya.

***

Yabu salah besar telah menyulut api. Karena sampai pertemuan itu berakhir, Hikaru dan Reika masih saja meributkan hal-hal yang tidak panting. Dasar anak-anak! Pikir Yabu sok dewasa. Ia merasa kedua temannya ini cocok. Hanya saja keduanya sama-sama berotak sinting sehingga sama-sama tidak menyadari. Atau sebenarnya mereka saling menyadari tapi malah bersikap seperti itu? Entahlah. Yabu hanya diam melihat tingkah keduanya yang kini saling memukul kepala masing-masing.

Dan di ujung koridor itu, Yabu melihat gadis kemarin. Kana.

“Ah, Kana?”

Hikaru dan Reika yang sedang sibuk memperdebatkan hal tidak penting langsung menoleh.

“Kana?” Reika berujar pelan, lalu menepuk jidatnya. Seolah baru ingat ia mempunyai janji dengan teman semasa SMAnya itu.

“Hoi, Kana!” Hikaru ikut menyapa ramah, seperti biasa.

Yabu melihat Kana dan Reika bergantian, “Kalian saling kenal?”

Reika menghampiri Kana, lalu menoleh pada Yabu, “Kau kemana saja? Aku dan Kana berteman sejak SMA. Malah harusnya aku yang bertanya kenapa kau bisa mengenalnya?” Reika gantian menoleh pada Kana, “katakan, apakah Yabu merayumu atau semacamnya?”

Kana memiringkan sedikit wajahnya, ia tak mengatakan apapun karena ia tengah mengemut lolipop.

“Beberapa hari yang lalu kami bertemu”. Hikaru yang menjawab.

Yabu mencibir. Apanya yang merayu? Gadis tanpa ekspresi begitu. Ujarnya dalam hati.

“Kana, maaf aku tidak bisa menemanimu. Baru saja aku mendapat tugas dari senpai di klub fotografi dengan Hikaru. Maaf ya”. Reika mengatupkan kedua tangannya erat-erat.

Kana mengambil lolipop yang bersarang di mulutnya, “Oke, tidak apa-apa”

Hikaru mendekat, “Memangnya kalian mau kemana?”

“Aku berjanji menemaninya membeli peralatan lukis”. Reika kembali menatap Kana, “benar tidak apa-apa?”

Kana mengangguk pelan, “Kau pergi saja. Aku bisa sendiri kok”

Reika memutar bola matanya, mencoba berpikir keras untuk menebus kesalahannya. “Ah, Yabu! Kau temani Kana saja ya!”

“Eh?”

“Sudahlah, lagipula kalian kan sudah saling kenal. Oke? Jaa!”

Secepat kilat Reika menarik lengan Hikaru dan berlari dari tempat itu sebelum Yabu sempat protes.

Yabu melirik teman anehnya sekilas. Bukan ia tidak mau, bukan juga ia mau. Hanya saja, gadis di depannya ini benar-benar minim ekspresi. Bisa mati gaya dirinya jika lama-lama berada di dekat Kana.

Kana yang merasa diperhatikan mulai membuka suara. “Aku akan pergi sendiri. Tidak usah menemani. Jaa!” Ia mulai melangkah hendak meninggalkan don juan kampus itu.

Yabu serta merta ikut berjalan, menarik lengan kanan Kana pelan. “Sudahlah, lagipula aku sedang tidak ada kerjaan” Ucapnya pelan dan menarik gadis itu menuju parkiran motor.

Kana, bagaimanapun juga hanyalah gadis biasa yang jika diperlakukan begini membuatnya sedikit kaget. Ia tidak pernah digandeng seperti ini. Bukan hal yang berarti, namun ia sedikit canggung.

***

Mereka berada di toko yang menjual peralatan melukis. Bukan hanya peralatan melukis sih, ada berbagai benda yang digunakan untuk menggambar manual. Seperti pensil warna, buku sketsa, kanvas dan sebagainya. Yabu sendiri merasa takjub dengan peralatan-peralatan tersebut. Ia tak terlalu familiar dengan alat-alat seni. Jiwa seninya hanya tertuang lewat lagu-lagu sederhana yang ia buat, bukan dalam bentuk visual seperti ini. Tak heran jika Yabu mengambil kuliah jurusan musik. Biasanya ia suka sekali menenteng gitar elektrik di pundaknya. Kebetulan saja hari ini tidak.

Kana sibuk sendiri dengan kegiatannya memilih peralatan lukis yang ia butuhkan. Kali ini ia membutuhkan cat akrilik. Entah kenapa ia sedang tidak mood menggunakan cat minyak, dan setelah ia melihat koleksinya kemarin, cat akrilik miliknya tinggal satu set. Ia merasa tidak nyaman hanya mempunyai satu set. Maka ia memutuskan untuk membelinya—harusnya bersama Reika. Bukan cowok populer macam Yabu kouta yang membuat tiap gadis yang melihatnya tadi menatap dengan tatapan membunuh. Sungguh mengerikan kekuatan perempuan itu! Batin Kana.

Kana telah selesai membeli peralatan lukisnya. Kini kedua tangannya membawa masing-masing satu paperbag. Entah apa saja yang ia beli tadi. Niat hanya membeli cat akrilik berubah menjadi liar ketika ia melihat banyak peralatan yang menggoda untuk dibeli. Gadis itu menghampiri Yabu yang masih diam mematung menatap salah satu lukisan yang dipajang di toko itu. Dari pertama kali masuk ruangan itu, mata Yabu tak lepas memandangnya. Tentu saja Kana sudah hafal betul lukisan apa yang dilihat Yabu itu. Lukisan langit dengan dihiasi beberapa awan putih. Warna yang digunakan adalah dominan biru. Segar sekali dipandang.

“Aku juga menyukai lukisan ini”

Yabu menoleh cepat, Kana sudah berdiri di sampingnya dengan tangan penuh membawa paperbag yang ukurannya lumayan besar. Yabu kembali menatap lukisan itu. Ia juga menyukainya.

“Ini juga bisa disebut ‘kebebasan’, kan?”.

Kana berpikir sejenak, lalu ia tersenyum. “Iya. Bebas memandang langit dan bebas menghirup udara—menurutku”.

Yabu ikut tersenyum. Kebebasan yang menyejukkan mata, pikirnya.

“Ayo kutraktir!”

Seperti tersihir, Yabu menganggukkan wajahnya. Rasanya apapun yang Kana katakan dapat ia terima begitu saja. Ia merasa mata gadis itu memiliki magis yang senantiasa menariknya makin mendekat. Meskipun sekuat tenaga ia menjauh.

***

Segelas parfait besar siap dilahap oleh Kana. Ia memesan porsi yang cukup besar. Ketika Yabu berkata ia tidak suka makanan manis, dan pernyataan itu dijawab Kana dengan nada datar bahwa ia tidak berniat membagi parfaitnya pada Yabu. Maka Yabu hanya memesan segelas cappucinno dingin.

“Kau suka melukis apa?”

Kana mendongak, memasukkan sesendok penuh es krim rasa vanillanya. Merasakan rasa manisnya sejenak, lalu tersenyum senang. “Apa saja!”

Yabu menopangkan tangan kanannya di dagu, “Hebat sekali bisa melukis apa saja”

Kana mengaduk pelan parfaitnya, lalu menggeleng pelan. “Aku suka melukis apa saja, bukan bisa melukis apa saja”.

“Begitu?” Yabu mengangguk mengerti, “lalu, apa kau bisa melukis apa yang aku suka?”.

Kana berhenti melahap es krimnya, menatap Yabu penuh tanya. Cowok itu hanya tersenyum, begitu elegan. Bukan sinar mata manusia yang hanya sekedar iseng.

Kana ikut tersenyum, “Tunggu sampai aku mengenalmu, Yabu Kouta”.

Yabu menyenderkan tubuhnya pada bangku sofa, “Kau tidak mengenalku?”

Kana menggeleng pelan, “Belum cukup mengenalmu. Maksudku, siapa sih yang tidak mengenalmu? Semua orang tahu siapa kau. Hanya saja, secara personal aku tidak tahu bagaimana dirimu”.

Yabu tertawa, memberikan cengiran boyish yang menawan. “Begitu? Kau menarik sekali, Kana”. Yabu kembali meminum cappucinnonya, “aku baru tahu kau adalah teman Reika sejak SMA”.

Giliran Kana yang tertawa, “Aku paham kenapa kau tidak menyadari keberadaanku. Tidak perlu kau pusingkan”.

“Bahkan kelihatannya kau begitu dekat dengan…. Hikaru”

Kana hanya tersenyum menanggapinya. Yabu sama sekali tak dapat mengartikan ekspresi itu. Senyuman biasa, namun sulit ditebak kemana jalan pikiran Kana. Apakah ia tersipu, atau terganggu, atau senang. Entahlah. Namun ketika Kana melihat ke luar jendela bening toko itu, sinar matahari menyapu wajahnya. Dengan background langit biru yang cerah. Seperti warna lukisan tadi. Baby blue.

***

Yabu menghempaskan tubuhnya di kasur. Ia memandang langit-langit kamarnya yang berwarna putih. Layar keitainya terbuka, menampilkan email dari seseorang. Ia memejamkan matanya perlahan, mengusir rasa sakit di kepalanya yang tiba-tiba saja muncul. Tapi cara itu tak berhasil, rasa sakit itu makin menggerogoti tiap inchi kepalanya.

Yabu berjalan gontai menuju kamar mandi yang jaraknya hanya beberapa meter dari kasurnya. Langkahnya gontai. Ia berdiri di depan wastafel. Mencuci wajah seadanya dan tanpa ia sadari, kedua telapak tangannya mulai gemetaran. Yabu menatap wajahnya di cermin. Menelaah tiap sudut wajahnya sendiri. Berusaha menguak sebenarnya apa yang terjadi dengan kinerja otaknya. Tiba-tiba dadanya mulai terasa sesak. Pasokan udara terasa menipis masuk melalui rongga pernapasannya. Jiwanya mendadak tertekan akan suatu hal. Ia ketakutan. Sangat.

Yabu mengambil sekotak kecil berwarna putih susu. Bukan kotak, bentuknya tabung dengan diameter 2 cm. Tangan kurusnya yang panjang membuka tutup tabung itu, mengeluarkan 2 butir obat berwarna putih pucat. Yabu menelan sambil mencondongkan wajah—mulut tepatnya—ke arah keran wastafel untuk meneguk air. Ia mengelap bibirnya dengan punggung tangan kanannya. Dipandangnya kembali wajah pias itu. Ia merasa marah, tanpa sebab.

Ia jatuh lemas di depan wastafel. Meringkuk seadanya sambil memegangi kedua lututnya yang kurus. Tubuhnya ikut gemetar, sungguh, ia tersiksa. Ingatan itu membuatnya rapuh. Meski ia berusaha sekuat tenaga untuk melupakan.

***

Kali ini tubuh kurus itu terlihat lebih eksentrik saat menggendong sebuah gitar yang dibalut oleh sarung gitar berwarna hitam. Penampilannya kasual, segar dan tanpa cela. Namun agaknya wajah pucatnya tak dapat ia sembunyikan. Yabu Kouta, menyusuri koridor gedung jurusan musik dengan wajah lelah. Meskipun ia mencoba tetap menanggapi ramah kepada setiap orang yang menyapanya, namun tanpa dapat ia sembunyikan, ia kurang tidur.

Saat ia memasuki kelas, Hikaru sudah duduk dengan santai di bangku yang biasanya. Yabu mendekat tanpa suara, ia mengamati mimik wajah Hikaru yang terlihat bingung. Tumben moodmaker yang satu ini murung. Pikir Yabu dalam hati.

Hikaru menutup keitainya lemah saat Yabu menyapa, cowok bergingsul itu tersenyum tipis. Sedikit meneliti aura suram yang dibawa Yabu.

“Kenapa wajahmu kusut begitu?”. Hikaru bertanya santai, memasukkan keitainya dalam saku jaket.

“Hanya kurang tidur”. Yabu duduk di sebelah Hikaru, “justru aku yang harusnya bertanya, kenapa wajahmu suram begitu?”.

Hikaru tertawa pelan, memperlihatkan dua gingsulnya. “Tidak ada apa-apa”. Sedikit berpikir, “hanya saja…”

Yabu menunggu. Sebelah alisnya terangkat.

“Hanya saja, kau tahu kan Kaori? Suzuki Kaori, anak kelas sebelah?”.

Bagaimana Yabu bisa tidak tahu gadis yang dimaksud oleh Hikaru. Gadis itu kan yang selama ini naksir berat dengan Hikaru. Jangan-jangan…

“Kalian….pacaran?”. Yabu menebak asal.

Hikaru mengangguk pelan. Namun raut wajahnya mengesankan bahwa ia tidak bahagia.

“Kau senang tidak sih? Kok wajahmu begitu?”

Hikaru mengangkat kedua bahunya, “Entahlah. Aku bingung”.

Belum sempat Yabu bertanya lebih, Reika datang dengan wajahnya yang—biasa saja. Seperti biasanya. Dalam hati Yabu berpikir, bagaimana kalau Reika mengetahui bahwa Hikaru pacaran dengan Kaori? Bagaimana tanggapan gadis itu?

Yabu menghembuskan napas panjang. Dua manusia ini, sulit sekali saling membuka hati. Jika akhirnya seperti ini, entah kenapa Yabu merasa sedih. Hikaru yang pasti tidak menyukai Kaori tapi malah memutuskan untuk berpacaran dengannya, dan Reika yang terlihat cuek namun Yabu tahu benar gadis itu menyimpan rasa dengan Hikaru. Rasanya miris melihat dua orang yang saling menyukai tapi tidak bersama. Yabu menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, biarkan sajalah. Ia tak mau terlalu ikut campur dengan masalah Hikaru, meskipun ingin.

Lalu, bagaimana tanggapan Kana? Bukannya gadis itu juga—

Yabu menerawang ke atas. Rumit. Sepasang sahabat menyukai orang yang sama dan orang itu malah pacaran dengan gadis lain.

Yabu mengacak rambutnya. Ia bingung.

Meskipun ia harusnya tak perlu repot-repot mengurusi hal itu.

***

Yabu menuju kantin tanpa Hikaru. Temannya itu sudah pergi duluan dengan Kaori ke kantin. Ia bukannya tidak suka Hikaru bersama Kaori, hanya saja ia merasa ada sesuatu yang menurutnya salah. Entah itu apa saja, yang jelas ia sekarang ia merasa malas makan siang sendirian. Sedikit banyak ia mengerti perasaan Hikaru yang selalu ia tinggal. Mengingat dirinya hobi sekali digelayuiti gadis-gadis dan membuat Hikaru menyingkir.

Ketika hendak memasuki ruang kantin, Yabu melihat Kana. Berdiri menghadap ke arah kantin sambil membawa kanvas putih yang ukurannya tidak bisa dibilang biasa. Besar sekali. Wajah gadis itu tampak muram. Eh?

Yabu mendekat, ia tepat berada di belakang Kana. Gadis itu tidak menyadari keberadaan Yabu meskipun pantulan diri cowok itu terlihat di kaca. Yabu mengikuti arah pandang Kana. Kalau ia tak salah, Kana tengah menatap—Hikaru?

Lewat kaca itu Yabu melihat wajah itu makin masam. Seperti hendak ingin menangis.

Yabu menelan ludah. Entah kenapa ia membalikkan tubuh Kana untuk menghadapnya. Mata kedua gadis itu sedikit berkaca-kaca, bibirnya mengerucut menahan emosi. Yabu mengambil alih kanvas yang Kana pegang, meletakkannya di lantai begitu saja dan menyeret Kana dari tempat itu. Kemana saja asalkan tidak di kantin.

***

Mereka berada di sebuah restoran. Yabu terpana melihat Kana yang alih-alih malah memesan banyak sekali makanan. Gadis itu melahap makanannya dengan lahap. Seperti tidak makan beberapa hari. Ah, mungkin efek cemburu melihat Hikaru. Yabu berpikir dalam hati.

Yabu mencomot kentang gorengnya. Masih sambil menatap Kana yang bertingkah aneh.

“Ahhhhhh, gochisousama~”. Kana tersenyum lebar. Mengambil makanan penutupnya, sebuah puding karamel yang ukurannya tidak terlalu besar.

“Kau makan banyak sekali”. Yabu berkomentar pelan.

Kana hanya tersenyum kecil, menikmati puding sambil sesekali menyeruput milkshake vanillanya. Ia terlihat bahagia, tidak seperti tadi ketika melihat Hikaru dan Kaori. Yabu memutuskan untuk bertanya, sepertinya suasana hati gadis itu sudah membaik.

“Nee, aku tahu kau sedih atau semacamnya. Aku juga terkejut sih”. Hening, Kana menatapnya inten, “tapi, bagaimanapun itu…aku… Bagaimana ya?”. Yabu terbata, bingung sendiri harus memulai darimana.

Kana masih diam. Menunggu.

“Aku harap kau masih mau berteman dengan….Hikaru”.

Kedua alis Kana menyatu, “Tentu saja. Tidak ada alasan untukku membencinya”.

Yabu bernapas lega, ia tersenyum lembut. Ternyata gadis ini bukan tipe-tipe gadis yang mudah frustasi karena orang yang ia sukai bersama orang lain.

“Syukurlah. Melihatmu hampir menangis tadi aku kira kau sangat terpukul melihat mereka bersama. Syukurlah kau baik-baik saja”.

“Eh?”. Kana memasang wajah bingungnya. “Maksudmu Hikaru dan pacar barunya? Hubungannya denganku?”.

Yabu tersenyum kalem, “Kau tidak perlu menutupinya. Aku tahu kau menyukai Hikaru makanya sampai mau menangis seperti tadi”.

“Eh?”. Kana masih mematung mendengar penuturan Yabu. Baru beberapa detik setelahnya ia mulai mengerti arah pembicaraan cowok itu. “Ohhhhhhh, aku mengerti”. Kana tersenyum kecil.

Gadis itu menatap lurus ke arah pandang di depannya.

“Kau tahu alasanku berdiri di depan kantin tadi?”

Yabu mengangguk cepat, “Tentu saja. kau melihat Hikaru dan pacarnya lalu…”. Yabu terdiam melihat ekspresi Kana yang berubah. Gadis itu tertawa pelan, “salah ya?”

Kana menghentikan tawanya, “Aku berdiri di sana karena melihat ke arah kantin. Bukan Hikaru dan pacar barunya. Kau tahu, dari kemarin aku tidak makan apapun. Uangku habis untuk membeli cat minyak dan kanvas. Dan kau tahu rasanya melihat kantin dan makanan yang ada di dalamnya?”

Kini, giliran Yabu yang mematung. Wajahnya pasti terlihat begitu bodoh sekarang. Jadi, Kana hanya—kelaparan?? Tidak tidak, itu tidak mungkin!

“Bukannya kau menyukai Hikaru dan sedih melihat dia berpacaran dengan Kaori?”

Kana menggeleng pelan, “Sejak kapan aku menyukai Hikaru?”. Ia kembali tertawa, mengurungkan niat menyendokkan puding ke mulutnya.

Yabu terlihat frustasi. Ia salah mengira kalau Kana tengah menangis untuk Hkaru. Sungguh bodoh dirinya sampai berpikir sejauh itu. Dan sekarang, lihat apa lagi yang ia lakukan? Melihat gadis aneh itu melahap makanan seperti binatang buas? Oh tidak…

“Terima kasih makanannya. Lain kali aku yang traktir ya?”. Kana nyengir, memperlihatkan dua gigi kelincinya yang lucu. Manis.

“Daripada itu…”. Kana kembali melahap pudingnya, “sebaiknya perhatianmu itu ditujukan untuk Reika saja”.

“Reika?”

Kana mengangguk pelan, “Anak itu. Dari kemarin bertingkah aneh. Apa saja membuatnya kesal. Ternyata karena masalah Hikaru, aku kira dia kesurupan”.

Yabu menghela napas, ia terlalu jauh berpikir rupanya.

“Dua anak itu membuatku pusing”. Yabu berkomentar, “mereka bodoh sekali. Saling menyukai tapi malah bertindak seperti itu”.

Kana menggeleng lagi, “Mereka sangat manis. Semua tingkah laku yang kulihat dari Hikaru ataupun Reika, hubungan seperti itu sangat manis. Saling menyukai diam-diam, dan bertindak tidak sesuai perasaan”. Kana meminum milkshakenya, “Love is simple. But, peoples are complicated”.

Kana menyudahi kata-katanya dengan cengiran gigi kelincinya. Yabu menunduk, berusaha berkonsentrasi dengan makanannya yang masih setengah. Ia tak dapat menahan hatinya untuk berkomentar: ‘yang manis itu senyumanmu, tahu!’.

***

tebeceh~

Label: , ,



4 Komentar:

Blogger ruucchi mengatakan...

tsaaaaaaaaaaaaaaaaaailaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh itu akhr2 nya *ngakak*

hmmm... cwe ny itu agakk.. agak gmn ya... *garuk2*
ya gtu dah xDDD

*tepok2 yabu*
g smw cwe itu bs jaim buuu~ xDD

23 September 2011 pukul 02.30  
Blogger ruucchi mengatakan...

tambahan

gw jg paling suka warna baby blue x3
wrna paporit saya itu x3
haghag

23 September 2011 pukul 02.32  
Blogger deya_daisuke mengatakan...

ceweknya aneh yak? aneh yak? iya emnag gyahahahahah~

mampus lu bang dapet cewek aneh wakakakakkakak~

gw bikin ceweknya ngebayangin yang serem2 masa. lah jadinya begitu~ ngok ngok *babi lewat*

23 September 2011 pukul 02.38  
Blogger ruucchi mengatakan...

aneh.aneh.aneh.aneh...
g aneh2 mat sii.. tp agaakkk gmn y....
ada yg aneh dah pkkny xDDD

PAS kakinya di tendang, reflek gw bilang "mampus!" xDDD

kaga ada serem2 nya pisan de cwe nya..

suami saya ituuu sakit yaaa???

23 September 2011 pukul 22.19  

Posting Komentar

home